Rabu, 06 Februari 2013

The Tyranny of Choice


The Tyranny of Choice, sisipan di Scientific American edisi 2004, tapi masih relevan dengan situasi kita saat ini.

Makin makmur sebuah bangsa, makin banyak pilihan produk di mata konsumen. Kita sedang menikmatinya sekarang. Saat kita mau belanja sabun mandi saja misalnya, di depan kita terserak puluhan pilihan dengan berbagai merek dan jenis

Coba ke Bandung dan belanja baju, bertebaran begitu banyak FO yang menawarkan beragam pilihan atau coba ke ITC, Carrefour, Hypermart, dll, yang berisi begitu banyak dagangan dan pilihan produk.

Di kota-kota besar, kita sudah dihadapkan oleh pilihan yang (kalau dibiarkan) nyaris tak terbatas. Bahagiakah kita dengan begitu banyaknya pilihan? Logikanya sih semakin banyak pilihan semakin bahagia kita. Tapi benarkah?

Riset di AS: GDP naik 2x lipat selama 30 tahun, tapi rakyat yang mengaku sangat bahagia turun 5%. Masyarakat makin kaya, makin bebas memilih apa yang dimaui, bukannya lebih bahagia tapi malah kurang bahagia. (Sementara indeks Kebahagiaan orang Indonesia meningkat terus belakangan ini).

Tentu saja, pilihan tak terbatas bukan faktor tunggal menurunnya tingkat kebahagiaan, tapi diduga sebagai faktor terbesar. Dan ini didukung dengan penelitian terhadap konsumen yang dipecah dua: Maximizers dan Satisficers.

Maximizer itu orang yang mengaku mengambil yang terbaik dari pilihan yang ada. Satisficers mengambil yang cukup saja meski ada pilihan lebih baik.

Maximizer jika mau beli barang, membanding-bandingkan dengan segala pilihan yang ada, cek ke sana ke mari, baru beli yang terbaik. Satisficer begitu ketemu barang yang ia mau, dan dirasa cukup bagus, langsung beli, dan tak menyesal saat tahu ada pilihan lebih baik.

Sama seperti memilih pacar, begitu ketemu yang cocok, Satisficers langsung jadian, tak akan membanding-bandingkan meski ada yang lebih cakep. Maximizers akan membanding-bandingkan, baru memilih, tapi menyesal kalau kemudian ada yang lebih cakep.

Satisficers itu yang tak berkurang kebahagiaannya di tengah ketakterbatasan pilihan. Sebaliknya, maximizers kurang bahagia. Kenapa maximizers kurang bahagia? Ini dia: Opportunity lost. Memilih A berarti kehilangan peluang terhadap B, C, D. Memutuskan berlibur di Bali misalnya, melewatkan kesempatan makan gudeg di Yogya, atau berendam air panas di Garut, dst.

Makin banyak pilihan, berarti makin besar "opportunity lost" nya sehingga makin dalamlah perasaan "rugi"nya. Meksi sudah pacaran dengan A, maximizer selalu menyesal jika ketemu B, C, D yang lebih cakep. Bayangkan jika sampai Z!

Jika pilihan tak terbatas tak membuat kita lebih bahagia, apakah jalan keluarnya adalah membatasi pilihan? Atau ada cara lain? Membatasi pilihan? Tidak mungkin. Pasar yang bebas selalu akan dibanjiri pilihan. Lagipula hidup dengan pilihan terbatas bukanlah hidup.

Kandidat korban utama pilihan tak terbatas itu jenis Maximizers sih. Yang satisficers sih tidak terlalu masalah.

Ini bukan tentang mengejar kebahagiaan lho. Ini tentang belimpahnya pilihan yang ternyata TIDAK membuat kita LEBIH bahagia. Maximizer mengejar pilihan terbaik. Satisficers memilih "yang cukup baik". Mengejar, tak selalu dapat. Memilih, dapat. The Tyranny of Choice itu tentang berlimpahnya pilihan produk dan kebahagiaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar