Rabu, 06 Februari 2013

BADUT POLITIK - Kompilasi Beberapa Tulisan


Badut Politik dalam Kasus Pembubaran BP MIgas dan UU MIgas tahun 2001. (Oleh Lin Che Wei)

Babak 1 - Proses pembahasan dan pengundang-undangan UU Migas 2001 terjadi antara tahun 1999 sampai 2001. UU Migas di undang-undangkan pada bulan November 2001. UU Migas ini merupakan produk pembahasan antara Pemerintah pada masa itu dan DPR pada masa itu.

Marilah Kita melihat siapa saja aktor politik tersebut. Ketua MPR - Amien Rais (Mantan ketua Muhammadiyah -dari PAN) Ketua DPR - Akbar Tanjung (Golkar - Mantan Aktivis HMI) Ketua Komisi VIII - DPR - Irwan Prajitno (dari Partai Keadilan). Pada saat itu Poros Tengah (Koalisi dari beberapa partai berbasis islam seperti PAN, PKB, PBB, PPP) sedang naik daun dan sangat berpengaruh di Parlemen karena mereka adalah 'king maker' dari naiknya Gus Dur menjadi Presiden.

Yang menarik di dalam pembahasan tersebut dan perundang-undangan UU MIgas tersebut... adalah : Semua Fraksi di DPR (kecuali satu fraksi kecil), semua partai berbasis islam (termasuk Partai Keadilan, PAN, PPP, PBB, PKB) dan juga partai besar (PDI-P dan Golkar) mendukung ratifikasi dari UU Migas. Sangat ironis karena satu-satunya partai yang justru menyatakan keberatan adalah Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (Partai kecil yang berbasis agama kristen).

Pada saat tersebut (1999-2001 periode - periode pembahasan dan ratifikasi) - Kwik Kian Gie adalah Menko Perekonomian (PDI-P) dan kemudian menjadi Ketua Bappenas. - Rizal Ramlie adalah mantan Menkeu/Menko Perekonomian waktu zaman Gus Dur. - Mahfud MD adalah Menteri Pertahanan dan sempat menjadi Menteri Hukum Dan Perundangan-Undangan zaman Gus Dur. Semua komponen pemerintah dan parlemen pada waktu itu setuju untuk meratifikasi UU Migas 2001 dan melahirkan BP MIgas.

Berdasarkan rekomendasi dari Kwik Kian Gie, ketika terjadi penggantian Dirut Pertamina, Martiono Hadianto (yg menentang RUU Migas pada saat itu). Kwik sangat merekomendasi Baihaki Hakim untuk menggantikan Martiono. Di masa Baihaki inilah Pertamina melepaskan wewenangnya dan mengalihkannya ke BP Migas.

Babak ke 2 - Adegan Mahkamah Konstitusi tahun 2012. Para Pemohon di pengadilan konstitusi : 1. Muhamadiyah 2. Hasyim Muzadi dari NU 3. Ormas-ormas islam seperti Hizbut Thahir. 4. Kwik Kian Gie 5. Rizal Ramlie dan yg lain-lain.....menuntut UU Migas 2001.

Ketua Mahkamah Konstitusi : Mahfud MD (mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur). Putusan : 7-1, MK menyatakan UU Migas 2001 cacat dan BP Migas dibubarkan. BP Migas tidak sesuai dengan UU.

Catatan : Mengapa partai-partai tersebut justru menyetujui RUU tersebut menjadi UU? Pak Kwik Kian Gie, mengapa anda tidak ribut-ribut ketika anda justru sangat berkuasa sebagai Menko Ekuin. Pak Rizal Ramlie, mengapa anda tidak menyatakan keberatan anda justru dizaman reformasi dimana anda adalah Menkeu dan Menko. Pak Mahfud MD - mengapa kita tidak membahas soal Energy Security issue ketika anda menjadi Menhan? Oh ya saya juga baru sadar bahwa anda adalah ketua kehormatan ikatan alumni NU yang juga ikut di dalam menggugat putusan tersebut.

Partai-partai ini sekarang membatalkan produk hukum yang justru merupakan persetujuan produk legislative process. Ada baiknya kita melepaskan attribut keagamaan apabila kita berdebat soal kebijakan publik. Tidak arif orang menggunakan attribut agama untuk pro dan contra terhadap kebijakan publik. Jangan pernah lupa akan rekam jejak dari politik. Dan jangan biarkan politician (atau lebih tepatnya Badut-badut politik) berakobrat dan mencari popularitas semata.

Untuk membentuk tatanan hukum migas dan struktur migas yang baik diperlukan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Untuk menghancurkannya hanya butuh sekejap. Saya tidak terlalu mempermasalahkan dan tidak beropini apakah UU Migas 2001 benar atau salah. Yang saya sedih adalah melihat kelakuan orang yang ikut bertanggung jawab dalam pembentukan tersebut dan sekarang bersama-sama menghancurkannnya.

By Lin Che Wei - https://path.com/p/10Vgg






Pada uraian dibawah ini terlihat bahwa UU Migas tersebut merupakan produk era reformasi yang telah melewati pembahasan oleh pemerintah dan parlemen selama periode pemerintahan 3 presiden. Dan kini badut-badut politik yang sama yang mengatakan bahwa UU tersebut tidak konstitusional. Aneh tapi nyata.

Latar Belakang dari siapa Menteri ESDM yang terlibat di dalam UU Migas Tahun 2001 - Inisiasi Kuntoro Mangkusubroto - Di lanjutkan oleh SBY dan diundang-undangkan oleh Purnomo Yusgiantoro.

Agar mendapatkan pengertian yang menyeluruh, perlu diketahui latar belakang dari proses deliberasi dan perundang-undangan UU Migas Tahun 2001.

Context : Indonesia mengalami krisis ekonomi karena badai ekonomi Asia. Sebelum itu Pertamina merupakan regulator dan juga pemain.
UU Migas No 22/2001 dirancang untuk menggantikan UU No 44 Prp/1960 dan UU No 8/1971.

UU Migas pada saat tersebut merupakan kelanjutan dari bagian Letter Of Intent (LOI) dari International Monetary Funds.

RUU Migas sebenarnya diinisiasi oleh Kuntoro Mangkusubroto ketika menjadi Mentamben di zaman President Habibie. Namun RUU tersebut ketika masa Habibie tidak berhasil diundang-undangkan.

Ketika Gus Dur naik menjadi presiden karena manouver politik dari Poros Tengah yang menyebabkan Megawati hanya menjadi Wapres - Mentamben yang memulai kembali pembahasan RUU Migas tersebut adalah Susilo Bambang Yudhoyono (Mentamben) di zaman Gus Dur. Namun deliberasi baru di dalam pihak pemerintah saja (baru sampai Sekretaris Negara - dan akan didiskusikan dengan Presiden Gus Dur). Gus Dur pun kemudian mengganti Susilo Bambang Yudhoyono dengan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri ESDM.

Jadi - meskipun SBY bukanlah Menteri ESDM yang memulai dan menggolkan UU Migas 2001. Namun secara konseptual SBY juga mengusulkan dan melakukan deliberasi dari liberalisasi sektor Migas yang menjadi corner-stone dari kebijakan di Sektor Migas.

Yang menarik adalah pada saat itu - justru Dirut Pertamina Martiono Hadianto (sekarang Dirut Newmont) yang tidak setuju dengan unbundling dari Pertamina.

Jadi : Presiden yang ikut mendorong konsep liberalisasi ini terjadi di zaman Habibie, Gus Dur (yang berasal dari NU - PKB) dan Megawati (PDI-P) Perjuangan.

Sedangkan Mentamben yang mendorong adalah : Pak Kuntoro (Inisiator - RUU Migas), SBY (menghidupkan kembali namun belum selesai), Purnomo Yusgiantoro (Mengundang-undangkan bersama DPR).

→ Terlihat dari uraian diatas bahwa UU Migas tersebut merupakan produk era reformasi yang telah melewati pembahasan oleh pemerintah dan parlemen selama periode pemerintahan 3 presiden. Dan kini badut-badut politik yang sama yang mengatakan bahwa UU tersebut tidak konstitusional. Bangsa yang aneh.






Apakah benar Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli tidak terlibat dalam penyusunan UU Migas tersebut? Baca dulu penjelasan dibawah ini.

Pasal tentang energi yang ditanda-tangani oleh Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli dengan IMF.

Di Mahkamah Konstitusi para penggugat menggunakan dalil bahwa Liberalisasi sektor Energy yang di dorong oleh IMF yang menjadi dasar UU Migas tahun 2001.

Berikut ini adalah document penting yang menjadi bukti bagaimana sikap dari Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli.

Kwik Kian Gie menandatangani LOI dengan IMF pada tanggal 20 January 2000 dengan Michel Camdesus,

http://www.imf.org/external/np/loi/2000/idn/01/index.htm

Lihat Point penting point 72. The government does not plan to establish holding companies for public enterprises, as such arrangements would dampen competition and slow privatization. Indeed, where appropriate, the government will unbundle monopolies and encourage effective competition. Plans for restructuring Pertamina and PLN are being prepared and will be accelerated.

Perhatikan kalimat terakhir: “Pemerintah akan menghindari monopoli dan mendorong persaingan yang efektif. Rencana restrukturisasi Pertamina dan PLN sedang dipersiapkan dan akan dipercepat”.

Di dokumen May 2000. Kwik Kian Gie dan Horst Koehler mempertegas kembali commitment lihat point 43

http://www.imf.org/external/np/loi/2000/idn/02/

43. The government also remains committed to the reforms of the energy sector outlined in the January MEFP.

“Pemerintah juga tetap berkomitmen untuk reformasi sektor energi yang digariskan dalam MEFP Januari.”


--------------------------------------------------
Rizal Ramli kemudian menjadi Menko Perekonomian
Pada September 7,2000 dia menandatangani LOI dengan IMF (Horst Koehler)

http://www.imf.org/external/np/loi/2000/idn/04/index.htm

Perhatikan point 65. The Government remains strongly committed to the comprehensive legal and policy reforms for the energy sector outlined in the MEFP of January 2000. In particular, two new laws concerning Electric Power and Oil and Natural Gas will be submitted to Parliament during September.

Pemerintah tetap berkomitmen kuat untuk reformasi hukum dan kebijakan yang komprehensif untuk sektor energi yang digariskan dalam MEFP Januari 2000. Secara khusus, dua undang-undang baru tentang Tenaga Listrik dan Minyak dan Gas Bumi akan disampaikan kepada Parlemen pada bulan September.

Jadi Undang Undang Migas sudah direncanakan di dalam LOI dengan IMF. Dan Baik Kwik Kian Gie maupun Rizal Ramli. Kedua-duanya menyetujui dan berkomitmen dengan IMF.

Saya tidak menyalahkan apakah kedua bekas menteri ini pro atau contra terhadap liberalisasi energi. Namun yang kurang gentleman adalah ketika mereka bersikap seolah-olah menentang liberalisasi dan berada di garda paling depan ketika di Mahkamah Konstitusi. Sementara keduanya merupakan penanda-tangan (signatory) yang paling tinggi dengan IMF di dalam Letter of Intent yang menjadi cikal-bakal Undang Undang Migas.

Lin Che Wei






Kepada mereka yang bersungguh-sungguh berjuang untuk Energy Security Republik Indonesia - Jangan Biarkan Perjuangan anda ditunggangi pihak-pihak barisan sakit hati yang justru membubuhkan tanda-tangan di dokumen sejarah.

Bedakan antara orang yang benar-benar berjuang untuk Energy Security untuk Republik Indonesia dan Badut-Badut Politik yang bertujuan mendompleng semangat Nasionalisme.

Tidak semua orang yang berjuang dan meminta judicial review adalah Badut-badut politik.

Apabila kita melihat rekam jejak mereka maka akan menjadi lebih terang benderang mana yang Badut Politik dan mana yang benar-benar mempunyai mashab menentang liberalisasi sektor energi.

Apakah kaum muda kita yang berintelektual tidak dapat membedakan dan melihat track record dari Partai Politik tertentu dan kaum politisi. Jangan sampai perjuangan mereka - ditunggangi oleh pahlawan kesiangan.

Berikut ini kerugian negara akibat perbuatan para badut politik, dimana Pemerintah telah empat kali kalah di pengadilan:

1. Menteri Keuangan kalah dalam Kasus Newmont

2. Telkomsel dinyatakan bangkrut oleh pengadilan

3. Mahkamah Konstitusi menyatakan Pemerintah & UU Pertambangan inkonstitusional

4. Beberapa hari lalu - BP Migas dinyatakan inkonstitusional.






Selama ini Government Share sudah dapat 85% untuk Oil dan 70% untuk Gas. Selain itu Management sebenarnya berada di tangan Indonesia karena BP Migas melakukan Pre-Audit, Audit dan Post-Audit terhadap rencana kerja. Tergantung cerdiknya kita apakah kita bisa memanfaatkan sumber daya tersebut untuk kesejahteraan masyarakat.

Cuma bisnis oil & gas itu sebenarnya adalah bisnis data, bisnis imaginasi (karena geologist harus berimajinasi) dan harus berani mengambil risiko. Memiliki saja tanpa dapat melakukan eskplorasi, tanpa berani mengambil risiko tidaklah berarti apa-apa. Perjuangan kita seharusnya tentang Technology, tentang Risk Management dan tentang bagaimana membesarkan cadangan kita.

Issue Oil & Gas menjadi issue yang sangat mudah dipelintir dan ditunggangi. Mulai dari Kiai sampai gabungan Juru Parkir, Kaki lima. Sebelum kita ribut-ribut ada baiknya kita bersama-sama mengumpulkan archieve sejarah dan mencoba menjelaskan issue Migas ini dengan bahasa yang mudah dimengerti semua orang sehingga kita tahu duduk perkaranya.

Apabila tidak. Kita hanya akan berteriak seperti tahun kemerdekaan "merdeka atau mati". Padahal masih banyak pilihan kebijakan dimana kita bisa membuat makmur semua orang tanpa harus bermusuhan dan menginjak-injak hukum, menghina-hina lembaga dan berpikiran seperti pihak yang terjajah.






Pertamina, Peranan Pemerintah dan Risiko - Saatnya mengkaji kembali peranan NOC dan IOC di Indonesia.

NOC = National Oil Company

IOC = International/ Private Oil Company

Di belahan dunia manapun, peranan BUMN (State Owned Enterprise) makin menurun dengan makin meningkatnya peranan Swasta karena Privatisasi.

Namun hal ini tidak terjadi di sector Oil & Gas (baca Sektor Energy - yang mempunyai implikasi strategis dalam hal Energy Security).

Data menunjukan bahwa National Oil Companies menguasai hampir 3/4 dari cadangan Minyak dunia dan lebih dari 60% dalam hal produksi Minyak.

Keputusan MK untuk membubarkan BP Migas merupakan saat yang tepat untuk kita memikirkan kembali kemana arah National Oil Company kita (Pertamina) dan di dalam kondisi terkini apa strategi yang terbaik.

Pemilihan apakah National Oil Company atau Private/International Oil Company sebenarnya bergantung pada 3 faktor utama :

1. Berapa penting sektor Migas dan motivasi pemerintah untuk penguasaan.
2. Resiko : apakah resiko mencari cadangan baru di Indonesia relatif tinggi atau relatif rendah.
3. Kemampuan negara untuk menanggung risiko. Apakah tinggi atau rendah.

Situasi ketika UU Migas 2001 di buat.

Jawaban pertanyaan diatas:

1. Migas sangat penting.
2. Risiko relatif sedang (sebab meskipun harga minyak rendah namun pencarian minyak masih relatif mudah)
3. Kapasitas negara untuk menanggung risiko sangat rendah (karena baru terkena krisis).

Kesimpulan : Pada waktu itu meskipun sebenarnya Private Operator/IOC diperlukan, tetapi tidak terlalu diinginkan. Sehingga saya cukup bingung mengapa waktu dulu kita terlalu memaksakan liberalisasi sektor energi. Saya bisa mengerti argumen untuk sektor telekomunikasi. Tetapi liberalisasi sektor energi sebenarnya tidaklah terlalu meyakinkan,

Situasi sekarang (2012):

1. Migas sangat penting dan motivasi pemerintah untuk penguasaaan justru sangat kuat. Wapres Boediono telah menyatakan bahwa kebijakan energi telah berubah dari pendapatan negara menjadi kepentingan nasional.

2. Risiko relatif rendah - sedang (Sebab harga minyak sekarang mencapai level yang cukup tinggi, sementara tingkat kesulitan meskipun meningkat masih bisa dikelola).

3. Kemampuan negara untuk mengambil risiko.

a. Situasi keuangan kita sekarang sudah jauh lebih baik dengan Debt/GDP level yang relatif rendah.

b. Namun yang justru bermasalah adalah sikap tidak mau ambil risiko dari Pejabat BUMN karena gencarnya tekanan politis, baik itu DPR, BPK, KPK dan lain sebagainya.

Berdasarkan analisa ini sebenarnya saat ini peranan National Oil Company seharusnya jauh lebih meningkat. Sementara peranan Private/International Oil Company mungkin lebih dominan dalam hal transfer teknologi dan kemampuan untuk transfer risk-management kepada bangsa kita.

Di tengah hiruk pikuk - pembubaran BP Migas bukankah kita bisa melihat 'silver-lining' ini merupakan kesempatan kita untuk menata ulang peranan Pertamina sebagai NOC kita ?






Profile Keberanian - Sikap Berani dari 13 Anggota DPR di dalam rancangan UU Migas 2001

Tahun 2001 - Partai Berkuasa PDI-P Perjuangan, Presiden Megawati Soekarno Putri.

Catatan kliping lama dari harian Kompas dibawah ini mengabarkan momen ketika RUU Migas disetujui DPR, dimana ketika itu terdapat 13 anggota DPR yang tetap menolak UU tersebut. Mereka melawan arus besar hampir seluruh anggota DPR lainnya yang mendukung pengesahan UU Migas tersebut. Mereka adalah:

· PDI-P ( Dimyati Hartono, Amin Aryoso, Sadjarwo Soekardiman, Posdam Hutasoit, Suratal HW, Soeparni).

· Partai Bulan Bintang (KH Aries Munandar, Abdul Qodir Djaelani).

· Partai Kebangkitan Bangsa (Rodjil Gufron)

· Partai Demokrasi Kasih Bangsa (Tunggul Sirait)

· Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia (LT Susanto)

Episode ini menggambarkan tindakan yang sangat berani dan berintegritas dari segelentir kecil wakil rakyat kita dalam sejarah demokrasi kita.

Ketika para pihak termasuk badut-badut politik berusaha mengklaim keberhasilan di MK, ada baiknya kita mengenang sejenak perjuangan beberapa wakil rakyat yang berani melawan garis partai, atau bahkan melawan opini dari Pemimpin tertinggi mereka. Beberapa orang yang mencoba untuk benar-benar berjuang untuk mewakilkan kepentingan konstiuten mereka.

Coba simak argumen mereka yang menolak UU tersebut saat itu. Sama persis seperti argumen para badut politik ketika mengajukan judicial review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian menjadi dasar MK membatalkan UU tersebut.

Dimana posisi para badut politik ketika itu? Sebagian besar merupakan pemrakarsa dan pendukung UU Migas tersebut.


[Dibawah ini adalah catatan kliping lama tentang berita itu di Koran Kompas]
--------------------------------------------------
Rabu, 24 Oktober 2001

RUU Migas Disetujui, 13 Anggota DPR Menolak

Jakarta, Kompas
Di tengah minderheidsnota (catatan notula) 13 anggota DPR dari berbagai fraksi yang diwakili Hartono Mardjono, Rapat Paripurna DPR, Selasa (23/10), tetap menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas untuk disahkan menjadi UU. Selain 13 anggota yang keberatan, dalam pendapat akhir Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) justru secara tegas menyatakan menolak dan minta agar pengesahannya ditunda sampai persidangan yang akan datang.

PDKB minta agar Komisi VIII mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan kelompok masyarakat yang menolak dan kemudian membahasnya bersama pemerintah. Menurut juru bicara F-PDKB Tunggul Sirait, sikap fraksinya muncul setelah menerima masukan dari 22 kelompok masyarakat menjelang rapat terakhir Pansus RUU Migas pada tanggal 16 Oktober 2001. PDKB meminta agar Pansus RUU Migas menyosialisasikan terlebih dahulu draf yang sudah ditandatangani seluruh fraksi di Komisi VIII sebelum ke pembahasan tingkat IV untuk menyetujui RUU Migas tersebut.

Lebih maju

Sementara itu, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) melalui juru bicaranya M Nazaruddin mengatakan, RUU Migas 2001 jauh lebih maju dibandingkan dengan UU sebelumnya, PP Nomor 44 Tahun 1960, dan UU Nomor 8 Tahun 1971. Sebab RUU Migas sudah memuat masalah ganti rugi lahan bagi penduduk, perhatian bagi pemberdayaan masyarakat, keterlibatan pemerintah daerah, keikutsertaan pengusaha kecil, dan hukuman bagi penyelundup bahan bakar minyak (BBM).

Pendapat akhir Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dibacakan juru bicaranya H Maksum Zaeladry, berpendapat, RUU Migas 2001 mengandung semangat demokrasi ekonomi. Misalnya, Pasal 9 RUU Migas yang menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu dan hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, usaha kecil, dan badan usaha swasta.

Rapat paripurna untuk mengesahkan RUU Migas 2001 juga diwarnai aksi kelompok masyarakat yang berada di balkon, yang memberikan sambutan hangat dengan bertepuk tangan ketika Hartono membacakan minderheidsnota-nya. Namun, hal sebaliknya juga dilakukan kelompok yang menempati kursi anggota DPR, bertepuk tangan pada saat mendengar persetujuan fraksi atas RUU Migas tersebut.

13 anggota DPR menolak

Dalam minderheidsnota yang diserahkan Hartono kepada AM Fatwa sebagai pimpinan rapat paripura, disebutkan, 13 anggota DPR tidak dapat menerima dan tidak ikut bertanggung jawab terhadap pengesahan RUU Migas menjadi UU. Penolakan itu didorong oleh kuatnya reaksi penolakan yang dilakukan sejumlah kelompok masyarakat yang khawatir RUU Migas 2001 merugikan kepentingan rakyat.

Mereka yang menandatangani minderheidsnota itu antara lain Dimyati Hartono, Hartono Mardjono, Amin Arjoso, Sadjarwo Sukardiman, Posdam Hutasoit, Suratal HW, KH Aries Munandar, Tunggul Sirait, S Soeparni, LT Susanto, Abdul Kadir Djaelani, dan Rodjil Gufron. Empat orang di antaranya adalah anggota F-PDIP. Sebe-lumnya, jumlah yang menolak hanya 10 orang (Kompas 20/10), namun sebelum rapat paripurna bertambah tiga orang.

Menurut Hartono, minderheidsnota merupakan pernyataan sikap resmi dari anggota Dewan yang tidak dapat menerima, dan tidak menyetujui hal yang sangat principal dalam RUU Migas 2001. Selain itu, karena RUU ini melemahkan strategi migas Indonesia sehingga dapat merugikan bangsa dan negara di masa sekarang dan masa mendatang.

Selain itu, RUU Migas bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 2 dan Ayat 3 UU 1945 yang menjelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Namun, RUU Migas telah memberikan kekuasaan langsung dengan memberikan konsesi bagi swasta nasional dan asing untuk mengeksploitasi kekayaan negara.

Padahal, hak konsesi seharusnya berada di tangan negara melalui BUMN, sesuai amanat undang-undang. Jika terjadi kesalahan fungsi Pertamina maupun penyalahgunaan di lembaga itu, bukan berarti mengubah strategi dasar, tetapi membenahi sistem dan struktur perusahaan tersebut.

Namun, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, landasan filosopfis usaha minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis bertumpu pada Pasal 33 Ayat 2 dan Ayat 3 UUD 1945. Migas merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan.

Pola usaha pada sektor hulu dilakukan melalui bentuk kontrak kerja sama bagi hasil serta kontrak lain yang menguntungkan negara. Sedangkan pada sektor hilir dapat dilakukan oleh setiap badan usaha yang sudah mendapat izin usaha dari pemerintah untuk mengambil peran dalam sektor tersebut.

Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim mengatakan, disetujuinya RUU Migas 2001 oleh DPR merupakan lembaran baru bagi perusahaan negara itu. Dia mengatakan, Pertamina sudah mempersiapkan konsekuensi dari perubahan tersebut dengan akan menfokuskan diri pada bisnis tersebut. (boy/tra)





Dari 7 episode tulisan sebelum ini bisa diambil kesimpulan sementara sebagai berikut:

1. Bahwa UU Migas merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah RI dan IMF dalam rangka perbaikan tata kelola pemerintahan, antara lain pemisahan antara pengambil keputusan, regulator dengan pelaku bisnis. Sebelumnya semua di rangkap oleh Pertamina. Pada waktu itu Pertamina dianggap sebagai sumber permasalahan dan penyebab kegagalan menajemen perminyakan Indonesia.

2. UU Migas dari proses penyusunan sampai pengesahannya melibatkan 3 presiden (Habibie, Gus Dur dan Megawati). Beberapa pejabat pemerintah yang menjadi tokoh sentral dan penanda-tangan awal kebijakan tersebut termasuk Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli.

3. UU Migas mendapat dukungan seluruh fraksi besar di DPR, kecuali satu partai kecil yaitu PDKB. Terdapat juga 13 anggota DPR lintas partai yang melakukan penolakan. Mereka menyuarakan aspirasi yang berlawanan dengan fraksi/ partainya.

4. Argumentasi yang disampaikan oleh ke 13 orang tersebut ketika itu hampir sama dengan argumentasi mereka yang kemaren ini mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi menuntut pembatalan UU Migas dan pembubaran BP Migas. Saya jutip kembali:

RUU tersebut dinilai melemahkan strategi migas Indonesia sehingga dapat merugikan bangsa dan negara di masa sekarang dan masa mendatang.

Selain itu, RUU Migas bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 2 dan Ayat 3 UU 1945 yang menjelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Namun, RUU Migas telah memberikan kekuasaan langsung dengan memberikan konsesi bagi swasta nasional dan asing untuk mengeksploitasi kekayaan negara.

Padahal, hak konsesi seharusnya berada di tangan negara melalui BUMN, sesuai amanat undang-undang. Jika terjadi kesalahan fungsi Pertamina maupun penyalahgunaan di lembaga itu, bukan berarti mengubah strategi dasar, tetapi membenahi sistem dan struktur perusahaan tersebut.

5. Pada waktu UU Migas disyahkan, kelompok yang menguasai DPR adalah poros tengah yang di motori oleh kalangan partai islam yang baru saja berhasil mengangkat Gus Dur sebagai Presiden. Tokoh-tokoh utama saat itu antara lain Amin Rais (ketua MPR, Muhamadiah, PAN), Akbar Tanjung (Ketua DPR, Golkar mantan Ketua HMI). Hasyim Muzadi (Ketua NU). Kwik Kian Gie (Menko Perekonomian dan kemudian menjadi Ketua Bappenas). Rizal Ramli (Menkeu/Menko Perekonomian waktu zaman Gus Dur). Mahfud MD (Menteri Pertahanan dan sempat menjadi Menteri Hukum Dan Perundangan-Undangan zaman Gus Dur).

6. Menjadi ironis ketika judicial review yang diajukan ke MK kemaren ini di motori oleh: Muhamadiyah, Hasyim Muzadi dari NU, Ormas-ormas islam seperti Hizbut Thahir, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, dll. Dan Mahfud MD menjadi Ketua MK yang menyidangkan dan kemudian memutuskan UU Migas tersebut inkonstitusionil.

7. Keberadaan BP Migas merupakan sebuah kesepakatan bersama mayoritas komponen bangsa ketika itu. Berdirinya BP Migas bertujuan memberi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Kalau toh terjadi penyimpangan bukan disebabkan oleh lembaga, tapi lebih disebabkan oleh oknum, baik di dalam BP Migas sendiri maupun dari pihak pemerintah.

8. Keputusan membubarkan secara tiba-tiba BP Migas patut disesalkan, karena seharusnya bisa dipilih cara-cara yang lebih baik untuk memuluskan masa transisi. Tidak lagi perlu menilai apakah keputusan MA itu benar atau salah. Kita hanya bisa menilai prosesnya.

9. Keputusan MK yang bersifat final dan mengikat tidak perlu diperdebatkan lagi. Mungkin sebaiknya semua pihak kini fokus menyusun sistem atau tata kelola perminyakan yang baru yang lebih sesuai untuk Indonesia masa kini. Mungkin memang sudah saatnya dilakukan perubahan sistem kearah yang lebih baik.

10. Sekian dan salam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar