Rabu, 06 Februari 2013

BOEDIONO



Setiap orang berbeda dalam menilai pemimpin ideal di matanya. Ada yang suka melihat pemimpin yang melakukan segala sesuatu tertata dengan baik. Jelas urutannya. Tapi ada lagi yang senang melihat pemimpin yang merakyat, sering berinteraksi dengan masyarakat. Tak ada yang salah dengan gaya kepemimpinan itu, karena pada akhirnya yang dilihat oleh rakyat adalah output-nya, seberapa jauh perubahan yang dijanjikan mampu dilakukan. Kita tidak hanya melihat apa yang tampak di permukaan, tapi juga bisa menduga seberapa besar gunung es yang tersembunyi dibagian sebelah dalam.

1-2 bulan terakhir ini kita di suguhi tontonan gaya kepemimpinan ala Jokowi di tv. Saya berdoa agar dia sukses memimpin Jakarta, karena sedikit-banyaknya saya juga berkepentingan dengan Jakarta yang bebas banjir dan macet. Tapi saya juga akan tetap kritis terhadap kepemimpinannya. Tak ingin membiarkannya mabuk kepayang sehingga malah terperangkap menjadi aktor sinetron dibanding jadi gubernur. Saya ingin bercerita menganai seorang pemimpin lain yang lebih berupa ‘anti-thesis’ Jokowi. Sungguh berlawanan gaya kepemimpinan dan respons masyarakat terhadapnya. Tokoh tersebut ‘low profile’, jarang muncul di media, sering diberitakan secara negatif, tidak populis, tapi dialah arsitek sesungguhnya di balik kemajuan perekonomian negeri ini. Siapakah dia? Wakil Presiden Budiono!.
Wakil Presiden Budiono adalah arsitek pembangunan perekonomian Indonesia hampir sepanjang era reformasi. Terhindarnya Indonesia dari krisis keuangan yang melanda dunia tahun 2008 tak bisa di lepaskan dari peranan figur ini. Lalu keberhasilan pertumbuhan ekonomi negeri ini sampai ke tingkatan saat ini juga berkat tangan dinginnya. 

Banyak tuduhan bahwa Budiono seorang neolib. Padahal sesungguhnya perekonomian kita tidak menganut paham liberal (neolib). Malah belakangan ini lebih dekat ke welfare state, negara yang memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebagai contoh: Pajak Progresif, Jamsosnas, dan Anggaran Pendidikan 20%.

Tapi Budiono sudah sejak lama tidak disukai oleh kalangan politikus pengusaha. Seperti JK dan ARB misalnya. Friksi sudah terjadi sejak kabinet Indonesia Bersatu jilid-1. Banyak keinginan JK dan ARB ditolak oleh Budiono (+Sri Mulyani), karena lebih mengutamakan kepentingan perbadi/ kelompok dari pada kepentingan rakyat banyak.

Ketika itu Presiden SBY lebih berpihak kepada Budiono (+Sri Mulyani), sehingga menumbuhkan kebencian mendalam pada kedua pengusaha politikus tersebut. Itu sebabnya mengapa kedua tokoh itu paling gigih menyerang Budiono dalam kasus bailout bank century yang muncul kemudian. Tapi kita tidak sedang membahas kasus bank century, karena permasalahan hukumnya tengah ditindak-lanjuti oleh aparat penegak hukum (KPK).

Ada yang bertanya selama Budiono jadi Wapres tidak terlihat kerjanya. Tidak seperti ketika JK jadi wapres terlihat sangat menonjol. Kenyataan sesungguhnya, kegiatan Budiono tak diliput oleh media. Padahal sebenarnya perekonomian negeri ini Budiono yang memimpin. Coba tanyakan kepada mereka yang duduk di kabinet, siapa yang menjalankan operasional pemerintahan sehari-hari. Jawabannya tentu Budiono. Beliau bekerja tanpa meminta kredit popularitas dan tidak memaksakan diri sering muncul di media. Budiono adalah orang yang super sibuk mengurus negeri ini setiap hari, sementara yang lain sibuk nampang di TV.

Kelemahan pemerintah sekarang, mesin PR-nya tidak berfungsi. Program pemerintah, prestasi dan kemajuan yang dicapai jarang muncul di media sehingga tidak diketahui publik. Kita justru lebih banyak mengetahui potret sesungguhnya negeri ini dari media internasional.

Bandingkan dengan JK yang memang adalah ‘media darling’. Program-program nya lebih terlihat. Jokowi bisa disebut ‘media darling’ juga. Madia memburu nya karena penonton menyukainya, walau kita belum melihat rencana kerjanya untuk menanggulangi 2 masalah paling pelik Jakarta: banjir dan macet.

Budiono kini merupakan satu-satunya kekuatan SBY yang tersisa dalam kabinet yang sekarang ini. Maka dia di jadikan sasaran tembak politisi Senayan, terutama dari kelompok padi menguning. Sayangnya Presiden kurang memberi perlindungan memadai. Susah memang mengabdi pada orang yang lebih memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Padahal loyalitas akan hadir kalau pemimpin punya gratitude. (gratitude = rasa berterima kasih, menghargai yang diwujudkan dalam bentuk pikiran, kata dan perbuatan terhadap orang lain). Budiono seorang yang sederhana, pekerja keras, low profile, jujur dan tidak korup. Negeri ini akan lebih makmur kalau semua pejabat negara seperti Boediono. Sayangnya rakyat negeri ini jauh lebih terpesona pada mereka yang sering muncul di TV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar