Rabu, 06 Februari 2013

MANIPULASI PAJAK ASIAN AGRI


Kabar baik di penghujung tahun 2012 lalu. Mungkin tak banyak yang menyadarinya. Setelah 6 tahun, Mahkamah Agung akhirnya vonis manipulasi pajak Asian Agri dengan denda 2,5 triliun! Terang di ujung lorong. Vonis MA atas kasus Asian Agri diambil secara bulat oleh majelis hakim pada 18 Desember lalu.

Kalau Vincent yang menjadi pelapor terbongkarnya kasus manipulasi pajak ini dihukum over maksimum 11 tahun, harusnya Asian Agri dihukum denda maksimum 400 persen plus pokok alias 6,5t, bukan 2,5t!

Rasanya baru kali ini MA denda triliunan atas kasus kemplang pajak. Luar biasa. Meski tidak maksimum, ini jadi preseden. Vonis Asian AGri perlu 6ahun, ini pun masih bisa PK. Hukuman Vincent dari PN sampai kasasi hanya kurang dari setahun.

Vincent, justice collabolator kasus Asian AGri, perlu segera dibebaskan. Ia berjasa kembalikan uang negara 2,5T!

Vonis MA sangat kuat untuk jadi dasar pengusutan money laundering Asian Agri hingga Sukanto Tanoto. PPATK bisa bergerak. Semoga whistle blower mendapat perlindungan yang layak agar orang tidak ragu jadi whistle blower.

Putusan ML tersebut bukan berarti persoalan selesai. Uang negara belum kembali. Masih harus dikawal sampai PK. Jangan ada nego. Dan lagi vonis baru diberikan pada 1 dari 12 terdakwa.

Bravo, Mahkamah Agung. Vonis untuk Asian Agri menyalakan kembali harapan akan keadilan. Biarpun nyalanya belum meluas.

Berikut saya sampaikan sebuah tulisan dari mantan wartawan majalah Tempo, Metta Dharmasaputra, yang pertama kali meliput kasus ini:

Summary Vincent

Sekadar untuk mengingatkan, saya akan coba buat summary kasus Vincent, whistle blower Asian Agri yang masih dipenjara 11 tahun dan paparan ini sekaligus sebagai langkah awal rencana pembuatan petisi permohonan grasi buat Vincent kepada presiden.

Beberapa hari lalu (September 2010), saya mendapat telepon dari istri Vincent. "Saya tadi ke penjara," katanya sumringah.

Suaminya, Vincentius Amin Sutanto, adalah bekas top executive dengan jabatan Group Financial Contoller Asian Agri.

Asian Agri adalah perusahaan perkebunan sawit di bawah payung Raja Garuda Mas Group milik taipan Sukanto Tanoto.

Menurut majalah Forbes Asia, Sukanto orang terkaya Indonesia pada 2006 dan 2008. Tahun 2007 dikalahkan Aburizal Bakrie.

Asian Agri hanya 1 dari 5 perusahaan induk di RGM Group. Perkebunannya di Sumatra-Kalimantan lebih luas dari Singapura.

Dengan jabatan Group Financial Controller, Vincent jelas bukan orang sembarangan dan salah satu tangan kanan Sukanto Tanoto.

Dialah yang mengatur semua tax planning Asian Agri Group yang membawahi 15 anak perusahaan di Indonesia.

Penghasilannya setahun semiliar rupiah. Tapi kini ia di balik jeruji Cipinang. "Saya juga membawa tiga anak saya.”

Itulah kali pertama Vincent bertemu dengan ketiga anaknya, sejak ia masuk bui awal 2007 lalu. "Saya lega," kata Mia, istrinya.

Mia lega, karena selama ini Vincent berusaha menutupi kasus yang menimpanya pada anaknya, dengan harapan bisa segera bebas.

Harapan pupus ketika Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali Vencent. Padahal sejumlah koruptor rame-rame mendapat remisi.

Berarti Vincent tetap diganjar 11thn penjara dengan dakwaan money laundering. "Kita tak bisa lagi menutup-nutupi.

"Alhamdullilah permohonan saya di lebaran ini dikabulkan," kata Mia. Vencent pun bercerita kepada tiga anaknya di penjara.

Pada akhir 2006, Vincent membobol rekening unit Asian Agri di Singapura $3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar) di Fortis Bank.

Ia memalsukan tanda tangan untuk transfer uang itu ke rekening dua perusahaan fiktif yang didirikannya di Jakarta.

Baru Rp 200 juta uang dicairkan di Bank Panin Lindeteves, aksinya sudah tercium. Vincent langsung kabur ke Singapura

Ia meminta ampun kepada Sukanto, namun tak dikabulkan. Sukanto sejak 2002 tinggal di Singapura setelah Unibank miliknya kolaps.

Polisi Indonesia memburunya, detektif swasta pun mengincarnya. Vincent kemudian mengancam akan membeberkan rahasia perusahaan.

Dalam pelariannya, ia membawa belasan gigabyte dan berkoper dokumen tentang praktek manipulasi pajak Asian Agri bertahun-tahun.

Ia kemudian menghubungi Tempo, dan saya hanya bisa berkomunikasi via email dengannya. Kamipun akhirnya bertemu di Singapura.

Selama 3 malam di sebuah hotel di Orchard kami berkutat membedah dan mensistematiskan data. Ibarat masuk hutan belantara.

Hasilnya mencengangkan. Hanya dalam kurun 2002-2005 Asian Agri diindikasikan memanipulasi pajak Rp 1,1 triliun. Dokumen lengkap.

Saya menyarankan dia menyerahkan data itu ke aparat di Indonesia dan minta perlindungan hukum. Tapi Vincent tak percaya aparat.

Dia bilang, punya 3 opsi: 1.menyerah ke aparat Indonesia. 2. Menyerah ke aparat Singapura karena ia lebih percaya ada keadilan Ke 3: Bunuh diri. "Agar penderitaan keluarga saya lebih cepat berakhir," katanya. Saya terkejut, meski berusaha tenang.

Saya pun diajak ke hotel kecil di kawasan prostitusi Geylang, tempat Vincent menginap. "Dari sini saya akan melompat.”

Saya segera menghubungi dua pimpinan Tempo: Bambang Harymurti dan Toriq Hadad. Mereka meminta saya tetap di sana.

BHM menghubungi KPK agar bisa menangani kasus ini. Pimpinan KPK langsung terbang dari Batam ke Singapura.

Vincent setuju berhubungan dengan KPK, tapi tidak dengan polisi. Lewat operasi intelijen, ia dibawa pulang ke Jakarta.

Aksi KPK rupanya terendus Polda Metro, Setelah terjadi tarik-menarik, disepakati Vincent akan diserahkan KPK setelah pemeriksaan.

Saya terhenyak. Vincent sudah telanjur pulang ke Jakarta. Sementara KPK tidak bisa menangani kasus ini karena bukan korupsi.

Yang bisa menangani kasus ini direktorat jenderal pajak. Masalahnya mereka tidak punya mekanisme perlindungan saksi.

Akhirnya dalam hitungan hari, Vincent diserahkan ke Polda Metro, padahal ia tak punya penasihat hukum sama sekali.

Saya segera menghubungi Darmin Nasution, yang belum lama menjadi Dirjen Pajak. Untuk menyelidiki kasus ini dilakukan perombakan.

Aparat pajak memang diindikasikan banyak yang terlibat. Maka dibentuk Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang baru.

Beruntung Darmin di back up penuh oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan 2 penasihatnya: Marsillam Simanjuntak-Marie Muhammad.

Liputan investigasi Tempo tayang Januari 2007. Bertepatan itu, Ditjen Pajak menggerebek kantor Asian Agri di Jakarta dan Medan.

Celaka, semua dokumen sudah lenyap dan data tersimpan di server di Hong Kong. Hanya sedikit data yang bisa disita aparat pajak.

Beruntung sebuah info mengalir ke Tempo dan Pajak: di mana dokumen-dokumen itu disembunyikan. Penguntitan pun dimulai.

Tiga bulan kemudian, pada sebuah malam April 2007, tim Pajak menerobos masuk ke sebuah ruko di duta merlin, Jakarta Pusat.

Di balik lampu-lampu yang dijual itulah, ternyata bersembunyi 1400 boks dokumen yang lenyap. Aparat menyitanya dalam 9 truk.

Berbekal ini, tim Pajak menemukan 3 bentuk manipulasi pajak, seperti dilaporkan Vincent dengan kerugian negara 1,3 triliun!

Berkat Vincent, kasus manipulasi pajak terbesar dalam sejarah Republik ini terbongkar. Tapi sayang, tim Pajak tak didukung.

Hanya KPK dan PPATK yang sejalan dengan tim Pajak. Sedangkan Polisi, Kejaksaan, Pengadilan dan BIN tak mendukung.

Pengadilan menyatakan penyitaan oleh Pajak tidak sah. Berkas penyidikan kasus Asian Agri oleh Pajak pun terus ditolak Jaksa.

DPR juga tak mendukung pajak. Mereka, bahkan juga Wapres JK, meminta kasus ini diselesaikan secara administratif. Bukan pidana. Alasannya, ini kasus bisnis. Padahal UU Pajak menyatakan, kasus yang disidik tak bisa dihentikan. Kecuali ada permintaan khusus.

Yang bisa meminta hanya Menteri Keuangan dan Jaksa Agung. Syaratnya wajib pajak bayar denda 4 kali lipat plus pokoknya.

Berarti Asian Agri bisa minta dihentikan kasusnya, asal bayar Rp 6,5 triliun. Jadi, kalau mereka bilang mau bayar, harus jelas.

Yang sering disuarakan Asian Agri, termasuk DPR, mereka hanya mau bayar bukan denda pidana. Tapi denda administrative.

Denda administratif ini hanya 2 persen per bulan maksimum 2 tahun alias 48 persen. Bukan 400 persen atau 4 kali lipat.

Makanya Asian Agri menolak mati-matian. 21 berkas penyidikan Pajak dengan belasan tersangka pun terus dimentahkan kejaksaan.

Baru Agustus lalu, akhirnya satu berkas penyidikan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan dan siap dilimpahkan ke pengadilan.

Anggota Satgas Antimafia hukum Denny Indrayana berperan penting. Meski penentangan datang dari anggota Satgas lainnyan Darmono.

Darmono adalah Wakil Jaksa Agung, yang menjabat Jaksa Tinggi Jakarta saat kasus Vincent meledak empat tahun lalu.

Ia dan Kejaksaan berpendapat, berkas penyidikan Pajak bisa diterima, asalkan Vincent menjadi tersangka utama.

Begitulah nasib Vincent. Ia terus dihimpit. Proses hukum kasusnya pun super cepat. Ia dijerat polisi dengan money laundering.

Hanya dalam setahun, pengadilan negeri hingga MA memvonis seragam: penjara 11 tahun. "Ini rekor" kata Ketua PPATK Yunus Husein.

Di telinga Vincent dan istrinya, ancaman lama itu terngiang kembali: "Kamu akan membusuk di tahanan.”

Teror pun pernah diterima istri dan anak-anaknya saat Vincent kabur ke Singapura, yang sempat diadukan ke Komnas Anak dan HAM.

Belum cukup itu semua, Vincent pun sempat akan disikat polisi dalam kasus lain: pemalsuan paspor. Padahal ia sudah ditahan.

Tiba-tiba ia akan diungsikan dari tahanan Salemba ke Kalimantan Barat. "Bagaimana kalau saya hilang," katanya cemas.

Alasan polisi, berkas penyidikan kasus paspor palsu yang dibuat Vincent di Singkawang, sudah siap disidangkan.

Saya dan tim Pajak berusaha membendung langkah ini, tapi tak berhasil. Pagi-pagi Vincent diterbangkan ke Pontianak.

Untunglah Menteri Sri Mulyani dan Denny Indrayana turun tangan. Ia menelepon Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk membatalkan.

Akhirnya Vincent diperintahkan dibawa pulang ke Jakarta dengan pesawat yang sama. Dengan tangan terborgol, ia tak keluar bandara.

Di Jakarta, ia langsung dipindahkan ke sel khusus di penjara Cipinang bagian narkotika, yang ditempatinya hingga sekarang.

Semua himpitan itu dilalui Vincent, tanpa perlindungan resmi dari negara. Ia hampir tak punya lawyer yang mendampinginya.

Lembaga Bantuan Hukum jelas sulit membelanya, karena Vincent memang di satu sisi diadili karena telah berbuat kejahatan.

Tapi di sisi lain, ia seorang whistle blower alias peniup peluit kasus pajak terbesar di negeri ini yang harus dilindungi.

Di tengah situasi sulit itu, saya berusaha membantunya mendapatkan pendanaan sekadarnya agar ada lawyer yang mendampinginya.

Akhirnya ada seorang pengusaha yang bersedia membantu. Tapi muncul serangan balik dari Asian Agri. Polisi "menyadap" hp saya.

Lima bulan sms dari telepon flexi saya disadap. Dari 100-an lembar, sebanyak 6 lembar beredar di media dan parlemen.

Kesimpulannya: saya bersama Vincent dan si pengusaha bersekongkol jahat untuk menghancurkan bisnis Sukanto Tanoto.

Polda melayangkan surat panggilan kepada saya untuk diperiksa. Di belasan media pun muncul pemberitaan seragam soal ini.

Beruntung pimpinan dan rekan-rekan Tempo memberikan dukungan luar biasa. "Kita camping di polda kalau sampai ditahan," kata Bambang Harymurti.

Saya jauh lebih beruntung dari Vincent, karena saya tak sendiri. Dukungan rekan-rekan Aliansi Jurnalis Independen sangat besar.

Kasus saya akhirnya dihentikan. Tempo pun akhirnya menang di Pengadilan melawan Asian Agri. Sementara Vincent tetap kesepian.

Saya dan Bambang Harymurti berusaha terus membantunya untuk mendapatkan keadilan lewat pengajuan PK ke Mahkamah Agung.

Dua lawyer mendampinginya: Asmar Oemar Saleh (mantan Deputi Menteri Hukum bidang HAM) dan Irianto Subiakto (mantan Ketua LBH Jkt).

Pengacara senior Adnan Buyung Nasution, saat menjadi anggota Watimpres, pun pernah mengunjunginya di Cipinang.

Untuk melengkapi berkas PK, dua saksi ahli hukum pidana juga diminta membuat legal opinion untuk memperkuat posisi Vincent.

Kedua saksi ahli itu adalah Prof Andi Hamzah (ahli hukum pidana) dan Dr. Yenti Garnasih (pakar money laundering).

Kesimpulannya: Vincent tak sepatutnya dijerat money laundering. Yang dilakukannya sebatas membobol uang perusahaan.

Ia baru bisa dijerat pencucian uang, jika uang hasil pembobolan itu telah ditransfer lagi ke bank lain untuk mengaburkannya.

Persoalannya polisi, jaksa,dan hakim tak pernah mau mendengar. Hakim pengadilan negeri Jakbar menolak perlunya keterangan PPATK.

Alasannya, "Nanti hakim dikira bodoh benar nggak ngerti soal money laundering," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakbar.

Vincent tak berdaya. Padahal, jika dijerat kasus pembobolan uang perusahaan, ia seharusnya hanya dihukum maksimal 5 tahun.

Nyatanya ia diganjar 11 tahun. Padahal, para koruptor dan penjahat yang merugikan negara (Ayin, Robert Tantular) dihukum ringan.

Itu sebabnya, ketiga anak Vincent terus bertanya, "Kenapa Papa dihukum begitu lama?" Pertanyaan yang sulit dijawab Vincent.

Tapi mudah-mudahan Vincent tak berputus asa. Masih ada satu pintu tersisa: grasi atau pengampunan dari Presiden.

Terkait dengan itu, sebaiknya kita semua berhimpun menyusun petisi yang meminta Presiden memberikan grasi kepada Vincent.

Bukan untuk membela atau melindungi aksi kejahatan Vincent, seperti yang kerap dituduhkan Asian Agri.

Karena sejak kali pertama saya bertemu dengannya di Singapura, Vincent menegaskan ia tak ingin lari dari hukuman.

Yang diinginkannya, hanyalah diadili secara fair, serta keselamatan jiwa dan keluarganya terjamin. "Saya tak akan lari," katanya.

Cita-citanya pun kini sederhana. "Saya hanya ingin kembali berkumpul dengan keluarga, melihat anak-anak tumbuh dewasa," ujarnya.

Dan yang terpenting bagi kita, pembelaan untuk Vincent penting bagi masa depan whistle blower di Indonesia.

Gagal "menyelamatkan" Vincent, membuat tak ada lagi yang mau menjadi whistle blower. Padahal ini kunci pemberantasan korupsi.

Whistel blower juga penting dalam kasus pajak. Tokoh mafioso Al Capone pun akhirnya hanya bisa dijerat lewat kasus pajak.

Minimal, saya berharap ketiga anak Vincent masih akan punya harapan akan masa depan hukum di negeri ini. Untuk itu semua, petisi grasi untuk Vincent merupakan keharusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar