Rabu, 06 Februari 2013

BLT


Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat miskin pada kondisi tertentu sering di perdebatkan. Misalnya ketika akan menaikan harga BBM, pemerintah selalu menawarkan program BLT untuk membantu rakyat miskin agar punya waktu menyesuaikan diri dengan inflasi yang mungkin terjadi. Tapi disetiap program tersebut akan diluncurkan selalu menuai penolakan dari kalangan lawan politik. Dituduh sebagai pencitraan dari pihak yang berkuasa. Akibatnya BLT sering gagal dilakukan. Padahal rakyat miskin pasti dengan senang hati menerima karena memang membutuhkannya. Rakyat yang seharusnya terbantu akhirnya menjadi korban dari pertikaian politik yang ujung-ujungnya tak lagi berpihak pada rakyat.

Padahal BLT masih bentuk bantuan terbaik. Bantuan Langsung Tunai sangat fleksibel, hampir tidak ada biaya logistik dan distribusinya. Dan penggunaan selalu bisa sesuai kebutuhan. Apakah dengan diberikan BLT, masyarakat penerimanya menjadi pemalas? Tidak ada yang berleha-leha dengan BLT, karena memang tidak didesain untuk cukup. Di sisi lain, juga tidak bisa dikatakan tak berguna.

"Ayo membantu kaum miskin"; OK bentuknya apa? Beri cangkul? Ayam? Obat-obatan? Buku? Apakah sudah dipikirkan biaya logistiknya? Dan kalaupun kita sepakat berikan cangkul - apakah cangkul tersebut urgensi tertinggi? Bagaimana kalau anaknya sedang sakit? Petani yang punya tambahan satu cangkul - lebih mungkin menjual cangkulnya untuk biaya berobat. Harga jualnya akan miring karena oversupply, padahal masih ada biaya logistik dan distribusi. Belum lagi dikorup. Segala urusan yang terkait masyarakat luas - sekecil apapun; bila sudah menyangkut pemerintah - pasti ujungnya ke birokrasi yang mahal. Semua urusan dengan pemerintah pasti ada tambahan biaya. Mulai dari gaji PNS sampai ke audit. Jadi jelas akan tambah mahal.

Jadi mengapa tidak berikan tunai saja? Ketimbang memberi cangkul yang harus dibayar juga biaya logistik pengangkutannya - mending berikan tunai seharga cangkul ditambah biaya logistik. Penerima lah yang paling tahu apa yang penting bagi mereka dan urutan prioritasnya. Tidak ada yang bisa lebih sok tahu.

Apakah BLT bisa dikorup? Ya tentu. Tapi toh demikian juga kalau bentuk bantuannya cangkul, ayam, obat, atau bentuk yang lain. Kita tidak hidup di dunia yang sempurna. Tapi yang bisa kita lakukan mengurangi ketidak sempurnaan bagian demi bagian.

Kupon juga sistem yang bagus - tapi apa sudah ada infrastrukturnya? Kalau belum ada - siapa yang akan bangun? Biaya berapa? Pada waktu Krismon 1997, Mbak Tutut sebagai MenSos pernah beri bantuan sistem kupon yang bisa ditukarkan di Warung. Berhasilkah? Gagal. Mengapa gagal? Karena memang tidak ada infratruktur pendukungnya. Belum lagi memang sistemnya korup dan program itu cuma kamuflase. Sebenarnya pemberian uang tunai kepada warga: orang miskin-cacat-pengangguran, dll, banyak diberlakukan dinegara lain.






Jadi BLT itu biasa saja. Jaminan sosial bentuk tunai adalah hal biasa di berbagai negara. Di Indonesia? Heboh sekali. Kalau toh BLT kemudian memoles citra pemerintah yang berkuasa, anggap saja bonus karena telah menyenangkan hati rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar