Rabu, 06 Februari 2013

ALAM SEMESTA


Alam Semesta Kita dan Alam Semesta Lain

Baru pada 1920-an kita sadar bahwa Bima Sakti kita, dengan 100 miliar bintangnya, hanyalah salah satu di antara jutaan galaksi. Untuk betul-betul memahami sejarah alam semesta, ilmuwan harus menemukan kaitan mendalam antara alam kosmik yang amat besar dan dunia quantum yang amat kecil.

Astronom memang belum tahu dari apa alam semesta terbuat. Bagian terbesar materi alam semesta [berwujud] gelap dan belum terjelaskan. Kebanyakan kosmolog percaya dark matter tersusun dari partikel-partikel yang berinteraksi secara lemah yang tersisa dari big bang, tapi boleh jadi ia lebih eksotis lagi.

Nasib akhir alam semesta kita—apakah ia terus mengembang untuk jangka waktu tak terhingga atau akhirnya berubah arah dan kolaps menuju big crunch—bergantung pada jumlah total dark matter dan gravitasi yang dikerahkannya.

5% (atau kurang sedikit) dari [keseluruhan] alam semesta kita tersusun dari atom biasa, sekitar 25%-nya adalah dark matter, dan 70% sisanya adalah dark energy yang lebih membingungkan lagi.

Nasib akhir alam semesta - apakah ia mengembang selamanya atau kolaps kembali - belum diketahui, walaupun bukti mutakhir mendukung perluasan abadi.

Misteri besar bagi kosmolog adalah rentetan peristiwa yang terjadi kurang dari satu milidetik setelah big bang, ketika alam semesta luar biasa kecil, panas, dan rapat.

Hukum fisika yang kita kenal dengan baik menyodorkan panduan kokoh untuk menjelaskan apa yang terjadi selama periode kritis ini. Sebuah teori terpadu dibutuhkan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada momen-momen krusial pertama setelah big bang, ketika keseluruhan alam semesta terperas menjadi ruang yang lebih kecil daripada atom.

Kosmolog memandang alam semesta sebagai permadani rumit yang berevolusi dari kondisi awal yang tertanam pada mikrodetik pertama setelah big bang.

Struktur dan fenomena kompleks terhampar dari hukum fisika sederhana—kita takkan ada jika hukum tersebut tak ada. Alam semesta kita takkan tersusun seandainya tidak mengembang dengan laju istimewa.

Seandainya big bang menghasilkan lebih sedikit fluktuasi densitas, alam semesta akan tetap gelap, tanpa galaksi/ bintang.

Seandainya alam semesta kita memiliki lebih dari 3 dimensi ruang, planet-planet tak bisa bertahan di orbitnya di sekeliling matahari.

Seandainya gravitasi jauh lebih kuat, ia akan menggumal organisme seukuran manusia, dan bintang-bintang akan kecil dan berhidup singkat.

Seandainya gaya nuklir bebertapa persen lebih lemah, hanya hidrogen yang akan stabil: takkan ada tabel periodik, ilmu kimia, dan kehidupan.

Beberapa orang berargumen bahwa penyetelan halus alam semesta ini, yang terasa sebagai pemeliharaan Ilahi. Tak perlu diherankan, sebab kalau tidak demikian, kita takkan eksis.

Namun ada penafsiran lain: mungkin eksis banyak alam semesta, tapi cuma beberapa alam semesta yang memperkenankan makhluk seperti kita muncul. Barangkali, kalau begitu, big bang kita bukanlah satu-satunya.

Spekulasi ini secara dramatis memperluas konsep realitas kita. Seluruh sejarah alam semesta kita menjadi satu episode saja, satu segi saja, di multiverse yang tak terhingga.

Beberapa alam semesta mungkin menyerupai alam semesta kita, tapi kebanyakan kolaps kembali setelah eksis sesaat, atau hukum yang mengaturnya tidak memperkenankan konsekuensi kompleks.

Sebagaimana Bumi mengikuti salah satu dari beberapa orbit Keplerian di sekeliling matahari yang memungkinkannya dapat dihuni, alam semesta kita mungkin merupakan salah satu dari beberapa anggota yang dapat dihuni di antara ansambel besar.

Ilmuwan sedang memperluas simpanan pengetahuan manusia tentang 3 batasan besar: objek amat besar, objek amat kecil, objek amat kompleks. Kosmologi menyangkut semua itu.

Pada tahun-tahun mendatang, periset akan fokus menjelaskan konstanta dasar alam semesta, semisal omega, dan menemukan apa itu dark matter.

Di samping itu, para teoris harus menguraikan fisika eksotis momen-momen terawal alam semesta.

Jika mereka berhasil, kita akan mengetahui apakah ada banyak alam semesta dan fitur mana dari alam semesta kita yang sekadar kebetulan ketimbang hasil hukum terdalam.

Namun, pemahaman kita akan tetap memiliki batas. Mungkin kelak fisikawan menemukan teori terpadu yang mengatur seluruh realitas fisik, tapi mereka takkan mampu memberitahu kita apa yang menghembuskan nyawa ke dalam persamaan-persamaan mereka dan apa yang mengaktualisasikannya di kosmos riil.

Kosmologi bukan cuma sains fundamental; ia juga paling agung di antara sains lingkungan. Bagaimana sebuah bola api panas dan tak berbentuk berevolusi, selama 10 miliar sampai 15 miliar tahun menjadi kosmos kita yang kompleks berisi galaksi, bintang, dan planet?

Bagaimana atom-atom terangkai—di Bumi ini dan barangkali di planet-planet lain menjadi makhluk hidup yang cukup rumit untuk merenungkan asal-usul dirinya?

Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan tantangan bagi milenium ini. Untuk menjawabnya mungkin akan menjadi pencarian tak berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar