Selasa, 12 Februari 2013

PROTEIN


Kasus daging sapi yang ijin impornya dimanipulasi dan harganya melonjak, membuat saya coba berhitung soal konsumsi protein orang Indonesia.

Kebutuhan minimum protein orang dewasa adalah antara 46 gram (perempuan) hingga 52 gram (laki-laki) per hari. Pada perempuan hamil kebutuhan minimum protein melonjak lebih tinggi, yaitu mencapai sekitar 71 gram per hari.

Sederhananya, kebutuhan protein orang dewasa kita anggap saja 50 gram per hari. Kebutuhan dalam setahun? 18,25 kg.

Sumber protein? Hewani dan nabati. Sumber hewani kepadatannya tinggi. Daging dan ikan sekitar 20-25%-nya adalah protein.

Masalah dengan sumber protein hewani, komponen lemaknya juga tinggi, sehingga tidak baik bila berlebihan. Di sisi lain, sumber protein nabati umumnya lebih rendah lemak, tapi kepadatan proteinnya lebih rendah daripada hewani.

Contoh tahu yang berasal dari kedele, hanya mengandung 6-7% protein secara bobot. Nasi? 4-5%. Petai? 10%. Bayam? 3%.

Kalau mau lebih, maka konsumsilah kacang. Secara bobot 25%-nya protein. Setara daging tuh kandungan proteinnya.

Bagaimana dengan telur? Kandungan protein telur sekitar 10-12% bobot. Susu sapi? Sekitar 3-4% bobot.

Mengingat kebutuhan protein kumulatif setahun mencapai sekitar 18 kg, bisa dibayangkan berapa banyak yang harus dimakan.

Bila sumbernya protein nya semua dari daging maka bobot yang harus dikonsumsi adalah 4-5 x 18 kg = 72-90 kg/kapita/tahun. Konsumsi kita 2.1 kg/kapita/tahun.

Tentu 100% dari daging tidak realistis dan juga tidak sehat. Bagaimana dengan sumber protein nabati? Volumenya lebih besar. Bila sumber protein kita 100% hanya dari kedele via tahu-tempe, maka tiap orang perlu mengkonsumsi 260 kg. Sekitar 0.75 kg perhari. Jelas mustahil.

Menutupi kekurangan protein dengan tahu-tempe juga bukan pilihan realistis dari sisi perekonomian. Hampir seluruh bahan baku kedele untuk tahu-tempe di impor, terutama dari AS. Membatasi impor daging dan memperbesar impor kedele tetap saja pilihan bodoh.

Kesimpulannya? Konsumsi protein masyarakat kita masih rendah. Mungkin itu penyebab kita kalah energik dan kurang pintar dibanding bangsa-bangsa lain di dunia. Ide swasembada daging sapi dengan cara mempertahankan harga tinggi sehingga membatasi konsumsi jelas bukan pilihan cerdas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar