Rabu, 06 Februari 2013

PETANI - Profesi Yang Ditinggalkan


Secara tidak sengaja membaca artikel yang menarik di “The New York Times” tentang 70% petani Jepang berusia di atas 60 tahun: Japan’s Rice Farmers Fear Their Future Is Shrinking: http://nyti.ms/zyww6M

Pertanian di Jepang sebenarnya menyusut. Petani tinggal 3 juta orang dan makin tua. Kontribusi terhadap PDB cuma 1,2%. Sama dengan di sini masalahnya: regenerasi Tidak ada lagi yang mau jadi petani. Profesi lain lebih menarik. Tahun 1960 ada 14,4 juta petani Jepang kontribusi 12,8% PDB. Tahun 2010 hanya ada 2,38 juta petani dengan kontribusi 1,2% PDB. Petani Jepang kaya raya adalah MITOS. Data ekonomi dan demografi Jepang tidak membuktikan itu. Pertanian Jepang menyusut.

PDB dari pertanian kita hanya 15%, tapi tenaga kerja yang ada disitu 40%. Itu sebabnya petani hampir dipastikan miskin. Solusinya industrialisasi pertanian. Lebih tepatnya: kurangi jumlah petani. Produktivitas tidak bisa naik 3-4x lipat, jadi petaninya yang harus berkurang segitu.

Mau pertanian maju? Perkenalkan asuransi pertanian. Di Amerika asuransi pertanian sudah ada sejak abad 18. Bertani = berbisnis. Petani bayar premi asuransi. Kalau gagal panen, mereka bisa klaim asuransi untuk tanam kembali. Plus option/ futures cuaca buat hedging. Petani Jepang sudah aktif di pasar komoditi sejak abad ke 16.

Kata Karl Marx: Petani mahluk yang paling sulit di komunis-kan. Mereka mahluk kapitalis. Makanya petani harus jadi kapitalis. Petani jual hasil mereka di pasar komoditi dan suruh pembeli ambil sendiri di tempat. Tetapi untuk jadi kapitalis, petani harus berpikir seperti pebisnis, bisa manajemen keuangan secara baik. Termasuk personal finance. Tapi petani kita kurang paham yang begituan, mereka masih menjalankan pola lama, ditambah penguasaan pasar oleh beberapa orang. Itu dia masalah pokoknya: terjadi "brain drain" dari daerah pertanian. Yang tersisa hanya mereka yang cuma punya tenaga doang.

Masalah besar pertanian: tranportasi dan logistik. Jarak terlalu jauh dari pasar dan konsumen. Padahal banyak risiko di jalan. Biaya transportasi di Indonesia juga terbilang mahal. Pertanian mustahil maju kalau transportasi jelek. Sebanyak apapun hasil pertanian cuma akan membusuk di jalan. Di Indonesia, pertanian transmigran sudah lama gagal, tidak ada akses pasar.

Transportasi bulk yang paling efisien biaya adalah transportasi air. Lewat sungai atau terusan. Juga berlaku untuk hasil bumi. China dulu membangun Grand Canal untuk mengangkut hasil bumi dari selatan yang subur ke utara yang tandus.

Salah satu yang mungkin berkembang di masa depan: urban farming dan high rise farming. Orang bertani di kota. Dekat dengan pasar dan konsumen. New York City berencana mengembangkan high rise farming di puncak-puncak gedung. Bisa menghasilkan sekitar 20-30% kebutuhan nabati NYC. Keren ya kalau bikin pertanian dengan bentuk seperti gedung parkir. Tiap lantai tanamannya bisa beda dan orang bisa langsung belanja disana.

Ada yang berpendapat bertani di kota sulit dan perlu investasi besar karena tanah di kota terbatas dan mahal. Lebih murah membangun infrastruktur yang memadai dari desa ke kota. Padahal infrastruktur di pedesaan justru lebih "mahal" karena densitas/ kepadatan ekonominya rendah.

Logikanya sama dengan infrastruktur di kalimantan lebih mahal daripada jawa karena densitas ekonomi lebih rendah. Begini, untuk jalan dengan ongkos 1 Milyar, mana yang lebih menguntungkan: barang yang diangkut senilai 200 juta atau 20 milyar? 20milyar dong. Jakarta "sanggup" membayar ongkos kemacetan Rp. 30T per tahun karena yang diangkut nilai ekonominya berkali lipat angka itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar