Rabu, 06 Februari 2013

JAKARTA & MACET


Hari ini, Sabtu siang di Jakarta turun hujan lebat. Akibatnya terjadi genangan air diberbagai ruas jalan yang menyebabkan kemacetan luar biasa dihampir seluruh penjuru kota. Malangnya, hujan yang sama lebatnya juga turun di Bogor dan Depok. Akibatnya ketinggian air di Sungai Ciliwung siang itu mencapai batas siaga. Diperkirakan air sungai Ciliwung itu akan sampai di Jakarta sekitar 8 – 10 jam kemudian. Jadi penduduk Jakarta harus siaga banjir malam ini.

Macet dan banjir merupakan 2 permasalahan laten di Jakarta. Mari kita bahas tentang macet.

Bagi individu, punya mobil/ motor pribadi itu nyaman dan keren. Tapi, kalau jutaan orang berpikir sama, absurd jadinya. Itulah Jakarta! Fenomena macet Jakarta: ketika kebebasan individu/ privat (untuk memilih moda transport) berujung pada bencana. Tragedy of the commons. Sehari-hari kita didorong utk berpikir privat/individu. Padahal, apa yang rasional bagi individu bisa absurd dalam kerumunan.

Macet cuma bisa diatasi dengan mendorong adanya kebijakan publik yang bermutu dalam transportasi, dalam tata ruang kota. Bukan menyerahkan pada privat. Macet dan soal perkotaan lain hanya bisa diatasi jika ada kebijakan publik yang baik, dan kesediaan individu tunduk pada kepentingan publik. Kebijakan publik adalah kunci memecahkan soal perkotaan seperti macet. Dan itu domain politik, suka atau tak suka. Ketika pejabat publik bisa dibeli atau kalah wibawa atau tunduk pada kepentingan privat (individu maupun korporasi), itulah awal bencananya.

Soal macet Jakarta juga tak lepas dari buruknya kebijakan publik nasional dalam ekonomi yang bermuara pada urbanisasi/ Jawanisasi masif.

Pengelola kota dan pembuat kebijakan cenderung berpikir dari sudut pandang privat/ dirinya. Cara berpikir privat sayangnya tak cuma menjangkiti politisi/pejabat publik, tapi juga elit/akademisi.

Macet Jakarta adalah muara dari arus deras privatisasi, liberalisasi, dan de-etatisme yang bahkan tak kita temui di negeri-negeri kapitalis.

Dari kerusakan besar, perubahan butuh waktu, bahkan jika arah perubahannya benar. Kemacetan Jakarta sudah masuk dalam prisoner's dilemma. Mau radikal sulit. Kalau parsial tak pecahkan masalah.

Kita kini menggantungkan harapan besar pada Jokowi, yang sudah mulai membawa perubahan setidaknya dalam cara berpikir publik vs privat. Jokowi tentu tak bisa segera pecahkan macet Jakarta (yang melibatkan dimensi nasional). Tapi, Jokowi bawa perubahan bermakna.

Jokowi membawa perubahan dalam cara berpikir yang lebih public-oriented, baik ke dalam (birokasi) maupun ke luar (warga). Dan itu yang terpenting. Dengan pembawaan yang sederhana, Jokowi bisa mewujudkan kebijakan publik lebih bagus dan membujuk warga untuk tunduk pada kebijakan publik itu. Ada banyak kepentingan privat yang digdaya di Jakarta. Jokowi butuh dukungan warga lebih solid untuk bisa wujudkan kebijakan berorientasi publik.

Giliran ganjil-genap itu secara teoritis mengurangi 50% kendaraan di jalanan. Tapi butuh law enforcement dan dukungan publik yang kuat. Kebijakan ganjil-genap itu solusi ad-hoc (sementara). Solusi sistemik tetap transportasi publik massal, dan itu perlu waktu.

Saya kira Jokowi sedang keras memikirkannya. Untukk solusi sistemik seperti MRT, lebih baik lambat sedikit tapi bener, daripada ngawur. Sikap kritis kepada pemerintahan Jokowi tetap harus dipelihara. Tapi, juga sikap adil: berapa bulan dia menjabat? Yang agak mengkhawatirkan justru kesalahan sistemik transportasi Jakarta kini ditiru (sadar atau tidak) oleh kota-kota menengah dan kecil. Kita bangsa yang telmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar