Kamis, 13 November 2014

Mengapa Rupiah Melemah? (2)


Studi DBS Asian Insights terbaru memberikan rekomendasi solusi masalah Rupiah ini. Coba perhatikan grafik di bagian bawah tulisan ini. Ada tiga jurus. Jurus ketiga: Benahi Sektor Manufaktur sudah saya bahas tadi. Bahwa kalau manufaktur kuat - maka rupiah melemah justru jadi peluang.

Kalau tadi saya bahas ekspor bahan mentah menyedihkan - maka keadaan pada jurus pertama lebih menyedihkan lagi: Defsit Migas. Coba kita gambar ini: Produksi Minyak Indonesia turun terus, sementara konsumsinya naik terus. Terlihat jelas, terakhir kali konsumsi minyak kita setara produksi kita adalah tahun 2002. Jadi 12 tahun lalu. Saat AADC diputar. Sejak saat itu selisih produksi dan konsumsi terus melebar. Posisi terakhir, selisih produksi dan konsumsi adalah 714 ribu barrel/hari.

Kenapa produksi migas kita menurun terus?. Karena kurang modal. Modal kerja Pertamina nyaris ludes hanya buat impor. Sebagai gambaran lebarnya defisit Migas ini - Pertamina SETIAP HARI rata-rata menghabiskan USD 150 Juta hanya untuk mengimpor minyak. Sementara pendapatan dari penjualan minyak semakin lama makin sedikit. Jauh di bawah USD 150 Juta/hari. Masih heran Rupiah melemah?

Defisit Migas Indonesia di 2013 mencapai USD 9,7 Miliar. Berarti duit keluar lebih banyak daripada duit masuk. Tekor. Tekornya neraca migas ini dibayar pakai apa? Pakai penerimaan pajak dan UTANG Negara. Tapi kita tahu pajak selalu gagal mencapai sasaran. Kalau pajak nggak mencapai target - maka menjadi cukup jelas bahwa defisit migas ini telah ditutupi oleh UTANG negara. Jadi Indonesia sudah sampai berutang untuk bisa membiayai konsumsi BBM? Ya BENAR saudara. Mestinya utang digunakan untuk yang produktif/infrastruktur jangka panjang. Bukan untuk biaya rutin dan subsidi. Runyam ini.

Dan kontribusi konsumsi BBM yang berlebihan itu adalah Subsidi. Lihat di gambar pergerakannya. Porsi subsidi BBM sudah mencapai 25-30% anggaran Pemerintah Pusat. Si Oneng keliru waktu bilang angkanya cuma 15%. Kenapa? Mungkin Rieke lupa, bahwa dalam APBN ada jatahnya Pemda dan juga ada Anggaran Pendidikan 20% yang nggak bisa diganggu gugat. Alhasil, Subsidi BBM itu diambil dari porsi SISA jatah daerah (dana perimbangan) dan Dana Pendidikan. Maka 25-30% itu berat banget. Mungkin lebih gampang kalau jatah Pemda dibabat dan Alokasi Pendidikan dipangkas untuk biayai Subsidi BBM. Tapi itu melanggar UU. Itu yang jarang diperhatikan orang, bahwa APBN memang sudah dikunci di beberapa Pos Wajib.

Itu sebabnya kalau dibilang Subsidi BBM sudah sangat berat - karena posnya sangat rakus. Memakan antara 25-30% anggaran Pemerintah Pusat. Neraca amburadul soal Migas ini yang "menyandera" nilai tukar Rupiah. Apesnya, manufaktur kita tak bisa manfaatkan ini. Kurang modal.

Itu sebabnya tiga jurus harus dilaksanakan sekaligus, karena keadaan sudah kadung ruwet. Dengan perbaikan produksi migas, memangkas subsidi BBM dan membenahi manufaktur - maka defisit transaksi berjalan bisa dinormalkan.

Begitulah keadaan kita. Defisit transaksi berjalan masih di 4,2% PDB. Normalnya di 2%. Maka selama itu lah Rupiah jadi bulan-bulanan. Harga minyak dunia akhir-akhir ini turun pun nggak banyak efeknya, karena posisi Migas kita Defisit. Selisihnya 714 ribu barrel PER HARI!

"Kan berarti biaya impor minyak kita menurun kalau harga minyak turun?" Iya, tapi pendapatan minyak Indonesia kan juga turun. Yo Podo bae. Maka menjadi lucu tapi sekaligus bikin kesel, saat para politisi belagak pintar bicara soal harga minyak dunia yang turun.

Konsumsi BBM Indonesia dibayar pakai produksi minyak mentah Indonesia, dan masih TEKOR 714 ribu barrel. Bagaimana cerita subsidi bisa turun?. Mudah-mudahan setelah baca penjelasan diatas, kita jadi paham masalahnya ada di mana, dan bagaimana menyelesaikannya. 


Mengapa Rupiah Melemah? (1)


Sore kemarin nilai tukar USD berada di sekitar Rp. 12155 pada penutupan sore hari. Pertanyaan klasik: Mengapa Rupiah melemah?. Padahal secara teoritis berdasarkan paritas daya beli (PPP) harga USD hanyalah sekitar Rp. 6500. Lalu mengapa beda jauh?.

Jawabannya memang kompleks. Selama 3 bulan terakhir misalnya, USD telah menguat sekitar 7-8% terhadap keranjang mata uang dunia. Jadi, sebenarnya wajar mata uang Rupiah akhir-akhir ini dalam tekanan. Toh mata uang hampir seluruh dunia juga melemah.

Tapi jadi pertanyaan: mengapa tahun lalu saat mata uang global relatif datar - mengapa rupiah jeblok? Pasti bukan karena Dollar menguat kan?. Berarti ada faktor yang berlaku tahun ini dan tahun lalu - yang mendorong Rupiah selalu gagal menguat. Tertarik? Akan saya bahas.

Kunci selalu gagal menguatnya Rupiah ada pada neraca transaksi berjalan. Bila belanja kita tekor, maka wajar rupiah kita lemah. Nggak semua negara sedih kalau mata uangnya melemah. Ada negara yang malah senang kalau mata uangnya melemah. Contoh klasik: Jepang.

Ekonomi Jepang justru bergairah kalau Yen melemah. Apa alasannya? Karena ekspor mereka menjadi lebih kompetitif. Jualannya laku. Dan biasanya, Korea juga cemas kalau Yen Jepang melemah. Mengapa? Karena Jepang pesaing terdekat dengan segmen pasar berimpitan. Maka, biasanya Yen Jepang dan Won Korea bergerak beriringan, karena Bank Sentral keduanya saling mengawasi mata uang yang lain.

Masalahnya, apa produk yang diekspor Indonesia? Ternyata kebanyakan adalah bahan mentah. Dan saat ini siklusnya sedang jelek. Mengapa begitu? Karena bahan mentah sifatnya generik. Besi, timah, atau nikel kan dijual nggak pake merk. Jadi nilai tambahnya rendah.

Coba kita pikir: Apa pernah kita beli 1 ton Baja? Nggak pernah. Nggak berguna. Lalu yang kita beli? Mobil yang terbuat dari 1 ton baja. Nikel Indonesia harus bersaing dengan nikel Russia, Kanada, China, Australia, Botswana, Afrika Selatan, Madagaskar, dll. Maka tidak heran bila pasokan ekonomi global sedang melemah, yang terjadi harga nikel jeblok. Semua produsen rebutan membanjiri pasar.

Itu sebabnya harga bahan mentah sulit sekali stabil. Selalu terombang-ambing antara terlalu murah dan terlalu mahal secara ekstreme. Nah begitulah nasib ekspor Indonesia. Kalau harga komoditi lagi bagus, rupiah menguat - kalau harga lagi jelek - rupiah ikut sengsara.

Maka jelas Indonesia nggak bisa lagi sekadar bergantung pada ekspor bahan mentah. Kita cuma akan jadi bulan-bulanan harga dunia. Bila ingin ekonomi tetap maju walaupun nilai tukar rupiah sedang bagus atau jelek - maka Indonesia harus kembangkan manufaktur.

Bagaimana dengan ekspor pangan atau ikan?. Keduanya juga diproduksi negara lain dan sifatnya sama - saling membanjiri pasar saat ekonomi lemah. Strateginya harus diferensiasi. Indonesia masuk ke bisnis dengan nilai tambah lebih tinggi dan spesifik. Supaya dapat manfaat dari kurs. Tapi masuk ke manufaktur pun perlu modal kan? Apalagi infrastruktur masih bermasalah. Maka manufaktur terpaksa jadi opsi lanjutan. Lalu apa biang masalah melemahnya Rupiah dan bagaimana supaya ekonomi Indonesia stabil walau rupiah gonjang-ganjing? Nanti kita lanjutkan.

Agama Di Amerika & Eropa (2)


Perilaku Keagamaan Masyarakat Amerika dan Eropa

Sebelum ini saya telah sampaikan pembahasan tentang agama di Amerika. Saya ingin lanjutkan, namun lebih menyoroti perbedaan perilaku keagamaan masyarakat Amerika dan Eropa.

Seseorang dapat saja berkata bahwa agnotisme keagamaan dan atheisme adalah fenomena nyata dalam lingkungan masyarakat Amerika khususnya di kalangan akademis. Namun, secara umum, rasa hormat mereka terhadap agama adalah hal yang mendasar.

Berbeda dengan bangsa Eropa, bangsa Amerika menganggap aneh konsep 'Tuhan telah mati' yang dicetuskan di Eropa. Agnotisme dan Atheisme yang vokal dan negatif tidak mendapat tempat di budaya bangsa Amerika.

Perbedaan lain: di Eropa jika seseroang muak dengan gereja, ia tidak mencari alternatif/inisiatif lain. Adapun di Amerika, mereka yang muak dengan gereja akan mendirikan suatu organisasi etika-budaya lalu mengatur petemuan-pertemuan mingguan sebagai pengganti aktivitas di gereja.

Suasana keagamaan di Amerika memang berbeda dengan Eropa, dimana kerja sama yang baik antara Gereja dan Negara jarang ditemukan di Eropa. Reovulis Perancis (1789) misalnya sangat bernafaskan anti agama atau yang dikenal dengan klerikalisme. Tidak heran jika sejarah modern Perancis ditandai dengan semakin lebarnya jurang pemisah antara simbol-simbol agama Katolik dan simbol Negara.

Sejarah mencatat bahwa pada masa pra-revolusi, Perancis dikuasai oleh dua kekuatan, yakni Gereja Katolik yang bekerja sama dengan pemerintah. Aliansi Gereja dan Pemerintah ini berhasil membendung pluralisme agama. Kekuatan agama di luar Katolik Roma dihancurkan.

Praktik kekerasan pihak Gereja yang didukung negara (sakralisasi kehidupan politik) ternyata telah merugikan kedudukan agama dalam perkembangan tahap selanjutnya, bahkan sampai sekarang. Dari sini bibit sekulerisasi lahir dan berpengaruh bagi kehidupan warga Perancis.

Contoh: sikap kaku pemerintah Perancis dalam menanggapi isu-isu agama yang berkaitan dengan hak perempuan Muslim dalam mengenakan jilbab di sekolah. Sampai saat ini Perancis menunjukkan sikap oposisinya, dimana problem yang sama disikapi secara berbeda oleh Amerika yang memberikan kebebasan berpakaian pada siswa.

Lantas, bagaimana kita memaknai sekulerisasi? Sekulerisasi merujuk pada kondisi merosotnya pengaruh dan kredibilitas agama baik pada institusi sosial maupun pada kesadaran individual. Teori ini secara sederhana merujuk pada pola hubungan sebab akibat dari fenomena yang tidak terpisahkan yakni modernisasi.

Teori ini lahir dan berakar dari gagasan-gagasan pencerahan di Eropa abad 17-18 yang diidentikkan dengan kemajuan akal dan kemerosotan agama. Aliran ini berpendapat bahwa sekularitas-modernitas adalah pasangan yang bermanfaat sehingga sekulerisasi harus diberlakukan.

Lahirnya modrnitas di Eropa dibarengi dengan munculnya sikap antipati terhadap agama, baik dalam praktik kehidupan maupun dalam pemikiran sebagian besar masyarakat. Negara selanjutnya secara berangsur-angsur melepaskan diri dari gereja dan kemudian berpisah secara total dengan dicanangkannya doktrin dan koonstitusi demokrasi modern yang liberal.

Di samping itu, dengan berkembangnya sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan diberlakukannya sistem pendidikan serta pola hubungan keluarga tanpa mengindahkan norma-norma agama , terciptalah kondisi yang mengarah pada apa yang diistilahkan sebagai institutional secularization.

Sebagai akibat yang kurang menguntungkan dari perubahan drastis ini adalah bahwa pada masa itu tidak sedikit orang yang meninggalkan agama atau juga menjadi sangat skeptis terhadap ajaran agama agama.

Namun, di luar Eropa Barat, teori sekulerisasi yang melekatkan modernitas dan sekulerisasi itu mulai dipertanyakan. Teori tersebut tidak berlaku di Amerika karena meskipun Amerika negara Barat modern, tapi dalam pola keagamannya sangat berbeda dengan Eropa. Masyarakat Amerika selalu dinilai dan menilai dirinya sendiri sebagai masyarakat beragama.

Permusuhan yang tajam antara negara dan agama di dunia modern Eropa tidak dikenal di Amerika. Peter Berger mengatakan bahwa keberagaman di Amerika terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari masa ke masa yang menjadikan teroi sekulerisasi runtuh dan tidak mendapat tempat di Amerika.

Sekian dulu, nanti dilanjutkan. Semoga bermanfaat. Salam.

Alwi Shihab
Intellectual Muslim Scholar in religious tolerance and pluralism, Temple Univ PhD & Ainshams Univ PhD.

Agama Di Amerika & Eropa (1)


Agama di Amerika.

Sebagaimana lazimnya perkembangan agama di berbagai tempat di dunia, pertumbuhan agama di Amerika diwarnai oleh latar sejarah, geografi dan politik negara tersebut.

Sebelum kehadiran pendatang dari Eropa, ‘agama’ penduduk asli Indian bercorak non-monoteis, ditandai dengan upacara-upacara ritual-seremonial yang menyerupai keyakinan animisme.

Katolik Roma adalah agama pertama yang diperkenalkan oleh pendatang Eropa, khususnya Portugis, Spanyol dan Perancis. Selanjutnya para misionaris Protestan dari Inggris, Belanda, Jerman dan Swedia datang menyusul. Sejarawan sepakat bahwa datangnya agama Kristen Protestan adalah prakarsa sekte Anglikan dan Puritan, yang lantas diikuti sekte-sekte lain.

Banyaknya pendatang dan membajirnya imigran ke Amerika membuat komposisi demografis (termasuk keagamaan) berubah. Semula, para imigran datang ke Amerika lantaran motif ekonomi dan perbaikan nasib, namun ancaman terhadap agama yang telah ada, cukup merisaukan. Pasalnya, para pendatang mendirikan kantong-kantong baru untuk menghidupkan kembali warisan tradisi-budaya dan agama negeri asal mereka.

Jika ditelusuri ke belakang, mayoritas penduduk Amerika sepanjang sejarah merupakan penganut Kristen Protestan. Dapat dilukiskan, pada masa revolusi Amerika 1776, keterikatan Amerika dengan Protestan tak ubahnya kelekatan Islam dan Timur Tengah. Panganut Katolik pada masa itu tak lebih dari 2,5% total penduduk. Sedang penganut Yahudi tidak mencapai seribu orang.

Perubahan komposisi kependudukan pada abad 20 ternyata dibarengi dengan lahirnya komunitas-komunitas agama baru. Pertumbuhan yang paling menonjol di antara agama-agama baru tersebut adalah Yahudi. Urutan berikutnya diduduki oleh agama-agama yang dianut oleh pendatang-pendatang dari Cina dan sekitarnya; dan India.

Pada tahun 1970, J. Gordon Melton, editor Encyclopedia of American Religian menemukan sekitar 800 kelompok keagamaan, di mana sebagiannya merupakan sempalan dari agama-agama besar. Tahun 1994, ensiklopedi tersebut harus menambahkan 200 kelompok baru yang belum terdaftar dan perlu dimasukkan ke dalam entry baru mereka. Bahkan menurut Melton, jumlah terebut masih akan bertambah selama manusia diberi kebebasan untuk berinovasi.

Ternyata jauh sebelumnya, editor ensiklopedi tersebut sudah menyebut angka di atas 1000. Karena tidak kurang dari 1500 kelompok yang menautkan diri pada salah satu bentuk keagamaan, termasuk di antaranya beberapa asosiasi Atheistik.

Dengan tumbuh suburnya keagamaan yang bertebaran di negara ini, menjadikan Amerika sebagai satu-satunya mikrokosmos agama-agama dunia. Berbicara tentang keagamaan di Amerika, masyarakat sering dihadapkan pada sekian banyak paradoks. Pada satu sisi, Amerika diidetifikasi sebagai negara sekuler materialistik yang dikenal sebagai negara pertama dalam sejarah yang menetapkan undang-undang pemisahan antara Negara dan Agama.

Penetapan ini memberikan kesan seolah-olah agama tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Pada sisi lainnya, tidak jarang bangsa Amerika menganggap dirinya sebagai bangsa paling religius. Karena bagi mereka, pemisahan antara Agama dan Negara justru membuktikan bertapa besarnya peranan agama dalam perkembangan budaya bangsa. Sejarah juga mencatat bahwa tidak ada satu negarapun yang menghimpun aneka ragam agama dalam lingkup suatu bangsa seperti Amerika.

Paradoks lain dapat ditemukan dalam kehidupan sebagian besar pemuka agama di Amerika. Di satu sisi mereka sangat aktif dalam aktivitas sosial dan gerakan reformasi, tetapi di sisi lain mereka tidak henti-hentinya mengutarakan rasa khawatir kalau-kalau Gereja dan doktrinnya tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan para pengikutnya.

Dengan kata lain, sebagian pemuka agama telah tampil menjadi aktivis yang mempopulerkan dan membumikan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Namun sebaliknya fungsi gereja (menyelamatkan jiwa-jiwa yang labil) telah diambil alih oleh para psikiater, pekerja sosial dan bahkan paranormal.

Sampai di sini bahasan tentang Agama di Amerika. Masih ada pembahasan berikutnya. Salam.

Alwi Shihab
Intellectual Muslim Scholar in religious tolerance and pluralism, Temple Univ PhD & Ainshams Univ PhD.

Gus Dur Tentang Tuhan dan Ketuhanan


Gus Dur bicara Tuhan. Kata pengantar untuk bukunya Pastur Romo Mangunwijaya
Abdurrahman Wahid

SEORANG awam mendatangi Nabi Muhammad, dan bertanya di manakah Tuhan berada. Nabi menjawab dengan pertanyaan, di manakah Tuhan menurut orang itu? Penanya tersebut lalu menjawab bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Nabi lalu membenarkan ucapannya itu. Para sahabat Nabi lalu mempersoalkan hal itu, sepeninggal orang tersebut. Mengapakah Nabi mengatakan Tuhan berada di langit, nun jauh di atas, padahal bukankah Ia berada di mana saja, karena Ia tidak terikat ruang dan waktu, serta tak mengenal bentuk? Dijawab oleh Nabi, bahwa bagi orang tersebut, Tuhan berada di atas, dan itu sudah cukup baginya.

Riwayat tersebut menggambarkan betapa sulitnya menerangkan hakikat agama kepada manusia. Keserbaagungan Tuhan dan kemaha-mahaan lainnya yang dimiliki-Nya, tak dapat dijelaskan secara tepat kepada manusia. Sebabnya mudah saja: keterbatasan kemampuan manusia untuk menangkap kebesaran Tuhan. Kebesaran-Nya yang demikian mutlak, meniadakan kemampuan untuk hanya menetapkan satu cara saja untuk memahami-Nya. Dengan kata lain, pemahaman akan hakikat Tuhan mau tidak mau lalu mengambil bentuk berbeda-beda, dan dengan sendirinya pemahaman itu sendiri lalu berderajat. Tidak sama tingkat pemahaman Tuhan dari manusia ke manusia lainnya. Ada yang memahami-Nya demikian sederhana, seolah-olah Tuhan adalah sesuatu yang tidak kompleks sama sekali. Tuhan yang demikian adalah Tuhan yang dipahami secara sesisi: Maha Pemarah, Maha Penghukum, Maha Pembalas, dan seterusnya. Kepada manusia Ia adalah wajah kekuasaan yang mengerikan dan menakutkan, selalu siap dengan hukuman dan siksaan-Nya. Ia langsung menghukum setiap kesalahan, kelalaian dan kealpaan, bahkan sering kali hukuman-Nya sudah dijatuhkan sebelum kematian manusia dan ketika dunia belum kiamat. Penyakit menular dari sampar sampai cacar, bencana alam dari gempa bumi sampai banjir dan gunung meletus dan penindasan oleh bangsa-bangsa lain dijadikan contoh dari hukuman Tuhan itu.

Tuhan yang sesisi itulah yang paling banyak mencengkam benak manusia, dari masa ke masa dan dari agama ke agama. Hubungan Tuhan dan manusia dalam pemahaman seperti itu sangat bersifat mekanistik. Kau berjasa kepada Tuhan, kau akan diganjar dengan pahala. Sesuai dengan bagianmu, akan kau peroleh salah satu dari deretan sekian banyak imbalan, mulai dari kolam susu sampai bidadari ayu. Sebaliknya, kalau kau bersalah, hukuman akan jatuh dengan sendirinya. Boleh pilih, menurut tingkat dosamu, dari potong lidah hingga masuk penggorengan raksasa atau dipanggang menjadi manusia guling (ekuivalen kambing guling dari kehidupan dunia). Hubungan Tuhan dan manusia adalah hubungan hitam-putih, dengan spektrum sangat sempit dan tidak ada kemungkinan derajat pilihan cukup besar untuk mewadahi begitu banyak keragaman antarmanusia. Kalau ini yang dijadikan pola kehidupan beragama, masing-masing lalu berada pada kesempitannya sendiri. Jangankan dengan pemeluk agama lain, dengan sesama pemeluk satu agama pun akan terjadi perbedaan tajam. Pemahamanku adalah satu-satunya pemahaman yang benar, dan kau kafir karena kau berbeda dari pandanganku, dus kau bersalah. Neraka adalah bagianmu, dan surga adalah bagianku.



Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh keruwetan hubungan antarmanusia, yang sebenarnya justru jauh dari hakikat agama. Salah satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas perbedaan antarmanusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Manusia yang tidak mampu membebaskan diri dari kungkungan itu sudah tentu tidak dapat mengangkat diri menuju pengembangan sifat-sifat keilahian yang hakiki dalam dirinya, padahal itulah yang justru diminta oleh agama dari manusia. Jadilah bayangan Tuhanmu, agar kau mampu mencintai-Nya, adalah inti dari imbauan agama kepada manusia. Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?

Tidak heranlah jika kaum mistik lalu mendambakan keintiman langsung antara manusia dan Tuhannya. Dari para pertapa Hindu dan Buddha hingga pendiri ordo Katolik dan para Sufi Muslim, mereka semua mendambakan kecintaan timbal-balik yang tulus antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tuhan dilihat sebagai totalitas kebaikan dan kasih-sayang, dan manusia dilihat sebagai penerima kebaikan dan kasih-sayang itu. Karenanya, ia menerima Tuhan dengan kecintaan mutlak dan penghargaan setulus-tulusnya. Terasa benar kedua hal itu dalam ungkapan Sufi wanita Rabi'ah Al-'Adawiyah: Ya Allah, tiadalah kusembah Engkau karena takut neraka-Mu atau tamak surga-Mu, melainkan kusembah Engkau karena Kau-lah zat tunggal yang patut kusembah. Luluhlah semua perintang di hadapan kecintaan seperti itu, hancurlah semua penghalang di muka ketulusan begitu mutlak.

Memang tidak semua manusia dapat sampai ke tingkat pemahaman Ketuhanan seperti itu, karena memang ia adalah tingkatan khusus untuk sejumlah orang suci saja. Namun, ia sepenuhnya benar sebagai tolok ukur ideal bagi pemahaman yang seharusnya dimiliki manusia akan Tuhan-Nya. Nabi Muhammad menggambarkan bahwa Tuhan adalah sebagaimana dibayangkan oleh kawula-Nya, dalam arti Ia mampu mengisi segala rongga yang ada di benak manusia, dan semua sudut yang ada dalam hatinya. Al-Quran mengajarkan bahwa “Tuhan lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya sendiri”, namun pada saat yang sama Ia “duduk tegak di tahta-Nya”. Ini berarti Ia lebih besar dari apa pun rumusan manusia akan hakikat-Nya yang Mahasempurna. Sia-sialah upaya menjaring Tuhan hanya ke dalam sebuah pengertian saja. Seperti dikatakan para ulama Muslimin, boleh kalian rumuskan apa saja tentang Tuhan, tetapi jangan tentukan mekanisme kerja-Nya dalam menciptakan alam dan mengaturnya sekali. Boleh kalian sifati Tuhan dengan seberapa pun sifat yang dapat kalian kumpulkan, namun jangan tanyakan bagaimana sifat-sifat Tuhan itu menyatu dengan Zat-Nya. Jangan sebutkan bagaimana, kata Imam Hambali, bila kaifa dalam bahasa Arabnya.

Gambaran keluasan wawasan Ketuhanan yang seharusnya dimiliki manusia, seperti dicoba untuk digambarkan di atas, rasanya merupakan “pintu masuk” yang tepat bagi buku Romo Y. B. Mangunwijaya ini. Penulisnya melihat hubungan manusia dan Tuhan dalam ketakterhinggaan ufuk Ketuhanan itu, yang melampaui semua perbedaan antarmanusia dan menjembatani semua kesenjangan dalam kehidupan dunia. Manusia pertama-tama tidak dilihat sebagai obyek “garapan Tuhan” saja, melainkan sebagai pelaku aktif yang dituntut untuk mewujudkan pandangan keagamaannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dirumuskan secara global, penghayatan iman seperti itu adalah penghadapan dan pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Keimanan bukanlah sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri lepas dari kehidupan, melainkan ia merupakan bagian utama dari kehidupan, karena ia harus mengarahkan kehidupan itu kepada suatu keadaan yang dikehendaki Tuhan.

Karena Tuhan adalah Tuhan yang Baik, Pemaaf, Pemurah, dan Pengasih, maka manusia tidak dapat lepas dari keharusan mewujudkan dalam dirinya sifat-sifat tersebut. Upaya mewujudkan sifat-sifat Tuhan itu dalam diri manusia tidak dapat berarti lain dari keharusan berbuat baik kepada sesama manusia, bersikap murah hati kepada mereka, mudah memaafkan kesalahan mereka, dan senantiasa berusaha mengasihi mereka. Sudah tentu tuntutan itu berujung pada keharusan manusia untuk senantiasa memikirkan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia, bahkan kesejahteraan seluruh isi alam dan jagad raya ini. Tuntutan keagamaan seperti itu mengharuskan tumbuhnya pandangan tersendiri dalam diri manusia, dan itu akan diperoleh manakala religiositas ditanamkan dalam dirinya sejak masa anak. Bahwa “pendidikan agama” yang konvensional selama ini hanya menekankan penguasaan rumusan-rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan, akhirnya mendorong penulis buku ini untuk mencoba memetakan secara sederhana bagaimana seharusnya religiositas anak dikembangkan dan dibina.

Dalam kitab Al-Hikam, penulisnya merumuskan sebuah sikap yang sangat fundamental dalam mendidik religiositas: jangan temani orang yang perilakunya tidak membangkitkan semangatmu kepada Allah dan ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu ke jalan menuju Allah. Kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan.



Keteladanan adalah kata kunci dari kerja mengembangkan religiositas dalam diri anak. Keimanan anak adalah sesuatu yang tumbuh dari pelaksanaan nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan sederhana, dari apa yang diajarkan. Karenanya, Tuhan yang abstrak tidak akan menciptakan religiositas, karena Ia tidak tergambar dalam keteladanan yang kongkret. Berikan kepada anak sosok Tuhan yang sangat abstrak, dan ia hanya akan menjadi beo peniru rumusan tanpa mampu memiliki religiositas sedikit pun. Letakkan pemahaman anak itu akan Tuhan dalam bentuk yang kongkret, yang dapat diwujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan ia akan mengembangkan dalam dirinya religiositas penuh. Religiositas yang merasa prihatin oleh gugahan keprihatinan orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Religiositas yang dalam lingkupnya sendiri mampu membuat anak itu di kemudian harinya mempertanggungjawabkan keimanannya sendiri kepada kehidupan.

Sebuah kisah menarik dari khazanah kaum Sufi dapat dikemukakan di sini. Seorang wanita saleh tidak mau memberi minum kepada kucing yang dikurungnya, hingga kucing itu mati. Sedangkan seorang wanita pelacur suatu ketika menolong anjing yang tersesat di padang pasir dari kematian karena kehausan, dengan jalan memberikan kepada anjing itu persediaan terakhir air minumnya. Dilakukannya hal itu dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Di hari kiamat, sang wanita saleh dimasukkan neraka, karena kekejamannya jauh melampaui kesalehannya, sedangkan sang pelacur masuk surga karena kasih-sayangnya menyelamatkan makhluk lain, dan itu melebihi semua kesalahan dan kebobrokan moralnya. Mungkin dalam cerita inilah dapat ditemui gambaran kongkret akan religiositas, jika dimaksudkan dengan itu pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Religiositas dalam arti pemahaman bahwa ajaran formal agama belaka tidak akan mampu membentuk keimanan yang mampu meneropong kehidupan dalam segala keluasan dan kelapangannya. Ajaran formal itu masih harus dikongkretkan dalam sikap-sikap yang menghargai kehidupan dan memuliakan kedudukan manusia. Religiositas yang tidak terpaku pada pembenaran diri sendiri atau ajaran sendiri saja, melainkan yang sanggup membuat manusia menghargai sesamanya, betapa jauhnya sekalipun perbedaan antara mereka dalam keyakinan agama.

Tuhan yang ditanamkan pada diri anak, kalau diikuti garis pemahaman tersebut, adalah Tuhan yang mewujudkan diri dalam bentuk kongkret bagi anak. Tuhan milik anak, bukan hanya Tuhan milik kaum agamawan, apalagi Tuhan yang dimonopoli para teolog. Kalau Romo Mangunwijaya dalam buku ini meminta pengembangan anak yang menjadi milik Tuhan, dengan segala keindahan yang ada pada diri anak seperti itu, maka di akhir kata pengantar ini patutlah disambut ajakan itu dengan mengimbau agar hal itu dicapai melalui pengembangan wawasan yang akan menampilkan Tuhan yang menjadi milik anak. Menjadikan Tuhan milik anak, agar anak menjadi milik Tuhan, kalau meminjam peristilahan masa kini (seperti menyadarkan masyarakat dan memasyarakatkan kesadaran).

Mampukah kita semua, dengan melupakan semua perbedaan agama dan keyakinan masing-masing, melakukan kerja itu?