Rabu, 06 Februari 2013

Ekonomi Kreatif – Soft Power


Sekarang kita sedang menyaksikan "ekspansi" Korea. Dimulai dari mobil, barang-barang elektronik, HP, tablet, opera sabun. Sekarang musik. Hebat!

Sekarang ini, "soft power" memainkan peran yang jauh lebih penting tinimbang kekuatan senjata dalam hubungan antar-bangsa. Konsep soft power sudah muncul sejak 2004. Sebetulnya sudah banyak dibicarakan di mana-mana sejak lama.

"Soft power" adalah konsep yang dikenalkan oleh Joseph Nye, seorang profesor dari Universitas Harvard. Yang dimaksud Nye dengan "soft power" adalah kemampuan negara memimpin dunia bukan melalui paksaan militer, tapi melalui daya persuasi.

Suatu negara bisa unggul atas negara lain dengan, misalnya, pengaruh budayanya. Contoh bagus: film-film Hollywood. Itulah "soft power." Penetrasi budaya pop suatu negara ke negara-negara lain menabdakan bahwa negara itu sedang memenangkan "soft power".

Sekarang, mengikuti Amerika, Jepang, India (melalui Bollywood), Korsel sedang memainkan "soft power" melalui K-pop. Fenomena “gang nam” yang tengah melanda dunia merupakan contoh lainnya. Berkat platform baru seperti Youtube, K-pop kemudian merebut perhatian dunia. Agak mirip-mirip dengan fenomena Jojo di Indonesia.

Amerika boleh unggul dalam hal persenjataan. Tapi dalam hal "soft power", belum tentu tak bisa disaingi negeri-negeri lain. Contoh: kasus ‘gangnam dance’.

"Soft power" paling mudah direbut melalui produksi pemikiran atau kesenian. Musik termasuk di dalamnya. Negara yang memproduksi pemikiran-pemikiran yang orisinal dan memikat, dia akan berhasil memimpin dunia melalui "soft power". Negara yang mampu memproduksi film yang baik dan berhasil menembus pasar negeri-negeri lain, dia akan memenangkan "soft power".

Suatu negara bisa unggul atas negara lain dengan, misalnya, pengaruh budayanya. Olah raga bisa juga jadi wahana untuk merebut "soft power". Misalnya popularitas liga Inggris, membuat negeri ini jadi pusat perhatian dunia.

Pemain penting dalam "soft power" bukan pemerintah, tetapi masyarakat. Kreativitas masyarakat yang menentukan. Pemerintah Jepang tidak ikut campur sama sekali dalam mempromosikan komik Doraemon. Soft power sifatnya lebih karena peranan masyarakat (people-based).

Penguasaan bahasa Inggris bukan faktor penentu dalam memenangkan "soft power". Contoh, komik-komik atau novel-novel Jepang yang senang dibaca remaja dan anak-anak disini.

Restoran Thai sudah menembus pasar kuliner Amerika. Itu bentuk "soft power" juga. Kapan warung Padang menyusul? Bisa dimulai dengan rendang “Uni Emi” produksi keluarga Uda Bobby. Kan rendang sudah masuk “top 10 most delicious cuisine”.

Indonesia juga sudah melakukan soft power ke negeri jiran melalui invasi sinetron dan musik. Apakah Indonesia bisa memainkan diplomasi lewat "soft power" ini? Bisa saja. Tantangan buat seluruh bangsa kita.

Mie instan juga berpotensi. indomie telah menggoyang pasar mie instan di Timur Tengah, Hongkong dan juga Nigeria. Batik juga berpotensi, walau belum "really goes global". Sayangnya kini sudah bermunculan produk batik buatan Malaysia dan China yang tak kalah kualitasnya dengan kita. Para designer batik kita ditantang untuk lebih inovatif lagi menciptakan disain-disain baru yang lebih memenuhi selera masyarakat internasional.

Hari-hari ini, Amerika memainkan "soft power" yang dahsyat melalui demam iPhone 5. Bangsa kita juga tengah dilanda invasi softpower dari Cabada melalui produk blackbarry.

Zaman kita kecil di tahun 70an, produk-produk Jepang cenderung diremehkan. Sekarang, lain ceritanya. Bagian dari "soft power." Sekarang, produk-produk China juga cenderung dianggap remeh, kelas dua, dibanding produk Jepang. Ke depan, bisa lain ceritanya. Dampak "soft power." Sebenarnya pemerintah kita sudah mulai memperhatikan “soft power” ini dengan dibentuknya kementerian baru “parawisata dan ekonomi kreatif” yang di pimpin Menteri Mari Elka Pangestu. Seharusnya banyak kreatifitas orang Indonesia yang bisa di pasarkan, antara lain di bidang seni kerajinan tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar