Minggu, 10 Maret 2013

UTANG DAN NILAI TAMBAH


Sekali lagi kita bahas tentang utang. Utang Pemerintah Bertambah Lagi Menjadi Rp 1.979 Triliun. Tapi PDB Indonesia Rp. 8.241 Trilliun. Artinya utang itu bersifat relatif terhadap pendapatan. Ratio Utang terhadap PDB kita saat ini 24%. Berapa ratio yang ideal? Di bawah 60%. Tidak ada negara didunia yang bebas utang. Karena utang adalah juga instrumen moneter. Sekaya apapun suatu negara, tetap butuh instrumen moneter untuk mengendalikan volume uang. Maka negara tetap akan berutang.

Kalau semua negara berutang, siapa yang memberi pinjaman? Rakyat negara itu sendiri tentunya. Sebenarnya tidak ada negara yang kaya, yang ada itu rakyat yang kaya - sehingga negaranya bisa ikut jadi kaya. Yang gila itu kalau negara malah bikin rakyatnya makin miskin. Biasanya kroni di pemerintahan yang jadi makin kaya.

Jadi, uang yang dicetak itu seperti surat utang pemerintah ke rakyat. Selama kita masih menggunakan Rupiah; selama itu pula kita masih meminjamkan kepada pemerintah dan pemerintah berutang. Jadi, kalau pemerintah utangnya nol, warga negaranya pakai mata uang apa? Mata uang negara lain? Berarti meminjamkan ke negara lain.

Setiap pengguna USD secara teoretis adalah memberi utangan kepada pemerintah Amerika. Siapapun itu. Jadi itu sebabnya AS punya utang paling tinggi karena rakyatnya juga paling kaya dan juga karena paling dipercaya warga dunia. Utang di level negara maju bisa sangat besar, karena selain dipinjami warga sendiri, juga dipinjami warga asing.

Bila orang Indonesia makin makmur, apakah dibutuhkan lebih banyak Rupiah? Bila ya, maka utang pemerintah pun makin naik. Pemberi utangan terbesar (70%) kepada Pemerintah Indonesia adalah Warga Indonesia. Saat ini lebih Rp. 4000 Trilliun dana masyarakat di Perbankan, jadi kita sanggup utangin pemerintah 100%, tapi bunga jadi naik. Mau?

Jadi, pemilikan asing atas surat utang Pemerintah punya manfaat menurunkan tingkat suku bunga. Bukankah itu hal yang bagus? Ada yang berpendapat, bunga naik bukannya bagus bagi yang menyimpan uang di bank? Bagus bagi si penyimpan. Disisi lain bunga kredit juga ikut naik, malah jadi beban bagi ekonomi. Dan bunga kredit pasti naik kalau bunga obligasi pemerintah naik.

Secara ekonomi pemerintah = pengutang dan pemajak, bukan pemberi perintah. Bagaimana dengan tuntutan agar pemerintah tak lagi berutang? Utang nol persen? Bisa saja, tapi kemudian warganya akan pakai duit swasta atau duit pemerintah asing. Lha buat apa?

Uang kertas marjin labanya ribuan persen. Modalnya cuma kertas, tinta dan mesin cetak. Enak saja ditulis Rp. 100 ribu per lembar. Saat kita menerima bahwa kertas itu bernilai Rp. 100 ribu, maka saat itulah kita meminjamkan kepada pemerintah. Dan tanpa bunga!

Bagaimana kalau pemerintah mencetak uang Rp 100 ribu sebanyak-banyaknya? Orang akan ragu nilai uang Rp. 100 ribu. Nilai riil jadi mengecil. Ketika uang Rp 100 ribu tidak lagi dipercaya nilainya segitu; maka pemerintah biasanya naikkan lagi angka yang tercetak menjadi Rp 1 juta misalnya. Toh ditulis Rp. 100 ribu atau Rp. 1 juta, ongkosnya tetap sama kan? Bahan bakunya tetap kertas, tinta dan mesin cetak.

Bila pengguna uang makin tidak percaya pada nilai/daya beli uang, maka itulah yang disebut inflasi. Bila dibiarkan akan jadi hyperinflasi. Seperti yang terjadi di Zimbabwe, contoh klasik hyperinflasi. Juga seperti yang dialami Brazil dan Argentina era 1980-an.

---

Sebagai warga negara selain 'meminjamkan' kepada

pemerintah lewat penggunaan uang, kita juga punya kewajiban bayar pajak. Itu

alasan kita harus kritis atas tingkah laku pemerintah - apakah yang dikerjakan

pemerintah membuat kita tambah makmur atau tambah miskin?

Jenis utang yang sehat apa saja? Utang yang bisa memberi

nilai tambah bagi ekonomi. Nilai tambah itu apa? Manfaat lebih dari sumber yang

sama. Contoh: karet versus ban mobil. Mana yang lebih membawa manfaat? Sumber

daya alam nilai tambahnya rendah. Apa anda pernah beli karet 125 kg? Tentu

tidak. Anda belinya ban. Chip komputer dibuat dari Silikon. Bahan baku silikon?

Pasir biasa. Bayangkan perbedaan nilai tambahnya pasir dibanding chip komputer.

Masalah lain lagi: sumber daya alam tunduk pada hukum

ekonomi. Semakin banyak dipasok - harganya semakin jeblok. Masalahnya: produsen

SDA kan bukan cuma Indonesia. Jadi, pasokan bisa cepat sekali membanjir dan

harga jeblok.

Kita negara penghasil emas. Kalau negara lain juga buka

tambang emas dan secara akumulatif memproduksi lebih banyak dari Indonesia -

maka kita akan tekor. Itu sebabnya menurut saya strategi paling masuk akal

adalah penciptaan nilai tambah, bukan sekadar jual mentah.

Bukannya negara yang kaya Sumber Daya

Alam (SDA) juga kaya? Betul, tetapi masalahnya kekayaan itu mengalir ke warga

negaranya atau tidak? Siapa saja yang menikmati kekayaan tersebut? Negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Brunei, dll, kaya

SDA, tapi kekayaan hasil SDA itu mengalirnya ke mana? Ke keluarga kerajaan dan

para ekspatriat. Kekayaan mereka umumnya disimpan di luar negeri. Ketika

kekuasaan mereka berakhir atau ditumbangkan, mereka dengan mudah membawa lari kekayaannya

keluar negeri. Atau malah di rebut oleh negara-negara tempat kekayaan itu disimpan.

Makanya cara berpikir negara akan maju jika punya sumber

daya alam belum tentu benar. Malah menyesatkan. Hong Kong mengimpor semua bahan

makanan, energi, dan bahkan air minum. Tetapi warga Hong Kong 1,5x lebih kaya

daripada warga Arab Saudi. Jepang, Korsel, Taiwan adalah contoh lain di Asia.

Atau Israel di jazirah Arab.

Apa kurangnya Sumber Daya Alam di Afrika? Tapi itu juga

yang membuat Benua itu menjadi miskin, terbelakang, dan korup. Negara Afrika

Selatan yang kaya SDA, kesenjangan ekonominya masuk tertinggi di dunia.

Tapi tidak ada yang berpotensi memberi nilai tambah

lebih besar daripada pemberdayaan manusia. Seorang pemenang Hadiah Nobel,

"bahan baku"-nya sama saja dengan manusia biasa. Tapi terlihat jelas

beda hasilnya.

Penentu kemakmuran sesungguhnya HANYALAH Sumber Daya

Manusia! Kekayaan Sumber Daya Alam cuma akan menciptakan Pemerintahan Tiran dan

Korup, Alam yang rusak, dan Penduduk yang malas.

"Oil is the Devil's Excrement" -- Juan Pablo

Pérez Alfonso (one of OPEC founders). Minyak adalah Tai-nya setan.

“Semoga mereka tidak menemukan minyak disini"

-- kata seorang bapak tua ke Solomon Vandy di film Blood Diamond.



---

Masalah lainnya: untuk mengelola sumber daya alam - juga perlu modal jangka panjang. Lha dari mana? Bisnis di bidang SDA padat modal dan tinggi risiko. Untuk modal saja kita masih kekurangan. Soal risiko? Orang Indonesia penghindar risiko.

Semata karena nggak ada yang mau mengambil resiko. Banyak orang HIPMI kerjanya cuma jualan konsesesi SDA. Tidak mau tangannya kotor. Konsesi SDA di daerah jadi rebutan pengusaha nasional, untuk nantinya di jual lagi ke pihak asing.

Semua pengolahan nilai tambah SDA dilakukan secara terbuka. Tapi kenyataannya? Adalah fakta bahwa orang Indonesia sukanya jualan mentah. Lebih gilanya, bahkan bahan mentah seperti rotan pun diselundupkan ke luar negeri.

Sudah pernah saya bahas dulu, dalam kontrak karya dengan perusahaan tambang asing, biasanya ada kalusul divestasi saham. Prioritas ditawarkan kepada pemerintah.

Dulu sekali, ketika perusahaan tambang tembaga Freeport di Irian melakukan divestasi saham. Hak pemerintah, entah bagaimana caranya, diberikan pada perusahaan Bakrie. Dapat harga diskon dan belinya pakai duit pinjaman. Beberapa waktu kemudian Bakrie menjual saham tersebut ke pihak ketiga. Utang di kembalikan dan memperoleh untung besar. Lalu diam-diam, saham divestasi tadi di beli kembali oleh Freeport dari pihak ketiga itu. Tentang Freeport ini sudah pernah saya bahas disini sebelumnya. Lengkap.

Hal yang sama terjadi ketika divestasi saham perusahaan tambang batu bara KPC milik BP dan Rio Tanto. KPC memiliki pambang batubara terbesar didunia, kini anak perusahaan dari BUMI. Pemerintah seperti biasanya dengan segera kehilangan minat dan kembali Bakrie yang membeli di harga diskon. Modusnya masih sama, pakai dana pinjaman. Segera setelahnya, 30% saham KPC dijual oleh Bakrie ke pada Tata, India. Dengan harga premium tentu saja. Dana hasil penjualan 30% saham ke Tata itu, digunakan untuk membayar utang pembelian seluruh saham KPC sebelumnya. Bakrie kemudian menjadi penguasa KPC dengan modal dengkul. Kasus divestasi saham KPC ini masih meninggalkan perkara hukum dengan pemda setempat hingga sekarang.

Kejadian serupa terjadi lagi ketika divestasi saham perusahaan tambang emas Newmont di NTT. Kembali pemerintah tidak menggunakan hak-nya. Bakrie masuk menggandeng perusahaan daerah. Pemda setempat memperoleh saham tanpa perlu mengeluarkan dana. Bakrie kembali mengulang skenario yang sama. Modal dengkul. Beli pakai dana pinjaman.. Ketika kemudian memperoleh bagian deviden, seluruhnya digunakan untuk pembayar utang. Pemda gigit jari karena semua saham divestasi, termasuk milik pemda telah diagunkan untuk jaminan pinjaman.

Pada tahapan divestasi Newmont terakhir, pemerintah pusat melalui menkeu Agus Martowardojo melawan arus. Tak biasanya, kali ini pemerintah pusat tak melepas haknya. Walau sisa saham divestasi tinggal sedikit, tapi dengan keterwakilan di manajemen menyebabkan pemerintah bisa mengawasi operasional perusahaan dari dalam. Relakah Bakrie? Tentu saja tidak. Kekuatan di parlemen digunakan, BPL dilibatkan. Investasi pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dan besar kemungkinan akan menuai enolakan. Akibatnya Menkeu Agus menjadi bulan-bulan politik. Mungkin itu salah satu sebab beliau akan di pindah menjadi Gubernur BI.

Masih pilih ARB tahun 2014? Duh.

Jadi sebenarnya masalah SDA negeri ini adalah karena terjadinya persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, Kini uang, bukan idealisme, yang mengatur negeri ini. Secara politik negara ini di kuasai oleh para pengusaha dan mereka jelas berorientasi pada keuntungan. Bukannya pemerintah tak memberi kesempatan kepada pengusaha lokal. Mereka hanya ingin mendapat keuntungan secara instan. Kalau bisa mendapat keuntungan tanpa mengotori tangan, mengapa pula harus mencangkul disawah? (Oalah, apakah saya yang trader saham termasuk salah satu dari mereka? Tak ingin tangan kotor? Introspeksi ah).

SDA yang seyogyanya di manfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak sudah lama hanya menjadi slogan. Tidak dilupakan sama sekali, karena masih diperlukan setiap 5 tahun sekali, ketika mereka harus menyapa rakyat disetiap pemilu.

---

Hongkong, Jepang, Singapore itu relatif miskin SDA, mengapa kita harus ikut-ikutan mereka meningkatkan kemampuan SDM padahal aset kita terbesar di SDA? Karena kekayaan itu ada di otak kita bukan di dalam tanah dan kita punya 240 juta otak yang sebagian besar masih miskin. Tapi apakah bisa kalau kita harus bersaing dengan negara lain yang kemampuan otaknya jauh lebih unggul? Jelas bisa. Kita hanya perlu menemukan bidang-bidang dimana kita bisa lebih unggul.

Bila ada potensi Indonesia yang masuk skala dunia - tentunya itu di sisi sektor jasa. Ada pasar yang luar biasa besar. Pasar sektor jasa justru lebih variatif. Untuk jadi baby sitter tidak harus secerdas professor atau sekuat atlet kan? Dalam 10-20 tahun ke depan, populasi manula di negara-negara maju Asia akan meningkat. Jutaan tenaga perawat akan sangat dibutuhkan. Data Kemenkes saat ini kita kekurangan 7200 perawat di seluruh Indonesia. Sementara banyak juga perawat yang memilih bekerja di Jepang.

Tapi ada yang berpendapat, daripada jadi perawat, kenapa orang kita tidak dididik saja jadi nelayan hebat. SDA laut kita kan melimpah tapi malah dicuri nelayan asing.

Barrier of entry untuk jadi nelayan jauh lebih besar daripada jadi perawat. Juga risikonya. Padahal bayarannya lebih kecil. Lembaga pendidikan perawat lebih mudah didirikan secara meluas di seluruh propinsi. Kebutuhannya pun lebih besar. Jutaan.

Himpunan nelayan rentan dikooptasi politik ketimbang profesi keperawatan; menjadikan profesi keperawatan lebih mudah berkembang. Gaji rata-rata seorang perawat di Los Angeles $60-86 ribu (rata-rata $73 ribu/tahun). Setara berapa ton ikan?

Dalam kenyataan: kita miskin SDA. SDA kita tidak ada apa-apanya dibanding Russia, Australia, Afrika Selatan, Brazil, Canada. Dibandingkan China dan bagian Asia-nya Russia - kita kalah. Kalau Australia ikut dihitung kita juga kalah.

Kita sudah sejak beberapa tahun terakhir menjadi negara pengimpor minyak bumi. Sebagian besar APBN dihabiskan untuk subsidi BBM. Tidak produktif dan tak banyak memberi nilai tambah.

Ada sisi kekayaan SDA kita - yaitu di keaneka ragaman hayati (biodiversity). Tapi justru itu yang rusak oleh penambangan dan perkebunan. Ribuan spesies hewan dan tumbuhan di Indonesia hilang tiap tahun, akibat penambangan dan pembukaan lahan perkebunan.

Kalau soal industri kerajinan - memang Indonesia punya masalah serius. Inkonsistensi dan tidak mampu membuat skala besar. Banyak dari mereka masih berupa industri kecil. Sementara industri kecil kita kekurangan modal, baik finansial maupun manajemen keuangan. Banyak yang bikin Business Plan saja nggak bisa.

Mengapa malah Cina yang tak punya rotan jadi pemasok furniture rotan ke berbagai negara? Mengapa bukan kita? Karena kita malas, kurang modal, kurang sabar, atau gabungan ketiganya.

---

Jadi, seharusnya semua di mulai dari SDM dulu. Tahukan anda, sebelum merdeka, Amerika pengimpor buku terbesar dari Eropa? Muara semua kegiatan produksi dalam ekonomi adalah manusia. SDM jauh lebih penting dari pada SDA.

Mantan Presiden Habibie sudah menyadari hal ini sejak lama. Beliau pernah membandingkan nilai tambah satelit vs beras. Ilustrasi Habibie: harga satu satelit $90 Juta. Setara dengan 150 ribu ton beras. Kita mau produksi yang mana? Kalau pilihannya satelit, kita perlu SDM yang mumpuni.

Pada waktu diskusi di Citos sambil ngopi kemaren, kami membahas bisnis pabrik baja. Maklum beberapa teman kini bekerja di proyek pabrik baja di Cilegon. Sejak dahulu kita fokus pada pabrik baja karbon (Carbon Steel / CS). Alasannya karena banyak digunakan didalam negeri. Padahal kita bukan penghasil biji besi. Bahan baku baja karbon tersebut sebagian di impor dari China.

Padahal nilai tambah baja karbon kecil sekali. Baja yang mahal adalah baja campuran (alloy steel), seperti stainless steel yang digunakan di pabrik-pabrik petrokimia. Tehnologinya lebih tinggi, tapi bukan tak bisa di kuasai. Nilai tambahnya jauh lebih besar.

Padahal, tahukah anda, bahwa kita sesungguhnya negara penghasil logam capuran untuk alloy steel tersebut. Bumi kita menghasilkan nikel, mangan, timah, tembaga, dll, beberapa diantaranya termasuk paling besar di dunia. Tapi kita mengekspor seluruh hasilnya dalam bentuk bahan mentah dan kemudian mengimpor produk jadi alloy steel dengan harga sangat mahal.

Lalu disektor mana saja kita sebaiknya fokus?

Tulisan lama di majalah The Economist - hanya ada 4 sektor yang alokasi pengeluaran terus bertambah: seni, informasi, pendidikan dan kesehatan. Jadi, keempat sektor dengan alokasi yang terus bertambah adalah sektor jasa. Itu adalah pasar masa depan sesungguhnya.

Sebagai warga negara selain 'meminjamkan' kepada

pemerintah lewat penggunaan uang, kita juga punya kewajiban bayar pajak. Itu

alasan kita harus kritis atas tingkah laku pemerintah - apakah yang dikerjakan

pemerintah membuat kita tambah makmur atau tambah miskin?

Jenis utang yang sehat apa saja? Utang yang bisa memberi

nilai tambah bagi ekonomi. Nilai tambah itu apa? Manfaat lebih dari sumber yang

sama. Contoh: karet versus ban mobil. Mana yang lebih membawa manfaat? Sumber

daya alam nilai tambahnya rendah. Apa anda pernah beli karet 125 kg? Tentu

tidak. Anda belinya ban. Chip komputer dibuat dari Silikon. Bahan baku silikon?

Pasir biasa. Bayangkan perbedaan nilai tambahnya pasir dibanding chip komputer.

Masalah lain lagi: sumber daya alam tunduk pada hukum

ekonomi. Semakin banyak dipasok - harganya semakin jeblok. Masalahnya: produsen

SDA kan bukan cuma Indonesia. Jadi, pasokan bisa cepat sekali membanjir dan

harga jeblok.

Kita negara penghasil emas. Kalau negara lain juga buka

tambang emas dan secara akumulatif memproduksi lebih banyak dari Indonesia -

maka kita akan tekor. Itu sebabnya menurut saya strategi paling masuk akal

adalah penciptaan nilai tambah, bukan sekadar jual mentah.

Bukannya negara yang kaya Sumber Daya

Alam (SDA) juga kaya? Betul, tetapi masalahnya kekayaan itu mengalir ke warga

negaranya atau tidak? Siapa saja yang menikmati kekayaan tersebut? Negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Brunei, dll, kaya

SDA, tapi kekayaan hasil SDA itu mengalirnya ke mana? Ke keluarga kerajaan dan

para ekspatriat. Kekayaan mereka umumnya disimpan di luar negeri. Ketika

kekuasaan mereka berakhir atau ditumbangkan, mereka dengan mudah membawa lari kekayaannya

keluar negeri. Atau malah di rebut oleh negara-negara tempat kekayaan itu disimpan.

Makanya cara berpikir negara akan maju jika punya sumber

daya alam belum tentu benar. Malah menyesatkan. Hong Kong mengimpor semua bahan

makanan, energi, dan bahkan air minum. Tetapi warga Hong Kong 1,5x lebih kaya

daripada warga Arab Saudi. Jepang, Korsel, Taiwan adalah contoh lain di Asia.

Atau Israel di jazirah Arab.

Apa kurangnya Sumber Daya Alam di Afrika? Tapi itu juga

yang membuat Benua itu menjadi miskin, terbelakang, dan korup. Negara Afrika

Selatan yang kaya SDA, kesenjangan ekonominya masuk tertinggi di dunia.

Tapi tidak ada yang berpotensi memberi nilai tambah

lebih besar daripada pemberdayaan manusia. Seorang pemenang Hadiah Nobel,

"bahan baku"-nya sama saja dengan manusia biasa. Tapi terlihat jelas

beda hasilnya.

Penentu kemakmuran sesungguhnya HANYALAH Sumber Daya

Manusia! Kekayaan Sumber Daya Alam cuma akan menciptakan Pemerintahan Tiran dan

Korup, Alam yang rusak, dan Penduduk yang malas.

"Oil is the Devil's Excrement" -- Juan Pablo

Pérez Alfonso (one of OPEC founders). Minyak adalah Tai-nya setan.

“Semoga mereka tidak menemukan minyak disini"

-- kata seorang bapak tua ke Solomon Vandy di film Blood Diamond.



---

Masalah lainnya: untuk mengelola sumber daya alam - juga perlu modal jangka panjang. Lha dari mana? Bisnis di bidang SDA padat modal dan tinggi risiko. Untuk modal saja kita masih kekurangan. Soal risiko? Orang Indonesia penghindar risiko.

Semata karena nggak ada yang mau mengambil resiko. Banyak orang HIPMI kerjanya cuma jualan konsesesi SDA. Tidak mau tangannya kotor. Konsesi SDA di daerah jadi rebutan pengusaha nasional, untuk nantinya di jual lagi ke pihak asing.

Semua pengolahan nilai tambah SDA dilakukan secara terbuka. Tapi kenyataannya? Adalah fakta bahwa orang Indonesia sukanya jualan mentah. Lebih gilanya, bahkan bahan mentah seperti rotan pun diselundupkan ke luar negeri.

Sudah pernah saya bahas dulu, dalam kontrak karya dengan perusahaan tambang asing, biasanya ada kalusul divestasi saham. Prioritas ditawarkan kepada pemerintah.

Dulu sekali, ketika perusahaan tambang tembaga Freeport di Irian melakukan divestasi saham. Hak pemerintah, entah bagaimana caranya, diberikan pada perusahaan Bakrie. Dapat harga diskon dan belinya pakai duit pinjaman. Beberapa waktu kemudian Bakrie menjual saham tersebut ke pihak ketiga. Utang di kembalikan dan memperoleh untung besar. Lalu diam-diam, saham divestasi tadi di beli kembali oleh Freeport dari pihak ketiga itu. Tentang Freeport ini sudah pernah saya bahas disini sebelumnya. Lengkap.

Hal yang sama terjadi ketika divestasi saham perusahaan tambang batu bara KPC milik BP dan Rio Tanto. KPC memiliki pambang batubara terbesar didunia, kini anak perusahaan dari BUMI. Pemerintah seperti biasanya dengan segera kehilangan minat dan kembali Bakrie yang membeli di harga diskon. Modusnya masih sama, pakai dana pinjaman. Segera setelahnya, 30% saham KPC dijual oleh Bakrie ke pada Tata, India. Dengan harga premium tentu saja. Dana hasil penjualan 30% saham ke Tata itu, digunakan untuk membayar utang pembelian seluruh saham KPC sebelumnya. Bakrie kemudian menjadi penguasa KPC dengan modal dengkul. Kasus divestasi saham KPC ini masih meninggalkan perkara hukum dengan pemda setempat hingga sekarang.

Kejadian serupa terjadi lagi ketika divestasi saham perusahaan tambang emas Newmont di NTT. Kembali pemerintah tidak menggunakan hak-nya. Bakrie masuk menggandeng perusahaan daerah. Pemda setempat memperoleh saham tanpa perlu mengeluarkan dana. Bakrie kembali mengulang skenario yang sama. Modal dengkul. Beli pakai dana pinjaman.. Ketika kemudian memperoleh bagian deviden, seluruhnya digunakan untuk pembayar utang. Pemda gigit jari karena semua saham divestasi, termasuk milik pemda telah diagunkan untuk jaminan pinjaman.

Pada tahapan divestasi Newmont terakhir, pemerintah pusat melalui menkeu Agus Martowardojo melawan arus. Tak biasanya, kali ini pemerintah pusat tak melepas haknya. Walau sisa saham divestasi tinggal sedikit, tapi dengan keterwakilan di manajemen menyebabkan pemerintah bisa mengawasi operasional perusahaan dari dalam. Relakah Bakrie? Tentu saja tidak. Kekuatan di parlemen digunakan, BPL dilibatkan. Investasi pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dan besar kemungkinan akan menuai enolakan. Akibatnya Menkeu Agus menjadi bulan-bulan politik. Mungkin itu salah satu sebab beliau akan di pindah menjadi Gubernur BI.

Masih pilih ARB tahun 2014? Duh.

Jadi sebenarnya masalah SDA negeri ini adalah karena terjadinya persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, Kini uang, bukan idealisme, yang mengatur negeri ini. Secara politik negara ini di kuasai oleh para pengusaha dan mereka jelas berorientasi pada keuntungan. Bukannya pemerintah tak memberi kesempatan kepada pengusaha lokal. Mereka hanya ingin mendapat keuntungan secara instan. Kalau bisa mendapat keuntungan tanpa mengotori tangan, mengapa pula harus mencangkul disawah? (Oalah, apakah saya yang trader saham termasuk salah satu dari mereka? Tak ingin tangan kotor? Introspeksi ah).

SDA yang seyogyanya di manfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak sudah lama hanya menjadi slogan. Tidak dilupakan sama sekali, karena masih diperlukan setiap 5 tahun sekali, ketika mereka harus menyapa rakyat disetiap pemilu.

---

Hongkong, Jepang, Singapore itu relatif miskin SDA, mengapa kita harus ikut-ikutan mereka meningkatkan kemampuan SDM padahal aset kita terbesar di SDA? Karena kekayaan itu ada di otak kita bukan di dalam tanah dan kita punya 240 juta otak yang sebagian besar masih miskin. Tapi apakah bisa kalau kita harus bersaing dengan negara lain yang kemampuan otaknya jauh lebih unggul? Jelas bisa. Kita hanya perlu menemukan bidang-bidang dimana kita bisa lebih unggul.

Bila ada potensi Indonesia yang masuk skala dunia - tentunya itu di sisi sektor jasa. Ada pasar yang luar biasa besar. Pasar sektor jasa justru lebih variatif. Untuk jadi baby sitter tidak harus secerdas professor atau sekuat atlet kan? Dalam 10-20 tahun ke depan, populasi manula di negara-negara maju Asia akan meningkat. Jutaan tenaga perawat akan sangat dibutuhkan. Data Kemenkes saat ini kita kekurangan 7200 perawat di seluruh Indonesia. Sementara banyak juga perawat yang memilih bekerja di Jepang.

Tapi ada yang berpendapat, daripada jadi perawat, kenapa orang kita tidak dididik saja jadi nelayan hebat. SDA laut kita kan melimpah tapi malah dicuri nelayan asing.

Barrier of entry untuk jadi nelayan jauh lebih besar daripada jadi perawat. Juga risikonya. Padahal bayarannya lebih kecil. Lembaga pendidikan perawat lebih mudah didirikan secara meluas di seluruh propinsi. Kebutuhannya pun lebih besar. Jutaan.

Himpunan nelayan rentan dikooptasi politik ketimbang profesi keperawatan; menjadikan profesi keperawatan lebih mudah berkembang. Gaji rata-rata seorang perawat di Los Angeles $60-86 ribu (rata-rata $73 ribu/tahun). Setara berapa ton ikan?

Dalam kenyataan: kita miskin SDA. SDA kita tidak ada apa-apanya dibanding Russia, Australia, Afrika Selatan, Brazil, Canada. Dibandingkan China dan bagian Asia-nya Russia - kita kalah. Kalau Australia ikut dihitung kita juga kalah.

Kita sudah sejak beberapa tahun terakhir menjadi negara pengimpor minyak bumi. Sebagian besar APBN dihabiskan untuk subsidi BBM. Tidak produktif dan tak banyak memberi nilai tambah.

Ada sisi kekayaan SDA kita - yaitu di keaneka ragaman hayati (biodiversity). Tapi justru itu yang rusak oleh penambangan dan perkebunan. Ribuan spesies hewan dan tumbuhan di Indonesia hilang tiap tahun, akibat penambangan dan pembukaan lahan perkebunan.

Kalau soal industri kerajinan - memang Indonesia punya masalah serius. Inkonsistensi dan tidak mampu membuat skala besar. Banyak dari mereka masih berupa industri kecil. Sementara industri kecil kita kekurangan modal, baik finansial maupun manajemen keuangan. Banyak yang bikin Business Plan saja nggak bisa.

Mengapa malah Cina yang tak punya rotan jadi pemasok furniture rotan ke berbagai negara? Mengapa bukan kita? Karena kita malas, kurang modal, kurang sabar, atau gabungan ketiganya.

---

Jadi, seharusnya semua di mulai dari SDM dulu. Tahukan anda, sebelum merdeka, Amerika pengimpor buku terbesar dari Eropa? Muara semua kegiatan produksi dalam ekonomi adalah manusia. SDM jauh lebih penting dari pada SDA.

Mantan Presiden Habibie sudah menyadari hal ini sejak lama. Beliau pernah membandingkan nilai tambah satelit vs beras. Ilustrasi Habibie: harga satu satelit $90 Juta. Setara dengan 150 ribu ton beras. Kita mau produksi yang mana? Kalau pilihannya satelit, kita perlu SDM yang mumpuni.

Pada waktu diskusi di Citos sambil ngopi kemaren, kami membahas bisnis pabrik baja. Maklum beberapa teman kini bekerja di proyek pabrik baja di Cilegon. Sejak dahulu kita fokus pada pabrik baja karbon (Carbon Steel / CS). Alasannya karena banyak digunakan didalam negeri. Padahal kita bukan penghasil biji besi. Bahan baku baja karbon tersebut sebagian di impor dari China.

Padahal nilai tambah baja karbon kecil sekali. Baja yang mahal adalah baja campuran (alloy steel), seperti stainless steel yang digunakan di pabrik-pabrik petrokimia. Tehnologinya lebih tinggi, tapi bukan tak bisa di kuasai. Nilai tambahnya jauh lebih besar.

Padahal, tahukah anda, bahwa kita sesungguhnya negara penghasil logam capuran untuk alloy steel tersebut. Bumi kita menghasilkan nikel, mangan, timah, tembaga, dll, beberapa diantaranya termasuk paling besar di dunia. Tapi kita mengekspor seluruh hasilnya dalam bentuk bahan mentah dan kemudian mengimpor produk jadi alloy steel dengan harga sangat mahal.

Lalu disektor mana saja kita sebaiknya fokus?

Tulisan lama di majalah The Economist - hanya ada 4 sektor yang alokasi pengeluaran terus bertambah: seni, informasi, pendidikan dan kesehatan. Jadi, keempat sektor dengan alokasi yang terus bertambah adalah sektor jasa. Itu adalah pasar masa depan sesungguhnya.

HASRAT BERKUASA



Belakangan ini kita menyaksikan bagaimana hasrat berkuasa mendominasi sikap dan perbuatan seseorang. Hasrat itu akan semakin jelas terbaca dalam beberapa waktu kedepan sampai pileg & pilpres 2014 digelar. Kita akan menyaksikan semakin banyak tokoh politik kita yang pamer pesona dan manipulatif dalam upaya menarik perhatian rakyat guna memenuhi hasrat berkuasa itu.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tengah berkuasa saat ini yang karena dibatasi UU tak lagi berpeluang secara formal untuk meneruskan kekuasaannya? Apakah hasrat berkuasanya juga akan berakhir dengan sendirinya? Sudah tentu tidak. Beberapa waktu lalu sudah kita saksikan dan masih akan terlihat jelas dimasa-masa mendatang, bagaimana seseorang itu berupaya mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan tak hanya bisa dilakukan secara langsung, terbuka dan formal, tapi juga dari belakang layar.

Meski bersifat rendahan, arogan dan sangat tak rasional, tapi hasrat berkuasa itu tetap butuh dalih yang seolah rasional. Karenanya, penguasa hegemon itu butuh para pemanipulasi rasio yang fungsinya untuk mengelabui rasio publik. Manipulator rasio itu semacam kaum sophis yang beretorika, seolah rasiona, untuk membenarkan semua tindak koruptif dan semena-mena penguasa.

Mereka juga bertuga mengubah hasrat politik menjadi seolah rasionalitas politik. Mereka inilah yang mengubah rasio murni menjadi rasio instrumental, yakni rasio yang dimanipulasi untuk kepentingan kelompok (penguasa).

Di negeri ini, atau dimana pun juga, ada titik-titik "rasio penguasa". Titik-titik itu diisi oleh akademisi atau orang pintar yang rasionya telah 'dibeli' oleh penguasa. Mereka berbicara seolah atas dasar kepentingan rakyat, padahal mewakili rasio berkuasa para penguasa. Hasrat para manipulator rasio itu bisa uang, kekuasaan, kedudukan atau lainnya.

Semoga kita dijauhkan dari pemanipulasi rasio, apalagi untuk penguasa dhalim. Semoga rasio kita selalu murni dan bersama rakyat, Juga Tuhan.

--

Ada yang bertanya mengapa sikap saya seperti berubah tehadap tokoh yang kini menjadi pemimpin negeri ini. Bukankah dulu saya ikut memilihnya dan menolak dia dilengserkan tanpa alasan yang fundamental? Sebenarnya tidak ada yang berubah. Saya tidak sedang membahas tokoh yang dipilih rakyat 8 dan 3 tahun yang lalu. Saya sedang fokus pada tokoh yang akan mengakhiri kekuasaannya sekitar 2 tahun lagi. Belajar dari sejarah, hampir setiap pemimpin di negeri ini, setelah sekian lama berkuasa selalu terbius oleh kekuasaan dan karenanya punya kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Dimasa sebelum kemerdekaan, negeri ini dipimpin oleh raja-raja dengan kekuasaan absolut. Mereka memerintah seumur hidup atau diturunkan lewat kekerasan. Melalui pemberontakan dan pengkhianatan.

Dimasa setelah kemerdekaan, walau memlih sistem demokrasi, para pemimpin masa lalu negeri ini selalu berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Soekarno dan Suharto berupaya untuk menjadi presiden seumur hidup. Dengan cara tunai (Soekarno) atau dicicil (Suharto). Presiden berikutnya hanya memerintah sebentar saja, sehingga libido kekuasaan tak sempat merusak iman. Apalagi sistem rekruitmen pemimpin berubah. Dipilih secara langsung oleh rakyat. Masa kekuasaannyapun dibatasi UUD, hanya boleh 2 periode pemerintahan saja.

Lalu apakah libido kekuasaan itu akan dengan sendirinya meredup seiring dengan akan berakhirnya otoritas yang diberikan? Belum tentu. Masa 2x5 tahun masih cukup panjang untuk menjadi terbius oleh kekuasaan. Kekuasaan itu seperti minuman keras yang memabokan. Ibarat obat bius, kekuasaan membuat orang kecanduan.

Ingin mengetahui karakter seseorang? Beri dia kekuasaan.

NASIONALISME EKONOMI


TIDAK ADA nasionalisme ekonomi yang lebih mulia daripada mendorong agar barang bagus harganya jadi lebih terjangkau. Budget belanja seseorang cenderung statis. Jadi bila ada komponen harganya turun - akan ada ruang untuk membeli barang lain.

Kalaupun orang itu tidak mau belanja lebih, uangnya bisa ditabung atau diinvestasikan - akan menjadi modal bagi orang lain.

Contoh budget setara Rp 1000, terbagi belanja atas barang A,B,C,D, dan E. Bila harga A turun, maka ada uang lebih untuk beli B,C,D, atau E. Jadi, efek dari turunnya harga A adalah permintaan lebih besar atas B,C,D, atau E - atau semuanya secara proporsional.

Permintaan lebih besar atas B,C,D, atau E - maka produsen B,C,D, dan E menikmati pasar yang lebih besar. Mungkin sampai bikin pabrik baru. Dengan adanya permintaan baru dan pabrik baru, berarti akan ada lapangan kerja baru. Dari sini akan ada pembeli baru atas produk A,B,C,D & E.

Dari prinsip economies of scale - maka permintaan yang lebih besar atas A,B,C,D, dan E - membuat harga masing-masing bisa dibuat jadi lebih murah. Dan bila A,B,C, dan E semuanya bisa jadi lebih murah, maka daya beli riil masyarakat meningkat.

Padahal dimulai dari A saja yang dibuat murah. Dan ini juga berlaku sebaliknya. Bila A harganya naik - maka permintaan atas B,C,D & E terpaksa turun. Duitnya berkurang karena buat beli A.

Memang seperti menyederhanakan: tapi memang begitulah ekonomi bekerja. Harga adalah semata relativisme terhadap barang lain yang bisa dibeli. Atas hal tersebut, maka bila harga A turun walau karena hasil impor, maka B,C,D & E yang dibuat di dalam negeri permintaannya akan naik. Dan dengan permintaan yang naik atas B,C,D dan E - maka akan ada lapangan kerja baru baru B,C,D dan E - lalu pendapatan baru dan konsumen baru.

Sama dengan itu, bila harga A naik – semata-mata karena alasan "nasionalisme" maka yang dikorbankan adalah konsumsi masyarakat atas B,C,D & E. Kalaupun orang tidak mau beli A,B,C,D dan E - duitnya bisa ditabung. Itu jadi sumber modal bagi industri yang mengekspor A,B,C,D & E.

Apakah orang akan selalu beli A,B,C, D dan E terus menerus? Tentu tidak. Berarti bila ia makin makmur - sisa duitnya akan makin banyak. Sisa duit yang makin banyak ini yang masuk ke bank menjadi simpanan dan dipinjamkan bank ke orang yang butuh kredit. Ekonomi berkembang.

Dari cerita Nasionalisme Ekonomi diatas, kita kemudian paham bahwa keputusan melakukan swasembada daging sapi dan buah-buahan dengan membatasi impor sehingga harga naik dan masyarakat harus membeli daging sapi dan buah dengan harga termahal didunia sungguh berlawanan dengan Nasionalisme Ekonomi. Memang salah satu tujuan swasembada sapi dan buah adalah agar peternak sapi dan petani buah bisa menikmati harga lebih tinggi. Tapi sengaja atau tidak, pemerintah telah mengorbankan kepentingan yang lebih banyak yaitu masyarakat konsumen. Yang dikorbankan bukan hanya merosotnya daya beli masyarakat, tapi juga dampak kekurangan pasokan protein (daging sapi) dan vitamin (buah-buahan) yang diperlukan masyarakat untuk tetap sehat, bugar dan pintar.

Tapi bukankah keberpihakan pemerintah kepada peternak sapi dan petani buah adalah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga pada akhirnya bisa menjadi peternak atau petani yang mandiri dan sejahtera?. Tentu saja kita juga menginginkan peternak-petani yang makmur. Tapi bukankah keberpihakan terhadap suatu kelompok masyarakat tidak harus mengorbankan kelompok masyarakat lain yang malah jauh lebih besar jumlahnya?.

Apakah dengan melakukan swasembada tersebut kesejahteraan peternak dan petani dengan sendirinya akan membaik? Belum tentu. Dalam sebuah penelitian, terdapat 4-5 pihak yang terlibat dalam jalur perdagangan sapi dan buah: 1-Produsen (peternak/ petani); 2-Pengumpul: 3-Distributor; 4-Penjual (di pasar); 5-konsumen (pembeli). Kelompok 1,4 umumnya miskin. Kelompok 2,3 umumnya kalangan berduit. Sementara kelompok 5 mayoritas menengah kebawah.

Ketika harga daging atau buah mahal apakah kelompok 1 (peternak-petani) memperoleh manfaatnya? Jelas tidak. Mereka harus menjual produknya kepada pedagang pengumpul karena tidak punya akses langsung kepada konsumen akhir. Mereka berada dibawah kendali pihak pengumpul yang bisa mengatur harga sesukanya. Begitu pula kalangan penjual (dipasar). Mereka hanya punya akses untuk memperoleh barang dagangan dari distributor. Mereka tidak punya akses, dana dan waktu untuk berhubungan langsung dengan produsen. Jadi harga sebenarnya ditentukan oleh pedagang pengumpul dan distributor, yang umumnya punya dana besar dan akses. Pembeli? Hanya punya daya tawar kepada pedagang dipasar yang hanya punya sedikit margin keuntungan dari harga belinya ke pihak distributor.

Mengapa petani dan penjual (atau malah pembeli) tidak bisa bertemu secara langsung dipasar? Karena lokasinya berjauhan. Sentra peternakan sapi atau buah-buahan terletak jauh dipelosok pedesaan (beda propinsi atau pulau), sementara konsumen terbesar berada di perkotaan. Sentra peternakan sebagian berada di Jawa (Tengah-Timur) dan luar Jawa. Petani buah ada di Sumatera dan Kalimantan. Sementara konsumennya berada di Jakarta.

Selain faktor-faktor diatas, harga menjadi tambah mahal karena biaya transportasi didalam negeri lebih mahal daripada transportasi antar negara. Biaya pengiriman jeruk medan atau pontianak dari sentra petani kepasar di Jakarta lebih mahal dari biaya pengiriman jeruk dari RRC atau India ke Indonesia. Maka agar harga buah impor juga mahal, pemerintah kemudian hanya membolehkan buah impor masuk ke Indonesia melalui pelabuhan tertentu saja. Untuk pulau jawa melalui pelabuhan laut Surabaya. Sehingga diperlukan tambahan biaya angkut untuk mendistribusikannya ke wilayah lain di Jawa, termasuk Jakarta. Kalau kemudian harga seluruh buah-buahan (lokal dan impor) menjadi mahal, siapa yang di rugikan? Konsumen tentunya. Siapa yang diuntungkan? Kalangan pedagang pengumpul, distributor, importir dan pengusaha angkutan. Dan mereka semua umumnya dari kalangan pengusaha yang umumnya berduit. Bayangkan. Negeri yang salah urus dan Menteri Pertanian dari PKS berada di pusat pusaran kemelut tersebut. Sementara pemilu kian dekat. Duh.

AGAMA & SAINS


Dalam astronomi, heliosentrisme adalah teori yang berpendapat bahwa Matahari bersifat stasioner dan berada pada pusat alam semesta. Secara historis, heliosentrisme bertentangan dengan geosentrisme, yang menempatkan Bumi di pusat alam semesta. Diskusi mengenai kemungkinan heliosentrisme terjadi sejak zaman klasik. Barulah ketika abad ke-16 dapat ditemukan suatu model matematis dapat meramalkan secara lengkap sistem heliosentris, yaitu Nicolaus Copernicus, seorang ahli matematika dan astronom. Pada abad berikutnya, model tersebut dijabarkan dan diperluas oleh Johannes Kepler dan pengamatan pendukung dengan menggunakan teleskop diberikan oleh Galileo Galilei.

Ilmuwan Italia Galileo Galilei (1564-1642) dinyatakan keliru oleh Gereja (GRK) pada paham heliosentrisme yang dipertahankannya, mengikuti Kopernikus.GRK memandang Galileo telah menyampaikan ajaran sesat heliosentrisme, yang bertentangan dengan geosentrisme yang dipertahankan GRK. Akibatnya, Galileo diadili dan akan dieksekusi, tapi akhirnya hanya berlaku tahanan rumah seumur hidupnya. Penghukuman atas Galileo dan penolakan GRK pada heliosentrisme-nya terjadi pada abad ke-17. Siapa yang kemudian ternyata benar? Galileo!

Pada abad ke-20, 3 abad setelah Galileo, persisnya di tahun 1992, Vatikan lewat Paus Yohanes Paulus II menyatakan Galileo benar, tidak salah. Diperlukan waktu 300 tahun untuk GRK akhirnya mengakui bahwa sains Galileo di abad 17 benar.

Agama dan sains tidak harus saling bertentangan. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Alam semesta ciptaan Tuhan dan sains adalah cara manusia memahami ciptaan Tuhan tersebut.

FILOSOFI AGAMA


Pernah agama dibentuk dan dipeluk atas dasar ketakutan. Pernah pula agama dibentuk dan dipeluk atas dasar harapan. Saat ini, agama memang tak lagi didasarkan pada kedua kecenderungan purba itu. Tapi, dua kecenderungan itu masih sering kali dihayati oleh umat beragama sebagai salah satu landasan keberagamaannya.

Misal, kita ber-agama karena takut neraka dan berharap surga. Kita yakin pada klenik, karena takut kutukan dan berharap keselamatan. Maka, kata Imam Ali, jangan beragama karena 2 kecenderungan itu. Tapi karena kesadaran total (penghambaan, syukur, fitrah, dll).

Bahkan, simpelnya, beragama bisa dianalogikan dengann bekerja pada perusahaan. Perusahaan tak ingin Anda bekerja karena takut atasan. Sebab, atasan tak mungkin mengawasi Anda sepenuhnya. Perusahaan juga tak ingin Anda bekerja karena berharap gaji semata. Sebab, jika Anda tak puas pada gaji, Anda akan berhenti. Perusahaan ingin Anda bekerja sebagai bentuk pengabdian atas dasar rasa memiliki dan kenyamanan dalam bekerja. Akhirnya, atasan dan gaji bukan lagi landasan atau pertimbangan. Tapi itu hanya konsekuensi (seperti hadiah).

Maka, jangan beragama karena takut Allah atau neraka. Sebab, itu agamanya budak, kata Imam Ali. Jangan beragama karena takut Allah. Sebab, tak selamanya Anda merasa diawasi Allah, walau Allah selalu mengawasi Anda. Jangan pula beragama karena ingin surga. Sebab itu agamanya pedagang, kata Imam Ali. Jangan beragama karena berharap surga. Sebab, agama dan ibadah Anda, jika untuk membayar nikmat nyawa saja takkan sepadan.

Beragamalah, misal, karena syukur. Sebab, syukur bukan berarti untuk membayar apa yang kita dapat dari Allah. Syukur adalah salah satu bentuk kesadaran akan nikmat. Beragamalah, misal, karena penghambaan total. Sebab, itu kesadaran akan keterciptaan.

Singkatnya, jangan beragama karena takut neraka (seperti budak) atau harap surga (seperti pedagang). Tapi karena penghambaan total.

Akhirnya, semoga kita tergolong hamba yang benar-benar beragama.

Belajarlah dari Siapa Pun


Belajar itu wajib, tidak demikian halnya dengan mengajar. Dalam berbagai kesempatan, Muhammad SAW berpetuah tentang kewajiban belajar. Mulai dari belajarlah hingga liang lahat, belajarlah sampai ke Negeri Cina, hingga belajarlah tentang apa yang diucapkan tanpa perlu memersoalkan siapa yang mengucapkannya. Oleh karena itulah, belajar dimulai tanpa mengenal kata berhenti. Siapa pun belajar kepada siapa pun -- dan apa pun -- terutama tentang hal-hal yang memang berkaitan erat dengan hidup dan kehidupannya.

Sesungguhnya, tidak ada yang lebih tahu di antara kita. Hanya lebih dulu tahu saja, tidak lebih, tidak kurang. Belajar tidak mengenal waktu, pun tidak terbatas usia. Terkecuali Isa A.S., yang Allah menghendakinya bisa berbicara bahkan ketika masih bayi, setiap manusia memulai karirnya sebagai manusia dalam keadaan dan kenyataan yang sama-sama tidak tahu apa-apa. Terlahir dari mulut rahim ibunya dalam keadaan tidak bisa apa-apa, manusia kemudian menerima anugerah pendengaran, penglihatan, dan akal dari Allah.

Manusia sama-sama memulai perjalanan dari nol. Dari kosong. Kemudian, orangtualah yang pertama menyiapkan wadah di hati dan akal anak-anaknya untuk menerima pembelajaran setahap demi setahap. Dengan wadah itulah, kita lantas mengambil dan menerima isi dari keluarga, lingkungan, sekolah, dan kalangan pergaulan untuk mengisi yang pada mulanya kosong itu. Sebagaimana cangkir kopi terhadap teko, cangkir itu harus berada di bawah dan teko itu di atasnya agar air kopi bisa dikucurkan. Ilmu laksana air; mengalir. Dan, mengalir itu selalu dari atas ke bawah.

Demikianlah adab belajar: yang menerima ilmu selayaknya tawadhu, merendahkan hati, kepada yang memberikan ilmu. Belajar juga serupa bernafas. Udara tersedia sedemikian luas dan leluasa, namun tidak akan pernah merasuk ke dalam diri jika paru-paru tidak bekerja memompa dirinya sendiri. Udara yang telah diirup akan diolah menjadi hidup untuk kemudian diembuskan kembali sehingga alur kehidupan berjalan. Dan, udara tidak pernah memilih sesiapa yang bernafas: entah ia kafir, entah ia beriman. Yang beriman maupun yang kafir bernafas dari udara yang sama.

Siapa pun adalah murid siapa pun. Setiap orang adalah murid. Pada mulanya, setiap guru adalah murid. Namun, tidak setiap murid pada akhirnya adalah guru. Oleh karena itulah, guru adalah sebaik-baik murid karena ia menjaga dan memastikan ilmu tetap mengalir. Dan, sebaik-baik guru adalah ia yang masih tetap belajar bahkan kepada muridnya. Hubungan belajar-mengajar inilah yang mengabadikan ilmu sebagai cahaya. Menjadi bermanfaat, jika cahaya itu tidak hanya pijar di dalam dirinya sendiri namun juga menerangi sekitarnya. Menjadi bermanfaat, jika ilmu itu naik kelas menjadi amal.

Puncaknya, amal yang didasari ilmu dan ilmu yang didasari adab akan mewujud keberkahan. Menjelma amal jariyah, atau lingkaran kemanfaatan yang tiada putusnya; sebagaimana anak sholeh kepada orangtuanya dan sedekah kepada yang memang membutuhkan. Maka, sebaik-baik manusia adalah sesiapa yang memberikan manfaat kepada sesamanya. Dan, sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi sesamanya adalah ia yang tidak merasa perlu untuk merasa berjasa, ia yang berbuat baik bukan untuk membuat orang lain merasa berhutang budi, dan ia yang tidak menuntut balas budi dari apa yang telah dilakukannya.

Kebaikan memang berbuah kebaikan, namun sebagaimana pohon, belum tentu setiap kebaikan akan berbuah. Selalu terdapat faktor-faktor di luar diri kita yang menjadikan kita sanggup bertahan hidup, tumbuh, berkembang, dan membuahkan karya. Pun demikian kebaikan: tak bisa berdiri sendiri tanpa didukung oleh kebaikan-kebaikan lain dari makhluk-makhluk baik lainnya. Akar dan batang tanpa air dan tanah, tiada berdaya. Daunan tanpa sinar matahari, layu dan mati. Bunga tanpa lebah, alur ekosistem terganggu dan bahkan terhenti. Kebaikan mengabadi sebagai kebaikan jika dan hanya jika diterima dengan baik pula, bukan dengan buruk dan merusak. Kebaikan terancam berubah menjadi keburukan jika diterima dengan buruk dan untuk merusak.

Adab, ilmu, amal, berkah, adalah empat pilar tegaknya kewajiban belajar. Menurut tata urutannya, adab sebaiknya dipenuhi sebelum belajar ilmu, ilmu sebaiknya dipelajari sebelum beramal, dan amal sebaiknya membawa manfaat agar berkah, dan berkah sebaiknya dijaga agar peradaban berjalan ke arah yang lebih baik. Jika perbuatan baik melahirkan darma dan konsekuensi dari perbuatan buruk adalah karma, maka belajar adalah neraca yang adil untuk tidak semena-mena mengadili. Kita tetap bisa belajar dari kebaikan maupun keburukan untuk tumbuh arif dan bijak. Dari keburukan, kita belajar untuk menjadi baik. Dari kebaikan, kita belajar untuk menjadi lebih baik. Terimalah kebaikan dan keburukan dengan baik, jangan memperburuk keadaan.

(Candra Malik, Pengasuh Kelas Sufi)