Kamis, 09 Oktober 2014

Kelompok Aliran Dalam Islam (10)

Landasan Dakwah Habib

Sejak awal masa Islam, Yaman menempati posisi penting di mata Nabi Muhammad. Karena itu, ketika Imam Ahmad al-Muhajir (820-924 Masehi) justru memilih berhijrah ke "kawasan kosong" (empty quarter), yang dulunya dikenal dengan nama Wadi Hadhramaut (lembah Hadhramaut, Yaman) yang tandus dan tak strategis itu, keputusan itu diyakini dan disebut-sebut mengandung sebuah rahasia (asrar) besar. Dan ternyata, memang dari sanalah salah satu arus dakwah Islam berbasis damai, cinta kasih, dan akulturatif bergerak ke kanan hingga Asia Tenggara (khususnya Indonesia). Ini berbeda dengan arus dakwah Islam ke kiri (sampai Andalusia, Eropa) yang cenderung bercorak perang, penaklukan, politis, dan melawan jejak sejarah dan budaya Yahudi-Kristen yang telah ada sebelumnya.

Dakwah dari Hadhramaut itu dibawa oleh kalangan habaib (jamak dari kata habib), yakni keturunan Nabi Muhammad. Dari segi morfologi (sharf) saja, habib berarti "yang dicinta" (obyek-maf'ul) atau "yang mencinta" (subyek-fail). Sebab, cinta menjadi roh dakwah Islam yang dibawa para habib yang berbasis Thariqah 'Alawiyah, ajaran praktis tasawuf yang dipegang dan diajarkan secara turun-temurun oleh para habib, serta menjadi pedoman dakwah mereka.

Ajaran cinta dan damai yang menjadi roh dakwah Islam para habib itu telah diteguhkan sejak awal oleh Faqih al-Muqaddam-pendiri Thariqah 'Alawiyah-dengan simbolisasi upacara pematahan pedang di depan para pengikutnya sebagai bentuk ditinggalkannya metode kekerasan dalam dakwah Islam. Itulah yang kemudian menjadi landasan (platform) dakwah Islam kalangan habib hingga kini.

Platform itu pun didasarkan pada sikap Sayyidina Ali yang dalam situasi tersulit sekalipun, yakni menghadapi brutalitas kekerasan kaum Khawarij, tetap konsisten pada jalur damai (tahkim). Itu pula yang diperlihatkan Faqih al-Muqaddam dan generasi awal para habib di Hadhramaut yang tetap pada jalur damai, meskipun menghadapi brutalitas kekerasan 'Ibadiyah (sekte Khawarij) ataupun kaum Qaramithah yang sangat kejam dan barbar. Rumus mereka, yakni amar ma'ruf dan nahi munkar, tak akan bisa tegak dan sukses tanpa jalur damai yang berbingkai rahmat dan cinta.

Sebagaimana dikemukakan pengamat seperti Mark Woodward (Arizona State University, penulis Islam in Java) dan Engseng Ho (Duke University, penulis The Graves of Tarim), platform dakwah para habib itu juga bersifat inklusif, sebagai pengejewantahan rahmat-Nya. Ini terlihat hingga kini, di mana para habib itu biasanya menerima murid tanpa melihat latar belakang atau kelas sosialnya: dari preman hingga kalangan pinggiran. Adapun naluri "kekerasan" yang mungkin ada pada mereka justru diarahkan oleh para habib itu kepada mujadalah dalam tradisi tasawuf, yakni pelumpuhan nafsu-nafsu rendah. Adapun dalam konteks politik, sesuai dengan platform, para habib itu biasanya cenderung menjaga jarak, walau juga tetap menjaga pengaruhnya sebatas untuk kepentingan (maslahat) dakwah dan umat.

Husein Ja'far Al Hadar

Selasa, 07 Oktober 2014

Lagi, Kecanduan Subsidi

Anda yang pernah punya bisul tentu tahu rasanya: sangat mengganggu. Tapi, ternyata ada juga yang bisa menikmatinya ketika bisul itu dielus-elus. Katanya bisa membuat merem melek.

Sekarang bukankah kita sedang mengelus-elus bisul? Namanya subsidi energi –baik BBM, listrik,maupun elpiji. Siapa pun tahu bahwa subsidi berlebihan yang tak tepat sasaran itu jelas penyakit. Tidak adil, mendorong perilaku boros, merusak mindset,… dan silakan sebut puluhan lagi.

Namanya juga bisul, ya harus dipecahkan, bukan dielus-elus. Apalagi, itu candu yang membuat rakyat ketagihan. Begitu tidak ada, rakyat sakau, mencarinya ke mana-mana. Dan terjadilah pertarungan kebenaran melawan pembenaran. Lihatlah ketika Pertamina memutuskan untuk mengendalikan konsumsi, kelangkaan BBM segera terjadi, terutama di luar Jakarta. Tapi, apa yang kita lakukan?

Lihatlah, bak candu, ketika BBM bersubsidi hilang, pemilik mobil rela berkeliling jauh mencari yang masih menjualnya. Begitu didapat, puas sekali rasanya. Lalu, dengan bangga mereka berbagi cerita tentang ”perburuan” itu kepada kolega-koleganya.

Lain lagi elpiji. Dulu, ketika harga elpiji 12 kilogram dinaikkan, banyak rumah tangga di kawasan elite yang tanpa malu-malu memburu gas tabung ukuran 3 kilogram. Rumah boleh elite, tas mewah buatan Italia, tapi perilaku mencari barang murah adalah hal lain.

Pun konsumsi listrik. Kita protes saat tarif dasarnya naik, tetapi kita biarkan AC, dispenser air panas, dan lampu di gedung-gedung beton terus menyala meski tak seorang pun ada di situ. Sekali lagi, saya tak antisubsidi kalau saja penikmatnya memang mereka yang harus disubsidi. Kini sudah campur aduk dan tak pantas lagi dielus-elus dengan pembenaran karena science tak bisa dipakai untuk mengelus bisul. Kecuali, Anda belajarnya dari Ponari.

Efek Candu

Begitulah kalau energi murah sudah menjadi ”candu”. Sebagaimana orang kecanduan, perilaku kita menjadi aneh dan menyimpang. Boros dan kurang peduli.

Tapi, jangan salah, perilaku itu bukan hanya milik konsumen. Itu ternyata juga diidap banyak pejabat. Akibatnya, keputusan-keputusan yang dibuat kontraproduktif. Contohnya begini. Mereka tahu bahwa setiap tahun jumlah penjualan kendaraan bermotor selalu bertambah. Untuk 2014, misalnya, jumlah sepeda motor diperkirakan bertambah 10 juta–12 juta unit. Lalu, untuk mobil, diperkirakan mencapai 1,25 juta unit.

Lalu, apa yang para petinggi kita putuskan? Mereka malah mengurangi kuota BBM bersubsidi dalam APBN 2014 dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Sudah harganya tidak naik, jatah kuota diturunkan. Itu jelas ilmu jurus batu Ponari, bukan? Akibatnya apalagi kalau bukan antrean panjang dan kelangkaan?

Dampaknya kita lihat di mana-mana. Betul-betul heboh.

Perilaku aneh lainnya begini. Bagi sejumlah produsen, naik harga sebisanya dihindari. Tapi, ketika kondisi sudah tak terelakkan, mereka akan melakukannya. Dalam kasus BBM, kondisinya tidak begitu. Kalangan legislatif maupun eksekutif seakan-akan alergi dengan kata ”menaikkan harga BBM”. Mereka mati-matian menghindarinya. Saling mengunci.

Level of Playing Field

Baiklah, kita harus fair. Dalam teori ekonomi apa pun, subsidi, meski mendistorsi pasar, adalah hak rakyat yang membutuhkannya. Namun, bukan berarti distorsi itu tidak diperlukan. Sebab, dalam batas-batas tertentu, pasar bebas tidak sepenuhnya baik bagi kita.

Persaingan bebas bisa diterapkan jika ada kesamaan tingkat dari para pelakunya (same level of playing field). Sederhananya begini. Petinju kelas berat hanya layak ditandingkan dengan sesama kelas berat. Apa jadinya kalau si kelas berat diadu dengan si kelas bulu? Jelas bukan pertandingan, melainkan pembantaian.

Jelas kita masih memerlukan subsidi, namun yang tepat sasaran. Subsidi di sini tak hanya dalam bentuk finansial, tapi bisa juga berupa kebijakan.

Lalu, bagaimana subsidi BBM kita? Banyak riset menyebutkan bahwa hanya 30 persen dari subsidi BBM yang tepat sasaran, diterima mereka yang membutuhkan. Sebagian besar malah dinikmati oleh mereka yang tidak berhak. Di luar Kota Namlea, Pulau Buru, tempat Rumah Perubahan berkarya, misalnya, masyarakat adat harus membayar BBM bersubsidi seharga Rp 27.000. Itu pun sering tidak ada.

Dan, kita terlalu lama membiarkan kondisi semacam itu berlarut-larut. Kini bukan masanya lagi bagi kita untuk mengelus-elus bisul. Kita harus membuatnya pecah. Bukan pakai batu Ponari, melainkan akal sehat


Rhenald Kasali

Takfirisme: Asal-Usul dan Perkembangannya.

Di suatu subuh, pada tanggal 14 Ramadhan tahun 40 Hijriah, tiga orang militan yang menyimpan rencana pembunuhan berusaha mencari saat yang tepat untuk membunuh 3 orang tokoh terpenting umat Islam di Makkah saat itu. Mereka, Al-Barak bin Abdullah, ‘Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam, adalah anggota dari kelompok Khawarij—orang-orang yang memisahkan diri (dari mainstream Muslim), yang tidak puas terhadap cara-cara para pemimpin mereka mengelola urusan-urusan umat. Membunuh 3 pemimpin terpenting yang ada akan membuka jalan bagi mereka untuk menguasai pemerintahan dan menerapkan ideologi yang mereka anggap benar?

Siapa Khawarij ini? Mereka awalnya adalah pengikut salah seorang dari 3 pemimpin yang sedang mereka rencanakan pembunuhannya itu, Ali bin Abi Thalib, Khalifah yang sah pada saat itu, tapi mereka tak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk menoleransi tahkîm (arbritase) antara sang Khalifah dengan musuhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan melalui orang yang ditunjuknya, yakni ‘Amr bin ‘Ash. Mereka melihat Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kekhalifahan yang sah (bughat), maka tak ada cara lain kecuali bahwa ia harus diperangi. Inilah, menurut mereka, hukum Allah sebagaimana tertulis dalam kitab suci al-Qur’an. Dan, laa hukma illal-Lah (tak ada hukum kecuali hukum Allah). Akibat tak ditaatinya hukum Allah itu, chaos (fitnah) pun berkepanjangan, dan kini terdapat dualisme pemerintahan di tengah kaum Muslim. Dan, karena tak mau mengikuti hukum Allah, tak urung sang Khalifah pun dianggap kafir. Demikian pula Mu’awiyah sang pemberontak dan ‘Amr bin ‘Ash. Maka, selain sang Khalifah, mereka pun mengirim orang untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash.

Fenomena Khawarij menandai terbentuknya fenomena takfirisme (takfiriyah) dalam Islam. Yaitu perumusan suatu doktrin pengkafiran yang mereka percayai mereka dasarkan pada ajaran al-Qur’an. Suatu doktrin yang menyebabkan seorang Muslim yang shalat menghadap kiblat yang sama, melakukan berbagai kewajiban keagamaan, memiliki rukun-rukun kepercayaan yang sama, dapat dianggap sebagai kafir. Bukan hanya itu, bahkan menjadi halal darahnya akibat pemberian status kafir itu.

Akhirnya sejarah mencatat, mereka gagal membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash, tapi berhasil menikam dan membunuh Khalifah Ali ketika sedang shalat Subuh di Masjid.

Dua sampai tiga hari Khalifah Ali masih bertahan hidup sebelum akhirnya wafat. Di hari-hari itu Khalifah sempat memberikan wasiat kepada kedua anaknya: Hasan dan Husain. Dan di antara wasiatnya adalah: “Orang-orang (Khawarij) ini masih akan terus dilahirkan dari tulang-tulang sulbi ayah mereka.”

Sekarang, marilah kita lihat problem takfirisme dalam Islam ini dari perspektif doktrinal-historis dan geopolitik global.

 

Doktrinal-Historis

Para ahli fenomenologi agama menunjukkan adanya dua cara dalam melihat dan memahami agama. Yakni sebagai agama berorientasi hukum (nomos/law oriented religion) dan agama berorientasi cinta (eros/love oriented religion). Karena pada dasarnya setiap gagasan, tak terkecuali gagasan keagamaan, adalah tafsir atas teks, maka cara pandang—saya cenderung menyebutnya sebagai paradigma—seperti ini membentuk cara tafsir terhadap doktrin sebagaimana terkandung dalam teks-teks keagamaan. Yang pertama cenderung melihat agama—Tuhan, Nabi, dan ajaran—sebagai didominasi oleh sifat-sifat keras yang meyisihkan (eksklusif), sementara yang kedua melihat agama sebagai wadah manifestasi cinta—cinta Tuhan kepada alam semesta, dan sebaliknya cinta alam semesta kepada Tuhan. Secara alami, cara yang kedua ini menjadikan agama mengutamakan kedamaian dan inklusifisme. William Chittick, seorang ahli tasawuf, ketika membahas pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi, menyebutnya sebagai hermeneutics of mercy (hermeneutika kasih-sayang). (Untuk pembahasan terinci mengenai masalah ini, sila baca tulisan saya “Islam : Religion of Love and Mercy”, atau beberapa bab dalam buku penulis Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Mizan, 2013)

Nah, doktrin takfiriyah dapat dengan mudah dilacak sebagai berakar pada cara pandang terhadap agama yang menekankan pada aspek-aspek keras hukum-hukum keagamaan ini. Sebagai akibatnya, berkembang sikap eksklusif dalam bentuk kecenderungan untuk mengeluarkan kelompok lain dari apa yang diyakini sebagai umat pemeluk agama. Lebih dari itu, muncul pula dengan kuat rasa keharusan untuk menghukum orang-orang yang dianggap sebagai membangkang terhadap ajaran Tuhan (kafir) ini dan, kalau perlu, mencabut hak mereka untuk hidup di bumi-Nya. Sedemikian kerasnya sikap takfiriyah seperti ini, kelompok Khawarij awal cenderung memperlakukan sesama Muslim, yang tidak sejalan dengan cara pandang mereka mengenai Islam, secara lebih buruk daripada perlakuan mereka terhadap kelompok non-Muslim yang mereka anggap melakukan syirik (musyrik mustajîr).

Belakangan, fenomena serupa muncul ketika terbentuk Salafisme awal, dengan Ibn Taimiyah sebagai tokoh utamanya. Meski mengklaim mengikuti generasi Muslim awal—figur-figur terkemuka dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabiin hingga abad ke-2 hijriah—pada praktiknya Salafisme cenderung mengikuti mazhab Hanbali yang cenderung ketat dan literal.

Persoalannya adalah—seperti dicatat oleh para pengamat terhadap mazhab Hanbali, termasuk Syaikh Hasan Farhan al-Maliki, seorang alim dari Arab Saudi di bukunya Qira’ah fi Kutub al-‘Aqidah; al-Madzhab al-Hanbali Namudhajan—sejak zaman Ibn Taimiyah kelompok Islam ini memulai tradisi mengecam hingga mengkafirkan kelompok-kelompok Muslim yang tidak mengikuti pandangan Ibn Taimiyah. Dan ini tidak hanya terbatas terhadap kaum Syiah yang dia serang keras dalam bukunya Minhaj al-Sunnah, tetapi juga terhadap kelompok-kelompok Sunni lain seperti Asy’ariyah, Hanafiyah, kaum sufi, dan lain-lain. Tradisi pengecaman ini dilanggengkan oleh para murid Ibn Taimiyah, termasuk Ibn Qayyim al-Jauziyah. Syaikh Hasan bahkan mengaitkan Salafisme dengan Nawasibisme, yaitu kebencian terhadap keluarga Nabi (Ahli Bait), yang “kebetulan” amat dimuliakan oleh kaum Syiah.

(Disclaimer: patut diingat bahwa tentu saja pernyataan tentang kecenderungan Nawashibi ini—bahkan kecenderungan takfiri—tidak dapat dinisbatkan kepada semua aliran dalam Salafisme karena mereka memiliki spektrum tersendiri—dari yang paling moderat hingga yang paling ekstrem. Selain itu, perlu juga ditegaskan bahwa kelompok Takfiri ini terpecah-pecah ke dalam banyak kelompok kecil-kecil. Tak jarang yang satu mengafirkan yang lain. Bahkan, sebagian di antara mereka menuduh kelompok lainnya sebagai Khawarij).


Pengertian Takfirisme

Yang pasti, saat ini terbentuk banyak aliran yang seara khusus mengembangkan doktrin tentang takfir seperti ini. Jadi, takfiriyah bukanlah sekadar sikap suka mengafirkan kelompok-kelompok Muslim lain yang bukan kelompoknya, melainkan mengembangkan doktrin khusus elaboratif tentang takfir yang cukup sophisticated berdasar pemahaman mereka tentang ajaran-ajaran agama sebagaimana terbaca dalam teks-teks keagamaan yang ada, baik al-Qur’an, Hadis, maupun pemikiran-pemikiran “kaum salaf”. Mulai dari Kasyf al-Syubuhat karya Muhammad bin Abdul Wahhab, Ma’alim fi al-Thariq karya Sayid Quthb, atau Al-Jami fil-‘Ilmi Asy-Syarif Al-Iman wa Al-Kufr, karya Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Di Indonesia ada buku-buku semacam Aliran-aliran Sesat di Indonesia karya Hartono Ahmad Ja’iz atau Mulia dengan Mazhab Salaf karangan Yazid bin Abdulkadir Jawas. Di dalamnya didaftar puluhan kelompok Muslim yang dianggap sesat. Orang tak dapat menghindar dari kesan bahwa, di mata penulis-penulis semacam ini, hanya kelompok mereka sendiri yang benar dan kelompok lainnya sesat, bahkan kafir.

Jadi takfiriyah bukanlah sekadar pengkafiran, melainkan pengkafiran semua kelompok Muslim yang bukan kelompoknya, yang didasarkan pada upaya perumusan doktrin takfir yang elaboratif dan indiskriminatif. Dan takfir dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada tataran wacana, melainkan selalu dihubungkan dengan keluarnya seseorang dari agama dan ancaman pemusnahan di dunia dan ketidakselamatan di akhirat akibat perbuatan kufur tersebut.

Hal ini berbeda dengan penggunaan istilah takfir pada tataran wacana dan bersifat diskriminatif, yang juga tak disertai ancaman pemusnahan di dunia atau ketidak-selamatan di akhirat. Contoh mengenai ini kita dapati pada kasus pengafiran yang dilancarkan oleh Imam Ghazali kepada para filosof sebagaimana terungkap dalam bukunya Tahafutu l-Falasifah. Jangankan disertai upaya pencabutan hak hidup kelompok yang disebut kafir, bahkan dengan hati-hati Imam Ghazali menjelaskan bahwa kategori kafir yang digunakannya tidak sama dengan kategori yang mengakibatkan si tertuduh kafir dihukumi keluar dari agama.

 

Sosial-Politik

Dewasa ini terjadi gelombang baru “Salafisasi” di beberapa bagian dari Dunia Islam Sunni, seperti tampak pada kemenangan mengejutkan partai Salafi di Mesir. Belakangan, sikap kaku-keras Salafisme semakin mengkristal akibat kekecewaan mereka atas kenyataan bahwa perjalanan sejarah dari mayoritas Muslim tampaknya cenderung mengakomodasi perkembangan peradaban modern, sesuatu yang dianggap mencemari kemurnian Islam yang mereka promosikan. Perkembangan ini dipandang sebagai ancaman bagi Islam yang mereka yakini, khususnya ketika perasaan ini tercampur dengan perasaan menjadi korban (victimized) oleh negara-negara adikuasa yang “anti-Islam” (yang mereka pandang berkolaborasi dengan kaum Muslim pembuat bid’ah ini, seperti akan disinggung lebih jauh setelah ini).

Takfirisme kontemporer—yang tak lain lahir dari ekstremisme keagamaan—ini kiranya juga dipantik oleh ketimpangan politik dan ekonomi di mana kelompok keagamaan memiliki—atau, setidak-tidaknya dianggap demikian—akses istimewa kepada pemerintahan, kekayaaan, posisi penting di pemerintahan dan kehidupan kultural. Kontestasi pengaruh di dalam tubuh umat Islam ini dipertajam oleh keterlibatan pemerintahan-pemerintahan asing—Amerika dan Eropa—yang tidak ingin kehilangan cengkeramannya di wilayah ini, dengan mendukung rezim-rezim tertentu sejauh dapat mengamankan kepentingan politik dan ekonomi mereka. Keterlibatan negara-negara superpower ini terbukti sangat berpengaruh dan melanggengkan—jika bukannya memperparah—gejala ekstremisme, dan konflik-konflik sektarian yang lahir darinya. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa, sejak era 1970-an dan 1980-an, berbarengan dengan munculnya fenomena Perang Dingin dan apa yang biasa disebut Kebangkitan Islam, AS (dengan dukungan negara-negara Eropa) berkepentingan untuk memastikan bahwa sebanyak mungkin negara Muslim bergerak di bawah pengaruh orbitnya.

Secara umum, menguatnya takfirisme juga terkait dengan Perang Dingin regional antara Sunni Arab Saudi dan Syiah Iran untuk memobilisasi dukungan regional. Saudi di satu pihak memosisikan diri sebagai pelindung kaum Sunni, sementara di pihak lain, Tehran secara alami mencari sekutu-sekutu di antara komunitas Syiah yang hidup di Lebanon, Irak, dan beberapa negara lain. Karena alasan inilah Arab Saudi dan beberapa negara Arab dengan senang hati memberikan dukungan finansial kepada kelompok-kelompok konservatif, khususnya, kelompok Salafi, sebagai proxy mereka demi memastikan bahwa kubu Islam anti-Syiah dapat selalu mempertahankan pengaruh dan perannya sebagai pembendung perkembangan aliran Syiah dan ekspansi politik Syiah di negeri-negeri Muslim.

Perkembangan Musim-Semi Arab (Arab Spring) belakangan ini merupakan peristiwa mutakhir yang, sayangnya, justru kian memperparah kecenderungan ekstremisme dan takfirisme di negara-negara seperti Arab Saudi, Bahrain, dan Suriah. Sebagaimana di Indonesia pasca-Reformasi, demokratisasi yang lahir dari Musim Semi Arab ini seolah-olah seperti membuka Kotak Pandora, yang memungkinkan kelompok-kelompok ekstrem Islam—termasuk yang beraspirasi kekerasan, yang tadinya tertahan oleh otoritarianisme yang berkuasa—mendapatkan ruang untuk berkembang bebas. Dan hal ini, khususnya akibat lemahnya pemerintahan dan persaingan politik dalam negeri, telah memakan korban tragis dalam bentuk pembiaran prosekusi kelompok-kelompok yang lebih moderat oleh para ekstremis-takfiri sebagai tampak di Libya, Aljazair, Mesir (khususnya pasca-kudeta militer), Suriah (di wilayah-wilayah yang di dalamnya kaum Salafi-Jihadis memiliki sebatas tertentu kekuasaan), dan berbagai wilayah lain.


Pengantar Diskusi Ciputat School, Jumat, 25 April 2014.

Dr. Haidar Bagir - alumnus Teknologi Industri ITB 1982 dan mengenyam pendidikan pasca sarjana di Pusat Studi Timur Tengah Harvard University, AS 1990-1992, dan S-3 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan riset selama setahun (2000 – 2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, AS.

Kontemplasi


Kontemplasi bisa diartikan perenungan atau melakukan pergulatan pemikiran (brainstorming). Untuk memahami suatu persoalan secara jernih kita perlu melakukan kontemplasi ini.

Sama seperti halnya ketika kita melihat gambar di layar komputer. Kontemplasi juga berarti menjaga jarak terhadap suatu masalah. Gambar yang di zoom terlalu besar hanya akan memperlihatkan kumpulan pixel-pixel tanpa makna.

Sebaliknya jika jarak kita terlalu jauh dari gambar tersebut maka kita pun tidak bisa melihatnya secara jelas. Hanya dengan jarak tertentu sajalah kita bisa melihat gambar tersebut secara utuh dan jernih.

Kontemplasi atau pergulatan pemikiran dibutuhkan semua orang. Banyak manfaat yang kita dapat dalam masa-masa kontemplasi ini. Ide-ide paling cemerlang, solusi paling tepat, keputusan paling bijak lahir dari masa-masa kontemplasi ini.

Kontemplasi itu sendiri kami artikan sebagai perenungan atau pergulatan pemikiran. Jadi tidak sama dengan melamun. Persoalannya, kontemplasi ini membutuhkan kesendirian dan waktu. Ini tidak mudah bagi sebagian orang.

Bagi mereka yang sudah berkeluarga dan tinggal di kota besar, agak sulit mencari waktu khusus untuk lakukan kontemplasi. Padahal kontemplasi ini sungguh penting bagi kemajuan karir, keharmonisan rumah tangga, kemajuan bisnis, dll.

Sesungguhnya kita tidak perlu membuat ruangan khusus dan menyediakan waktu khusus untuk bersemedi melakukan kontemplasi ini. Kontemplasi bisa dilakukan dimana saja dan waktu-waktu yang tertentu. Tiap orang punya suasana favorit untuk melakukan kontemplasi.

Ada yang senang melakukan pergulatan pemikiran saat berada di dalam kendaraan umum. Macetnya lalu lintas dimanfaatkan sebagai kesempatan melakukan kontemplasi. Tapi tiap orang memiliki suasana favorit tersendiri untuk lakukan kontemplasi. Dan beberapa cukup unik. Percaya tidak percaya, ada yang gunakan wc sebagai tempat favorit lakukan kontemplasi.

Dimanapun tempatnya, kapanpun waktunya tidak masalah. Namun setiap hari kita harus melakukan kontemplasi. Mengapa demikian? Karena hanya dengan kontemplasilah kita bisa kembali menjadi diri kita sendiri. Tanpa kontemplasi kita akan menyikapi dunia secara tidak jernih dan cenderung larut di dalamnya.

Kami yakin, para pejabat yang terjerat kasus korupsi itu tidak pernah melakukan kontemplasi secara rutin. Sebab jika mereka lakukan kontemplasi sebelum korupsi tentu akal sehatnya akan mengingatkan.

Begitu juga bagi mereka yang karirnya mentok. Tentu mereka lupa menyempatkan diri melakukan kontemplasi dengan rutin. Sebab jika mereka lakukan kontemplasi, tentu mereka sudah menemukan solusi bagi karirnya yang mentok itu. Begitu juga untuk persoalan-persoalan lain. Kontemplasi akan sangat manjur membuat kita melihat persoalan secara jernih. Dan sekali lagi, kontemplasi tidak butuh tempat khusus, waktu khusus dan sikap tubuh tertentu pula. Cukup otak kita yang bekerja. Cobalah lakukan kontemplasi tiap hari. Dan rasakan manfaatnya untuk hidup anda.

Pluralisme Bersyarat Teladan Nabi


Model pluralisme yang bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing telah dicontohkan Rasulullah SAW, baik dalam tuturan maupun tindakan. Agar teladan itu berdampak pada kehidupan keagamaan kita, ada dua hal yang perlu digarisbawahi.

Pertama, kita harus mampu menyosialisasikan semangat ajaran serta keteladanan Nabi. Toleransi dan moderasi yang beliau ajarkan harus senantiasa menjadi acuan dan pedoman dalam interaksi. Di antara sekian banyak contoh yang ditunjukkan Nabi, adalah kelapangan dada beliau mengizinkan delegasi Kristen Najran yang berkunjung ke Madinah untuk berdoa di kediaman beliau. Sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Islam Au bin Burhanuddin al-Halaby al-Syafi’i dalam bukunya al-Shirah.

Sebaliknya, pada saat-saat kritis perjuangan Nabi di Makkah, Raja Ethiopia, yaitu Raja Najasyi/Negus (beragama Kristen) melindungi umat Islam. Sampai-sampai ketika wakil masyarakat Arab Jahiliyah memintanya untuk mengekstradisi pengikut Nabi ke Makkah, Negus menolak. Negus berkata: “Apakah engkau meminta aku menyerahkan pengikut Muhammad, seorang yang telah didatangi malaikat Jibril? Demi Tuhan, ia (Muhammad) benar, dan ia akan mengalahkan musuh-musuhnya.” Saat Nabi Muhammad SAW menjadi penguasa di Madinah, beliau berpesan: “Siapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah menggangguku.”

Kedua, kita semua sebagai bangsa, harus mampu memahami kepekaan masing-masing menyangkut kecintaan serta ikatan batin dengan panutannya. Umat Islam, demikian pula umat agama lainnya, seyogyanya tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi di dunia luar. Sejarah konflik antarumat beragama di dunia luar, yang telah membuahkan kesalahpahaman, rasa curiga, dan bahkan permusuhan, harus dibuang jauh. Kita semua dituntut untuk memperdalam semangat persaudaraan.

Semangat persaudaraan ini pernah dicontohkan oleh Theodore Abu Qurrah, seorang uskup dari Harran, Mesopotamia, yang lahir pada 740 M. Tanpa mengorbankan keimanannya, beliau menyatakan Nabi Muhammad SAW telah menempuh jalan para nabi.

Pada abad ini tidak sedikit biografi Nabi tulisan sarjana barat yang memiliki kadar objektivitas tinggi jika dibandingkan dengan karya-karya generasi sebelumnya.

Montgomery Watt, misalnya, menulis secara simpatik tentang pribadi Nabi dalam bukunya Prophet and Statesman. Tanpa ragu ia berkata: “Saya menganggap Muhammad adalah benar-benar seorang nabi, dan saya berpendapat bahwa kita [umat Kristen], harus mengakui hal ini berdasarkan prinsip agama Kristen yang menyatakan bahwa ‘Dari buahnya engkau akan mengetahui [tidaknya] sesuatu usaha.’ Ini disebabkan karena sepanjang masa, Islam telah membuahkan banyak orang-orang lurus dan suci.”

Juga ungkapan seorang sarjana Jerman, Gunther Luling, yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai Engelsprophet (Nabi yang menyerupai malaikat). Annie Besant juga mengungkapkan: “Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan karakter Nabi Besar dari Arabia tersebut tidak menaruh hormat kepadanya. Hal senada dilontarkan pula oleh Nataniel Schmidt, yang berkata: “Kesucian Muhammad tak bisa dipertanyakan lagi. Pengamat kritis yang tidak bermaksud menggelapkan fakta, harus mengakui pernyataan-pernyataan beliau sebagai ajaran nabi-nabi yang meletakkan prinsip-prinsip mulia untuk kemanusiaan.

Kenneth Cragg, seorang pendeta Kristen Anglikan kontemporer, berkesimpulan bahwa: “Penilaian negatif terhadap diri Muhammad adalah salah satu kekeliruan yang harus dihindari. Sebagai seorang monotheis sejati yang memiliki misi kenabian, Muhammad yang menjalin hubungan dengan Tuhan melalui wahyu dan kitab suci, telah berhasil menciptakan masyarakat beriman.” Pandangan Cragg ini menandai suatu kemajuan positif ke arah sikap apresiatif terhadap Nabi Muhammad yang patut direnungkan oleh umat beragama tembok pemisah psikologis yang selama ini menghambat kemesraan hubungan antarumat beragama.

Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim terkemuka, meramalkan bahwa Islam yang sejuk dan menarik dan yang menghidupkan kembali nilai luhur toleransi dan moderasi Nabi Muhammad, menyingsing dari bumi Indonesia.

Demikian pula Dr Lawrence Sullivan, yang mengepalai pusat pengkajian agama-agama dunia pada universitas ternama dan tertua di Amerika, Harvard secara terbuka menyatakan Indonesia secara kreatif telah mewujudkan pendekatan baru dalam menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, yang tidak dijumpai di negara-negara Eropa dan Amerika. Indonesia merupakan contoh dalam toleransi keagamaan yang patut ditiru oleh dunia, kata Dr Lawrence Sullivan.

Prof Mahmud Ayoub dari Universitas Temple Philadelphia menyatakan: “Pengamalan agama dalam masyarakat Indonesia dibanding dengan masyarakat Islam lainnya, merupakan model yang paling dekat dengan nilai Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.”

Boleh jadi, banyak di antara kita yang tidak menyadari keharuman prestasi bangsa kita dalam hal ini. Namun, jika kita menengok dari dunia luar, kita akan tahu dan sadar betapa besar nikmat Tuhan yang dilimpahkan kepada bangsa kita selama ini. Dan nikmat ini yang harus kita jaga dalam rangka mensyukurinya agar tidak tercoreng karena ketidakmampuan kita meneladani Rasulullah SAW.

Alwi Shihab

Intellectual Muslim Scholar in religious tolerance and pluralism, at Temple Univ PhD & Ainshams Univ PhD.

Kolesterol & CHD (Coronary Heart Disease)


Kolesterol merupakan topik yang menarik untuk dibahas. Kita sering mendengar ada ahli yang bilang bahwa lemak itu ada dua jenis, lemak baik dan lemak jahat. Sebenarnya tak ada lemak yang baik atau jahat itu. Kalau yang bilang pabrik minyak goreng sih bisa dimaklumi, namanya juga iklan minyak goreng…LOL.

Semua jenis lemak darah diperlukan dalam jumlah tertentu, tidak kelebihan tidak kekurangan. Jadi, dalam darah kita ada beberapa jenis lemak yang memang harus ada, diperlukan untuk metabolisme tubuh kita, supaya kita tetap hidup. Masalah akan timbul kalau salah satu atau benerapa jenis lemak dalam darah kita itu kadarnya kurang atau lebih dari batas-batas yang diperlukan. Memang kalau dibandingkan, masalah kelebihan lemak jauh lebih banyak ketimbang yang kekurangan lemak dalam darah, tapi ya sama-sama bermasalah.

Kelebihan lemak darah disebut hiperlipidemi, kekurangan lemak darah disebut hipolipidemi, dua-duanya menimbulkan masalah. Tapi istilah hiperlipidemia tidak jelas menunjukan kadar lemak darah jenis mana yang meningkat. Karena kolestrol dan trigliserida juga jenis lemak darah. Pada kenyataannya sering didapati beberapa jenis lemak darah meningkat jumlahnya, jenis yang lain malah turun ini disebut dislipidemi. Jadi, istilah hiperlipidemia dapat digunakan untuk menyatakan tingginya kadar salah satu kolestrol atau trigliserida dalam darah, atau keduanya.

Hiperkolesterolemia primer disebabkan faktor genetik, yang sekunder karena penyakit yang mengakibatkan komplikasi naiknya kadar kolesterol darah. Pada penderita hiperkolesteloremia primer, karena genetik, maka kecenderungannya keadaan itu akan selalu ada, perlu konsumsi obat-obatan permanen. Sedangkan hiperkolesterolemia sekunder, keadaan akan membaik jika under laying disease (penyakit penyebab) nya diobati.

Mekanisme pengangkutan dan penyerapan kolesterol dalam tubuh dikendalikan oleh beberapa protein, diantaranya: apo-B dan reseptor-LDL. Faktor genetik yang bisa dijumpai pada hiperkolesterolemia adalah kelainan reseptor-LDL di dinding sel, sehingga lebih banyak LDL yang beredar dalam darah. Sering didapati, penderita hiperkolesterolemia keturunan ini ada riwayat anggota keluarganya menderita penyakit jantung koroner di usia muda. Jumlah reseptor-LDL pada penderita hiperkolesterolemia primer alias keturunan ini hanya separuh dari jumlah yang dimiliki orang normal.

Secara ringkas hiperkolesterolemia primer (genetik) dapat berupa: 1) ada satu gen rusak, 2) variasi pada gen plus konsumsi makanan yang tinggi lemak.

Sedang sebab hiperkolesterolemia sekunder: 1) diabetes melitus, 2) obesitas, 3) alkoholism, 4) hipothyroidsm, 5) liver disease, 6) kidney disease.

Sebab-sebab lain dari hiperkolesterolemia sekunder adalah obat-obatan misal: roaccutan (obat jerawat), diuretik jenis tiazid, beta blocker, dll.

Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada penderita hiperkolesterolemia keturunan (primer) jelas lebih tinggi dari orang normal. Sekitar 50% penderita hiperkolesterolemia primer ini mati sebelum usia 60 tahun! Kecuali bila kadar kolesterol darahnya bisa terkontrol. Untuk mengontrol/ menurunkan kadar kolesterol darah yang tinggi digunakan obat-obatan, mengatur gaya hidup dan pola makan yang lebih sehat.

Kadar kolesterol darah rata-rata orang Indonesia sekitar 200mg/dl, angka ini mungkin saja salah. Tergantung lembaga surveynya.. LOL. Paling tidak ada 20% orang Indonesia yang mempunyai kadar kolesterol darah diatas 200mg/dl. Hal ini punya konsekwensi yang tidak ringan.

Semakin tinggi kadar kolesterol seseorang di atas rata-rata, semakin tinggi juga resiko CHD (coronary heart disease) alias penyakit jantung coroner. Resiko terkena CHD meningkat 2x lipat ketika kadar kolesterol darah meningkat dari 200 ke 250mg/dl, dan jadi 3x lipat kalau naik ke 300. Dengan demikian, resiko kematian akibat serangan jantung relatif meningkat 2x lipat bila kadar kolesterol seseorang naik jadi 250 dari 200mg/dl.

Mengingat resiko tersebut, maka akan sangat baik kalau kadar kolesterol darah berada dibawah 200mg/dl. Lha dari pada gampang mati. Tapi hal yang juga perlu diingat adalah kadar kolesterol yang tinggi bukanlah satu-satunya faktor yang meningkatkan resiko CHD (jantung koroner). Diabetes melitus, hipertensi, obesitas (kegemukan), kebiasaan merokok, pola makan yang buruk juga meningkatkan resiko penyakit jantung koroner.

Meskipun demikian, penurunan kadar kolesterol darah dapat mencegah penyakit jantung dan meningkatkan harapan hidup. Prinsip-prinsip umum untuk menurunkan kadar kolesterol: 1) turunkan berat badan yang berlebihan, 2) diet rendah kalori.

Obat yang bisa dipakai untuk menurunkan hiperkolesterolemia antara lain golongan: statin, fibrat, resin, asam nikotinat dan penghambat penyerapan kolesterol. Kemampuan fibrat dalam menurunkan kolesterol lebih kecil jika dibandingkan dengan statin. Tapi fibrat lebih efektif menurunkan trigliserida.

Obat-obat golongan fibrat bekerja dengan cara mengurangi kecepatan produksi partikel yang kaya lipoprotein sekaligus meningkatkan kecepatan pembuangannya. Fibrat juga berefek meningkatkan kadar kolesterol HDL dalam darah.

Biasanya tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul. Fibrat dapat menurunkan kadar kolesterol LDL hingga 18%. Untuk kadar kolesterol yang terlalu tinggi, dapat dikombinasi dengan pemberian golongan statin.

Efek samping obat-obat gol. fibrat yang bisa timbul: rasa mual dan kembung, timbul ruam merah di kulit, impotensi (tapi sangat jarang). Efek Samping obat-obat golongan statin yang bisa muncul adalah radang otot, dan radang otot ini bisa lebih parah jika statin dikombinasi dengan fibrat. HRT (hormon replacement therapy), dari penelitian: tidak ada manfaat yang signifikan untuk perlindungan terhadap resiko CHD. Beda dengan dugaan semula.

Kelompok Aliran Dalam Islam (9)


Islam with Smiling Face

Saya senang melihat masyarakat muslim dalam pendekatan komparatif. Kalau kita lihat dalam konteks perbandingan antara Islam di Indonesia dengan Islam ditempat-tempat lain, maka Islam Indonesia secara umum bisa dikatakan Islam yang sangat toleran, damai dan menekankan pada kerukunan diantara berbagai warga yang berbeda. Memang ada konflik disana-sini seperti ada kekerasan terhadap warga Ahmadiyah, Syiah, yang memang harus diwaspadai dan konflik-konflik seperti itu harus kita cermati atau cegah, tapi adanya konflik-konflik seperti itu tidak mengubah anggapan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang toleran. Islam yang beberapa tahun lalu oleh majalah newsweek sebagai Islam with smiling face, Islam yang dengan wajah penuh senyuman, yang tidak mudah ditemukan ditempat-tempat lain.

Kalau kita berkeliling ke berbagai tempat di Timur Tengah, wajah Islam itu disana penuh dengan kontestasi atau persaingan, bahkan juga mungkin dengan kesangaran. Untuk itu kita beruntung sekali yang lahir sebagai kaum muslimin Indonesia yang mewarisi Islam Indonesia yang toleran itu.

Apa sesungguhnya yang menjadi akar Islam yang toleran itu? Terkait dengan proses penyebaran dan Islamisasi Islam Indonesia yang mulai berlangsung sejak akhir abad 12 dan terus berlanjut pada abad-abad selanjutnya. Dalam penelitian/ kajian saya selama bertahun-tahun, Islam Indonesia yang toleran itu berkaitan erat dengan kenyataan bahwa Islam itu dibawa ke Indonesia terutama oleh para guru sufi pengembara. Kalau kita lihat sumber-sumber sejarah lokal, itu jelas sekali Islam itu dibawa oleh para guru pengembara. Jadi bukan oleh pedagang yang disebutkan datang dari Gujarat, karena teori ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang memadai dan kuat. Sebaliknya teori yang saya sebut dengan Sufi Theory jelas sekali menunjukan bahwa para guru sufi pengembara inilah yang membawa Islam dari satu tempat ketempat yang lain, memperkenalkan Islam, mengajak penguasa lokal untuk mengucapkan dua kalimah syahadat, dst.

Islam yang diperkenalkan oleh para guru sufi pengembara ini contoh tipikalnya yang paling terkenal adalah Wali Songo yang menyebarkan Islam di pulau Jawa. Karakter yang paling penting dari Wali Songo ini adalah sikap akomodatif mereka. Bagi mereka, yang paling penting masuk Islam dulu, ucapkan dua kalimah syahadat dulu. Pada saat yang sama menerima praktek-praktek yang lama, praktek-praktek tradisional, bahkan juga mungkin kepercayaan-kepercayaan lokal. Semua itu di akomodasi, karena memang sesuai dengan karakter sufi/tasawuf, guru-guru sufi ini memang sangat inklusif dan akomodatif, dan oleh karena itu bagi mereka yang paling penting Islam dikenal. Nanti dalam prosesnya Islam itu akan diterima oleh masyarakat. Jadi inilah akar-akar kenapa Islam Indonesia itu inklusif, toleran, sehingga kemudian Islam itu lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal pada waktu itu.

Inilah ciri khas karakter Islam Nusantara yang memang toleran yang sekali lagi harus kita lihat dalam skala perbandingan dengan di negeri-negeri yang lain, seperti yang kita lihat di Timur Tengah, dimana Islam itu sering tampil sangar dan kurang toleran. Oleh karena itu warisan Islam yang toleran ini harus kita pelihara, harus kita jaga, harus kita perkuat, sehingga dengan demikian Islam Indonesia ini tetap tampil sebagai Islam with smiling face, Islam yang penuh dengan senyuman.

Kelompok Aliran Dalam Islam (8)

NU dan Tradisi Islam di Indonesia

NU adalah singkatan dari Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun 1926. NU itu menganut paham aswaja (ahlus sunnah wal jama’ah), meskipun sesungguhnya kaum muslimin Indonesia itu sebagian besar/mayoritas adalah ahlus sunnah wal jama’ah. Apakah dia NU, Muhammadiyah, Persis, dll, semuanya itu adalah ahlus sunnah waljama’ah atau disebut Suni. Bedanya adalah bahwa ahlus sunnah waljama’ah NU disebut aswaja dengan 3 prinsip dasar.

Pertama, mengikuti paham atau teologi As’ariyah. Kedua, mengikuti fikih mazhab yang empat dengan penekanan khusus pada mazhab Safi’i. Ketiga, mengikuti tasawuf Ghazalian atau tasawuf Imam Al-Ghazali, tasawuf akhlaqi dan amali ataupun tarekad-tarekad mu’tabarah, yang sudah sahih dan valid.

NU ini sering disebut orang sebagai representasi dari tradisi Islam. Islam tradisional atau Islam tradisi. Apa yang dimaksud dengan Islam tradisi yaitu Islam yang memang sudah terbentuk menjadi sebuah tradisi sejak dari zaman Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, ulama-ulama sesudahnya sampai kemasa sekarang ini. Oleh karena itu tradisi NU itu sesungguhnya sangat kaya, karena banyak sekali sumbernya sejak zaman nabi, para sahabat sampai generasi berikutnya yang menghasilkan berbagai keputusan, ijma (kesepakatan), ijtihad, yang memudian dituliskan didalam kitab-kitab standar yang di Indonesia kita kenal sebagai kitab kuning. Jadi NU menganut tradisi kitab kuning yang menjadi sumber pemikiran.

Selain kitab kuning, NU juga sangat mendasarkan pada pemikiran ulama-ulama masa lalu. Makanya kemudian tidak mengherankan kalau kemudian NU mengikuti paham As’ariah. Walaupun kadang-kadang orang mengeritik paham As’ariyah ini sebagai terlalu menyerah kepada takdir dan menganggap penekanan yang berlebihan kepada takdir membuat umat Islam mundur. Tapi sekali lagi inilah tradisi NU yang sangat kaya dengan berbagai macam tradisi dan juga dikenal sangat akomodatif didalam tradisi lokal.

Selain itu NU ini juga sering dikaitkan atau diasosiasikan dengan pesantren. Pesantren-pesantren yang umumnya dimiliki oleh para kiyai NU. Pesantren-pesantren ini punya tradisi yang sudah lama dan sangat panjang. Pesantren ini mempunyai peran yang sangat penting. Pertama untuk meneruskan atau mentransmisikan paham ‘ahlul sunnah waljamaah’ yang diteruskan melalui pesantren. Kedua, pesantren itu melakukan reproduksi ulama, yaitu melahirkan calon-calon ulama. Oleh karena itu kalau kita lihat sepanjang sejarahnya, ulama-ulama besar yang pertama kali muncul di pulau Jawa, umumnya muncul dari pesantren, dengan tradisi aswaja. Kiyai-kiyai yang bergerak bukan hanya dalam pengelolaan pesantren, tetapi juga mengembangkan pemikiran dan tradisi, sembari mempertahankan tradisi aswaja itu sendiri.

Salah satu kelebihan dari tradisi pesantren yang dikembangkan oleh para kiyai NU ini adalah kemampuan untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Bisa mengembangkan pendidikan secara bertahap, sambil pelan-pelan juga mengadopsi pendidikan modern, tapi pada saat yang sama tetap menekankan pada tafaqquh fiddin, yaitu mendalami/mempelajari ilmu agama. Sehingga kemudian, kita bisa berharap pesantren akan tetap melahirkan para ulama, karena lembaga-lembaga pendidikan yang lain tidak/sangat sedikit menghasilkan calon-calon ulama.

Oleh karena itulah tradisi pesantren yang berada didalam lingkupan tradisi NU harus kita pelihara, kembangkan, berdayakan, sehingga pesantren bisa menjadi budaya Islam Indonesia yang terus berkesinambungan, tidak hanya dimasa silam, hari ini, tapi juga kemasa depan.

Kelompok Aliran Dalam Islam (7)

Muhammadiyah dan Islam Indonesia

Muhammadiyah sering disebut orang sebagai organisasi terbesar kedua setelah NU, walaupun dari segi usia Muhammadiyah itu lebih dahulu berdiri dibandingkan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan di Jogyakarta. Muhamadiyah ini pengikut ahlus sunnah waljamaah juga, tapi lebih menekankan pada pemurnian atau misi pokoknya adalah tajdid. Tajdid adalah pembaharuan. Apa yang dimaksud dengan pembaharuan Muhammadiyah itu adalah pemurnian, yaitu pemurnian dari apa yang disebut oleh KH Ahmad Dahlan sebagai TBC (Tahyul, Bid’ah dan Khurafat). Itu tujuan pokok dari Muhammadiyah sejak berdiri sampai sekarang.

Dilihat dari konteks tujuan Muhammadiyah itu, sebagai gerakan tajdid maka Muhammadiyah sesungguhnya sebuah organisasi Salafi yang menekankan Islam yang murni. Bahwa kaum muslimin itu harus menjauhkan diri dari tahyul, bid’ah dan khurafat dan hanya mengamalkan Islam yang murni.

Memang belakangan ini, kalau orang berbicara salafi, selalu disebut sebagai gerakan keras atau gerakan yang radikal. Disebut radikal karena ingin memurnikan Islam dengan cara-cara yang keras, seperti gerakan wahabiyah di Arabia pada pergantian abad 18-19. Tapi penting dicatat bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi salafi tidak mengadopsi cara-cara kekerasan didalam upaya memurnikan Islam. Itu perbedaan yang paling pokok antara Muhamadiyah yang memiliki paham pemurnian Islam dengan gerakan-gerakan salafi lain termasuk wahabi.

Muhammadiyah tidak menempuh cara-cara kekerasan dalam memurnikan Islam, tetapi menempuh cara yang damai melalui pendidikan dan pelayanan sosial. Oleh karena itu sejak awal berdiri yang dilakukan Muhammadiyah adalah dalam upaya mendidik dan mencerdaskan. Memurnikan Islam melalui pelayanan sosial, seperti mendirikan rumah sakit, klinik, panti asuhan dan sekolah. Sekolah-sekolah Muhammadiyah malah meniru cara-cara modern. Sistem pendidikan yang diambil adalah sistem pendidikan Belanda. Muhamadiyah mendirikan sekolah model Belanda tapi memasukkan pelajaran agama Islam kedalam kurikulumnya.

Karena itu salah satu peranan penting Muhammadiyah adalah mendirikan cikal bakal lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah yang sekarang ini dikenal sebagai sekolah Islam. Memang Muhammadiyah pada masa awalnya tidak mendirikan pesantren/madrasah, tapi yang didirikan itu sekolah-sekolah yang bisa kita sebut sebagai sekolah Islam, yaitu sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Memang gerakan atau amal usaha Muhammadiyah dalam pendidikan sangat fenomenal. Saya sering mengatakan didalam berbagai konferensi terutama diluar negeri, bahwa Muhammadiyah sangat kaya dengan lembaga-lembaga pendidikan sejak dari taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi. Muhammadiyah merupakan organisasi pendikan Islam terbesar didunia. Terutama untuk pendidikan umum, modern dan berbasiskan barat. Tentu saja disisi lain kita juga punya NU yang merupakan organisasi terbesar dengan kiyai-kiyainya yang memiliki pesantren dan madrasah yang jumlahnya juga terbesar diseluruh dunia.

Kita bersyukur dengan kehadiran Muhammadiyah yang saling melengkapi dengan NU. Muhammadiyah melahirkan ulama kitab putih. Lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah juga mengetahui/memahami dan bisa mendakwahkan Islam dan sering disebut sebagai ulama kitab putih. Sementara NU melahirkan ulama-ulama kitab kuning yang dibesarkan/dididik dilingkungan pesantren/madrasah. Kedua organisasi ini merupakan warisan yang sangat berharga/penting, tidak hanya bagi masa silam, tapi juga masa kini dan masa yang akan datang Indonesia.

Kelompok Aliran Dalam Islam (6)


Salafisme Sejati Menurut Abduh

Salafisme pada awalnya merupakan gerakan memperbaharui Islam, tapi dalam perkembangannya kini justru berbalik menjadi gerakan yang melawaskannya. Pada akhir abad 19 seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh, menegaskan perlunya reformasi Islam dengan cara meneladani generasi muslim awal yang saleh (al-salaf al-shalih). Karena ia percaya bahwa Islam salafi pada hakekatnya adalah agama yang rasional. Tapi dalam beberapa dekade terakhir, salafisme tiba-tiba menjadi identik dengan Wahabisme, aliran puritanisme Islam yang lahir di Najd (Saudi) yang justru membredel peran akal dalam agama.

Sementara salafisme pertama menyerukan kembali ke periode perdana Islam yang murni dengan tujuan mem-“bumi”-kannya dalam konteks masa kini agar kaum muslim tidak gagap berhadapan dengan modernitas, salafisme kedua menyatakan kembali ke Islam masa salaf dengan cara me-“mumi”-kannya, seakan-akan masa depan umat adalah masa lalunya.

Agenda salafisme Abduh sejatinya bisa ditelusuri jejak awalnya pada pemikiran gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, khususnya dalam polemiknya dengan Ernest Renan tentang Islam. Dalam satu ceramahnya di Sorbonne Paris pada 1883, filosof Perancis tersebut mencap Islam sebagai agama yang memusuhi sains dan pikiran modern, dan karena itu menjadi penghalang bagi kemajuan para pemeluknya.

Membantah Renan, Afghani menegaskan bahwa gejala yang disebut Renan sebagai antipati Islam terhadap sains tidak lain hanyalah praktek keislaman yang telah kehilangan otentisitasnya. Inilah yang membawa umat ke dalam keterbelakangan, yang pada akhirnya menyebabkan mereka mudah dimangsa imperialisme Barat. Afghani kemudian menlantunkan sikap anti imperialisme dengan bersandar pada Islam otentik, yakni Islam salafi yang memberi peran sentral pada akal dan menempatkan umat sebagai agensi yang aktif dalam mengubah nasibnya sendiri.

Seruan Afghani rupanya bergema kuat pada diri Muhammad Abduh, yang lalu memperjuangkan agenda pembaharuan Islam secara lebih sistematis. Baginya, pangkal penyebab keterbelakangan umat Islam selama berabad-abad adalah begitu berakarnya situasi jumud (beku) dalam benak kolektif mereka akibat merajalelanya taqlid, percaya begitu saja kepada otoritas agama dalam bentuk apapun tanpa sikap kritis.

Patut dicatat, taklid di sini tidak terbatas pada artinya yang sempit, yakni keterikatan secara dogmatis pada salah satu empat mazhab. Taklid yang dikecam Abduh lebih luas dari itu, yakni sikap membebek saja kepada tradisi, aturan dan pendapat ulama masa silam atau sekarang tanpa sikap kritis. Begitu kerasnya kecamannya terhadap taklid sampai ia menghubungkannya dengan tabiat orang-orang kafir yang ketika diseru untuk mengikuti kitab Allah lantas menjawab, “kami ikuti apa-apa yang kami dapat pada orang-orang tua kami.”

Hantaman Abduh kepada taklid ini erat kaitannya dengan keyakinannya bahwa Islam dalam bentuknya yang otentik, yakni tatkala doktrin agama ini belum dipergemuk dengan pelbagai ornamen dan pernik-pernik yang menempel padanya karena pengaruh perbedaan sekte teologi dan mazhab fiqh, niscaya sejalan dengan akal. Dalam Risalah al-Tauhid ia menulis bahwa baru dalam Islamlah: “akal dan agama bersaudara buat pertamakalinya dalam kitab suci.”

Inilah pengertian kembali ke al-salaf al-shalih menurut Abduh, yakni kembali ke generasi muslim awal sebelum perpecahan umat ke dalam sekte dan aliran yang beragam dan saling bertentangan. Dan Islam salafi baginya adalah Islam yag rasional.

Karena itulah Abduh percaya bahwa antara wahyu dan akal pada hakekatnya tidak mungkin ada pertentangan. Lantas bagaimana kalau keduanya selintas saling bertentangan? “Akal,” kata Abduh dalam Risalah, “mesti meyakini bahwa yang dimaksudkan bukanlah arti yang harfiah.” Di tempat lain ia berujar: “dalam kasus di mana terjadi konflik antara akal dan naql (teks Qur’an dan sunnah), maka yang dimenangkan adalah konklusi akal. Dan dalam menyikapi dalil naqli yang seperti ini terdapat dua pilihan. Pertama: membiarkannya seperti apa adanya sambil mengakui ketidakmampuan kita untuk memahaminya dan memasrahkan perkaranya pada Allah. Pilihan kedua: menafsirkan teks tersebut, dengan berpedoman pada kaidah bahasa, sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan kesimpulan akal” (Al-Islam wa Al-Nashraniyyah).

Dalam banyak kasus, Abduh tampaknya lebih condong pada pilihan kedua ini tercermin dalam fatwa-fatwanya ketika ia menjadi mufti agung di Mesir, seperti fatwa anti poligami. Menurutnya, poligami sudah membudaya sebelum Islam. Dan aturan Islam tentang poligami pada hakekatnya lebih bersifat membatasi ketimbang mengumbarnya. Bukankah ayat yang membolehkan beristri sampai empat mengandung syarat keadilan yang mesti dipenuhi suami. Padahal ayat lain menegaskan bahwa para suami tidak bakal bisa berbuat adil, meski mereka berusaha keras untuk itu. Situasi semacam ini, ditambah dengan observasi Abduh sendiri tentang banyaknya kasus penyalahgunaan poligami oleh kaum lelaki pada masanya, lantas mendorongnya untuk berfatwa melarang poligami. Alasannya demi menjaga mashlahah (kepentingan publik).

Penekanan Abduh pada peran sentral akal dalam Islam ini tak ayal membuatnya menuai tuduhan sesat, dianggap sebagai pengikut sekte mu’tazilah, dan seterusnya. Tapi sebenarnya salafisme Abduh tersebut terbit dari kemandiriannya dalam ber-ijtihad. Suatu kemandirian sikap yang dalam penilaian Profesor Harun Nasution dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) bahkan lebih rasionalis ketimbang mu’tazilah.

Penggambaran Muhammad Abduh yang menampilkan salafisme sebagai Islam rasional barangkali terasa mengejutkan, mengingat kesan umum tentang salafisme sekarang ini justru ekstrim kebalikannya. Salafisme kini sering dinisbatkan dengan Wahabisme, model Islam yang dipraktekkan di Saudi Arabia. Faham yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada akhir abad 18 ini mewajibkan kaum muslim untuk kembali kepada Qur’an dan hadits secara harfiah dan tidak memberi tempat pada akal.

Sebenarnya baru sejak dekade 70-an saja kaum Wahabi menyebut diri “salafi.”Pada awalnya, seperti dipaparkan Hamid Algar dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), kalangan Wahabi menamakan diri sebagai muwahhidun. Sebutan ini mengacu pada konsepsi mereka yang “radikal” tentang tauhid. Tauhid yang benar bagi mereka bukan hanya mengakui Allah sebagai Tuhan yang esa, melainkan juga kesediaan untuk menghambakan diri hanya kepadaNya.

Ketika Saudi Arabia, berkat berkah minyak, tiba-tiba menjadi negara petrodolar, terbukalah kesempatan bagi kaum Wahabi untuk mengekspor fahamnya ke seantero jagat muslim. Tapi para pengikut aliran ahlussunnah wal jama’ah di luar Saudi banyak yang menampiknya. Ini mendorong kaum Wahabi untuk mempermak citra mereka, di antaranya dengan melabeli diri sebagai Islam salafi. Mereka mengklaim sebagai pengikut Ibn Taimiyah, yang nota bene penganut mazhab Hanbali. Dari sinilah pengidentikan antara salafisme dengan Wahabisme bermula.

Secara selintas, memang terdapat kemiripan antara salafisme Wahabi dan salafisme Abduh. Keduanya sama-sama menjadikan Islam yang diamalkan generasi salaf yang salih sebagai model teladan, sama-sama merujuk langsung ke Qur’an dan sunnah ketimbang bersandar pada otoritas mazhab dan pendapat ulama, serta menekankan kemurnian tauhid. Tapi kemiripan tersebut hanya berhenti di situ saja. Itupun hanya sebatas pada kulit, karena sesungguhnya jurang pembeda antara keduanya nyaris tak terjembatani.

Ambillah contoh soal perbedaan antara Abduh dan kaum Wahabi perihal mazhab. Abduh menentang keterikatan secara ketat pada satu mazhab karena hal itu ia anggap identik dengan sikap taklid. Baginya, kaum muslim mesti punya kebebasan memilih pendapat yang secara argumen paling kuat dari mazhab-mazhab yang ada, dan berani melakukan ijtihad sendiri jika diperlukan. Artinya, yang ia tolak dari mazhab adalah tendensinya untuk menumpulkan sikap kritis dan rasional. Coba bandingkan dengan antipati kaum Wahabi terhadap mazhab. Di mata mereka, bermazhab sama dengan berpegang pada pendapat para ulama semata, yang nota bene melibatkan peran akal, dan bukan pada teks Qur’an dan hadits secara langsung.

Jadi, Abduh menolak mazhab karena dianggap mengurangi peran akal, sedangkan kaum Wahabi menolaknya semata-mata karena curiga dengan peran akal yang berlebihan di dalamnya.

Kontras yang lain juga bisa kita temukan dalam pandangan kedua kubu tentang tauhid. Bagi kaum Wahabi, tauhid berarti menghamba hanya terhadap Allah secara mutlak. Setiap perilaku yang mencerminkan ketundukan terhadap siapapun atau apapun selain Allah dianggap sama dengan syirk. Masalahnya, mereka mendefinisikan syirk secara sempit dan kaku, sampai-sampai hormat kepada bendera pun dikategorikan syirik. Tidak heran kalau kaum Wahabi lantas begitu mudah menyebut sesat pandangan lain di luar fahamnya. Anehnya, yang jadi ukuran adalah diri mereka sendiri, seperti diungkap oleh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung sang pendiri Wahabisme: Wa taj'alun mizan kufr al-nas mukhalafatakum wa mizan al-Islam muwafaqatakum" (kalian jadikan penentangan orang terhadap pendapat kalian sebagai ukuran kekafiran mereka dan persetujuannya terhadap pendapat kalian sebagai ukuran ke-Islam-an mereka).

Bandingkan dengan konsepsi Abduh tentang tauhid. Ia menulis: “Dalam hal iman kepada Allah, Islam bergantung hanya pada pembuktian rasional, bukan pada kejadian supernaturanl atau suara dari langit. Kaum Muslim umumnya sepakat bahwa urutan iman kepada Allah mendahului iman kepada Rasul. Karena itu, tidak tepat kalau dikatakan dasar iman kepada Allah mengacu pada risalah utusanNya. Justru sebaliknya, seseorang mesti beriman dulu pada Allah sebelum beriman kepada kenabian utusanNya.” (Al Islam wa al-Nashraniyyah). Kutipan barusan dengan jelas menunjukkan bahwa bagi Abduh, fundasi iman pada keesaan Allah justru bukan pertama-tama bersumber dari wahyu, melainkan dari hasil penalaran.

Pandangan semacam ini bertolak dari keyakinan Abduh bahwa kesempurnaan ajaran Islam bertaut erat dengan karakternya yang rasional. Dengan menarik ia menganalogikan perkembangan agama dengan perkembangan kemanusiaan dari fase kanak-kanak menjadi dewasa. Pada fase kanak-kanak, katanya dalam Risalah al-Tauhd, Tuhan menurunkan agama dalam bentuk perintah dan larangan, seperti halnya orang tua memperlakukan anaknya. Maka muncullah agama Yahudi. Ketika kemanusiaan menginjak remaja, agama baru yang turun memakai pendekatan kasih sayang untuk menyentuh hatinya. Maka turunlah agama Kristen. Dan tatkala kemanusiaan tumbuh dewasa, agama baru yang cocok dengan fase itu adalah agama yang berbicara kepadanya bukan hanya dengan perintah dan larangan, juga bukan hanya dengan kasih, melainkan terutama dengan akal. Dan itulah Islam.

Dengan kata lain, sementara salafisme Wahabi melancarkan takfir (pengkafiran), salafisme Abduh menggalakkan tafkir (pengaktifan pikiran).

Adanya pertentangan dua salafisme tersebut lantas membuat kita bertanya: apa hakekat islam salafi? Kaum Wahabi mengartikannya sebagai laku ngeblat generasi salaf, dengan menjadikan mereka sebagai model untuk dicontoh secara harfiah. Apapun yang berbeda dari pakem ngeblat mereka langsung dicap bid’ah. Di sini proses sejarah umat dilihat sebagai proses penyimpangan, lantaran menjauhkan Islam dari kemurniannya. Karena itu, Islam mesti dimurnikan kembali setiap saat. Artinya, bagi kaum Wahabi, masa depan umat Islam adalah masa lalu mereka.

Cara ngeblat seperti itu di mata Abduh tentu akan dikategorkan sebagai taklid, sesuatu yang justru bertentangan dengan tujuan utama kembali ke generasi salaf. Sebab menurutnya, meneladani salaf bertujuan untuk menemukan élan progresif Islam yang untuk waktu yang lama terkubur oleh kejumudan para pemeluknya.

Islam salafi yang rasional dari Abduh inilah yang menurut saya perlu lebih keras disuarakan sekarang. Itu kalau kaum muslim memang betul-betul hendak merealisasikan semboyan bahwa Islam adalah agama yang cocok untuk segala waktu dan tempat (sholihun li kulli zamanin wa makanin).

Kelompok Aliran Dalam Islam (5)

Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir di dirikan oleh Taqiyuddin an Nabhani yang pada awalnya adalah murid Hasan Al Banna. Hasan Al Banna adalah pendiri Ikhwanul Muslimin. Untuk mengenal Ikhwanul Muslimin bisa di baca di tulisan sebelumnya.

Dalam struktur Ikhwanul Muslimin ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad yang sangat rahasia. Tandhimul Jihad ini ikut perang melawan israel. Ketika perang Arab Israel 1948. Arab kalah dan negara Israel berdiri. Tandhimul Jihad pun kembali ke Mesir. Nah, Taqiyuddin an Nabhani adalah anggota Tandhimul Jihad. Ketika Hasan Al-Banna meninggal karena ditembak Pada 1949. Taqiyuddin terus berkampanye pada kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Tandhimul Jihad diambil alih Sayyid Quthub,

Sayid Quthub lalu mendatangi Taqiyuddin an Nabhani agar secara ideologi tetap di Ikhwanul Muslimin. Tapi Taqiyuddin menolak karena ia beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin sudah masuk lingkaran jahiliyah. Karena perbedaan arah dan perjuangan itulah, maka Taqiyuddin An Nabhani keluar dari Ikhwanul Muslimin dan mendirikan Hizbut Tahrir. Perbedaannya adalah penolakannya terhadap konsep Demokrasi serta tekanannya terhadap paham kekhalifahan.

Hizbut Tahrir mengusung ide Pan-Islamisme yang bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada abad pertengahan. Dalam bentuk mendirikan pemerintah Islam secara internasional, sistem kekhalifahan. Jaringan Hizbut Tahrir bersifat internasional. Setiap negara mempunyai wakil representasinya. Wilayah pengembangan utama Hizbut Tahrir adalah negara-negara Asia tengah seperti Uzbekistan, Tajikistan, Kazakhstan. Di samping itu Hizbut Tahrir juga kuat di Asia Selatan, terutama Bangladesh dan Pakistan.

Bagaimana Hizbut Tahrir bisa masuk ke Indonesia? Di sinyalir ide-ide Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia sejak 1972 dan berkembang secara lamban dari halaqah-halaqah. Dan menjadi intensif ketika Abdurahman Albagdadi, seorang aktivis Hizbut Tahrir dari Australia menetap di Bogor pada sekitar 1982-1983.

Tujuan Albaghdadi awalnya semata untuk membantu mengajar di pesantren Al Ghazali Bogor. Saat itulah, Abdurahman Albagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid kampus dari Mesjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini para aktivis kampus inilah yang mulai menyebarkan gagasan HT. Melalui jaringan LDK sampai menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor. Hasil didikan Albaghdadi diantaranya adalah Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia.

Di Indonesia Hizbut Tahrir kini berkembang cukup pesat. Bahkan Indonesia telah menjadi simpul gerakan Hizbut Tahrir di Asia Tenggara. Perlu di ketahui, metode perjuangan yang di pakai Hizbut Tahrir melalui 3 tahap kaderisasi, sosialisasi dan merebut kekuasaan. Saat ini Hizbut Tahrir Indonesia sedang berada dalam tahap konsolidasi (marhalah tafa'ul ma'a al ummah). Namun Thalabun Nusrah (mencari dukungan, pertolongan) sebagai salah satu ciri perjuangan HTI tahap kedua, sedang di praktekkan di Indonesia. Mendekati politisi, pemegang kekuasaan, militer, tokoh agama dalam rangka melancarkan coup de etat damai (revolusi damai).

Di gelarnya konferensi khilafah di berbagai daerah termasuk di Jakarta beberapa waktu lalu, sebagai aksi show of force di Indonesia. Organisasi ini memproklamirkan diri sebagai partai politik yang berideologi Islam namun menolak bergabung dengan sistem yang ada. Penolakan ini merupakan bentuk baku dari HT internasional. Bagi Hizbut Tahrir ideologi yang benar adalah yang di kontruksi dari Islam. Dan bentuk negara yang senapas dengan Islam, menurut Hizbut Tahrir hanyalah Daulah Khilafah Islamiyah.

Meski dalam jangka panjang HTI bercita-cita mewujudkan imperium Islam dalam kerangka Daulah Khilafah Islamiyah. Sejauh ini HTI menggunakan ideologi itu sebatas sebagai paradigma kritik. Meskipun demikian perkembangannya harus di waspadai karena HTI memiliki agresivitas dalam rekruitmen dan propaganda. Apalagi dalam sejarahnya Hizbut Tahrir juga pernah terlibat KUDETA di negara-negara Timur Tengah.

Hizbut Tahrir pernah melakukan penyusupan ketubuh Militer Yordania pada tahun 1969 dalam upaya menggulingkan kekuasaan (kudeta) Raja Husen. Sehingga sebagian anggota Hizbut Tahrir diajukan ke pengadilan dan dihukum mati. Sampai sekarang Hizbut Tahrir masih menjadi organisasi terlarang di Yordania. Hal yang sama dilakukan pada tahun 1971. Penyusupan ke tubuh militer oleh Hizbut Tahrir juga dilakukan di Irak pada tahun 1972. Usaha kudeta ini mengalami kegagalan.

Sejumlah upaya kudeta dan pembunuhan politik di Mesir, Jordania, Tunisia, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya pada dekade 1970-an ditengarai melibatkan aktivis Hizbut Tahrir. Kudeta di Mesir tahun 1974 yang melibatkan Salih Sirriyah dan pembunuhan Anwar Saddat 1984, diduga melibatkan aktivis Hizbut Tahrir. Kegagalan berturut-turut dalam sejumlah perebutan kekuasaan tersebut menyebabkan perkembangan gerakan HT semakin menurun di Timur Tengah. Namun, Hizbut Tahrir tampaknya bersikukuh dengan garis politiknya untuk bergerak. Metode perjuangan tidak boleh dikompromikan.

Situasi Hizbut Tahrir di Timur Tengah yang bergerak secara underground berbeda dengan Hizbut Tahrir di Indonesia yang bergerak secara leluasa. Saat ini, sasaran 'dakwah' HTI adalah masjid-masjid di sekolah, rumah sakit, kampus, bahkan masjid jami' kabupaten. Hizbut Tahrir memang tidak merubah tatacara ibadah di masjid tersebut, tapi menginfiltrasi dengan ide-ide 'makar' terhadap NKRI.

Anehnya, beberapa kali aktivis Hizbut Tahrir seperti Felixsiauw bisa mengisi progam acara di TVRI. HTI yang nyata-nyata menolak nasionalisme menyelenggarakan konferensi khilafah di Gelora Bung Karno bahkan di tayangkan TVRI.

Ini sebenarnya juga terjadi di daerah-daerah, Tema-nya mencari format kepemimpinan umat. isinya mengajak menolak demokrasi. Bahkan HTI pernah mengadakan acara di gedung-gedung milik Pemerintah. Modusnya peringatan hari besar Islam tapi isinya mengajak Khilafah. Sekian dulu, nanti saya juga ingin membahas kembali tentang Salafi Sejati menurut Muhammad Abduh, dan juga 2 ormas islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Kelompok Aliran Dalam Islam (4)

Penyebaran Salafi Jihadi di Indonesia.

Sekarang saya bahas tentang kelompok Jihadi. Adakah Hubungannya kelompok ini dengan dengan Gerakan Salafi dan Ikhwan?.

Mewabahnya gerakan Jihadi di picu perang Afganistan. Perang ini telah mengundang solidaritas kaum muslim dari berbagai negara Islam. Para mujahid itu kemudian mengembangkan suatu strategi dan metode perjuangan tersendiri. Perjuangan yang berbeda dengan gerakan Islam di negara asalnya. Meskipun demikian bahan baku utama gerakan ini terutama berasal dari gerakan Salafi Haroki dan Ikhwan Quthbiyah. Tentang Salafi Haroki dan Ihwan Quthbiyah sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya.

Doktrin gerakan Jihadi adalah buah perkawinan antara konsep keislaman Salafi Haroki dan pemahaman keislaman Ikhwan Quthbiyah. Pemikir besarnya adalah 1. Abdullah Azzam, 2. dr. Ayman Al Zawahiri, 3. Abu Muhammad Al Maqdisy.

Dengan terbentuknya doktrin, strategi dan metode perjuangan sendiri, maka gerakan Jihadi pada akhirnya semakin menemukan bentuknya, yang dapat di bedakan dengan ikhwan atau salafi, 2 gerakan yang menjadi bahan baku utama gerakan ini. Pertemuan antara pengikut Ikhwan Quthbiyah dan Salafi Haroki inilah yang menjadi tiang utama gerakan Jihadi. Saya istilahkan Gerakan Jihadi ini adalah anak haram dari hasil hubungan gelap antara Islam Salafi dan gerakan Islam Ikhwan.

Pengikut gagasan ini sebagian besar adalah alumni Afghanistan, Moro dan Chechnya. Agenda utamanya Jihad Global. Jika di runut kebelakang munculnya Al Qaeda berawal dari peran Rabhitah Alam Islami (Liga Muslim se-dunia) dan Ikhwanul Muslimin.

Dua organisasi tersebut mendirikan Maktab al Khidmah (kantor pelayanan) bagi para pejuang mujahidin di Afghanistan yang di pimpin abdullah azzam. Maktab al Khidmah ini kemudian berkembang menjadi Maktab al Bayyinat (kantor informasi).

Maktab al Bayyinat berfungsi juga menerima bantuan dari para dermawan muslim. Maktab ini memiliki database para pejuang mujahidin di seluruh dunia yang berjuang di Afganistan. Maktab ini juga memiliki banyak cabang di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.

Maktab ini melaksanakan misi pelatihan kemiliteran dan mengatur teknis dan jadwal keberangkatan ke medan pertempuran di Afganistan. Setelah Abdullah Azzam terbunuh, Osama bin Laden kemudian mengendalikan Maktab al Bayyinat. Osama bin Laden kemudian mendesainnya menjadi sebuah pusat data untuk para mujahidin Afghanistan. Sehingga di kenal dengan nama Al Qaeda (Qaidatul Bayanat). Dengan adanya database tersebut, maka Osama bin Laden dapat mengendalikan berbagai kelompok salafi di seluruh dunia. FYI: Osama bin Laden dulu adalah anggota Ikhwanul Muslimin Arab Saudi.

Aiman Az-Zhawahiri menyebutkan, Osama bin Laden keluar dari IM sebelum pergi ke Afghanistan melawan Uni Soviet. Interaksi kepentingan dan budaya serta ideologi secara internasional di Afganistan telah membangun kesamaan semangat, visi, strategi tujuan perjuangan gerakan Jihadi untuk menegakkan Daulah Islamiyah, Khilafah Islamiyah dan Formalisasi syariat Islam serta bersikap anti barat.

Kelompok Jihadi ini ingin mendirikan negara islam di Afghanistan (Taliban) untuk membangun Khilafah Islamiyah. Strategi untuk mendirikan negara Islam, pada hakekatnya sejalan dengan cita-cita Salafi Haroki, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir.

Bagaimana dengan gerakan jihadi ini di Indonesia? Bahan baku gerakan jihadi di Indonesia terutama berasal dari Darul islam faksi Abdullah Sungkar. Dalam konteks rekruitmen dan pematangan jihad, Abdullah sungkar dan Abu Bakar Baasyir merupakan tokoh kunci.

Jumlah mereka yang pernah di kirim ke Afgan atau Moro telah mencapai ratusan mujahid. Mereka inilah yang kini mentransmisikan pemikiran-pemikiran Jihadi. Termasuk strategi dan taktik perjuangan di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Basis pendukung gerakan Jihadi umumnya masih didominasi pengikut Darul Islam. Khususnya alumni Afganistan dan Moro.

Gerakan Jihadi di Indonesia menamakan diri Jamaah Islamiyah yang merupakan jaringan Salafi Haroki. Abu Bakr Ba'asyir merupakan figur yang berideologi salafi haroki dan memiliki jaringan dengan lembaga-lembaga Salafi, Al haramain dan As Shofwa.

Gerakan Jihadi tentu sangat berbahaya, kejadian penggerebekan teroris Ciputat pada tahun baru 2014 telah membuka rencana teror mereka. Mereka berenca akan meledakkan beberapa kantor kedutaan asing dan beberapa tempat ibadah di Indonesia.

Di timur tengah, seperti di Irak gerakan Jihadi tidak hanya mengancam barat tapi juga sesama kaum muslim yang berbeda aliran. Para peziarah kaum syi'ah sering menjadi sasaran teror bom yang di lakukan oleh gerakan Jihadi.

Saya tidak bisa membayangkan jika benih-benih gerakan Jihadi ini tumbuh subur di negeri ini. bisa-bisa suatu saat merayakan Maulid Nabi di bom. Ada kelompok memperingati kematian ulama seperti haul di bom, ada tahlilan di Bom, makam-makam auliya' di bom. Naudzubillah.

Indikasi ini sudah ada, seperti beberapa waktu lalu makam cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VI, dirusak sekelompok orang. Di coreti syirik. Bukan tidak mungkin, makam-makam Sunan yang bertebaran di tanah Jawa yang ramai oleh peziarah akan menjadi sasaran berikutnya. Maka dari itu, kita tidak boleh lengah dengan keberadaan gerakan Jihadi ini, dengan mengenali ciri-ciri dasar paham keagamaan gerakan ini. Sekian dulu nanti dilanjutkan dengan pembahasan tentang Hizbut Tahrir.

Kelompok Aliran Dalam Islam (3)


Penyebaran Ikhwanul Muslimin di Indonesia.

Sebelumnya ketika membahas Salafi, saya membagi Salafi yang masuk di Indonesia menjadi 3; Salafi Wahabi, Salafi Haroki/Sururi dan Salafi Jihadi. Salafi Wahabi dan Salafi Haroki/Sururi sudah saya bahas, tinggal Salafi Jihadi. Salafi Jihadi akan saya bahas setelah bagian Ikhwanul Muslimin (IM)yang akan aku bincangkan sebentar lagi. Bahasan soal kelompok Salafi Jihadi akan masuk dalam bagian tulisan Kelompok JIHADI (Salafi Jihadi & Ikhwan Quthbiyah). Nanti setelah IM.

Pada awal tahun 1962, paman Gus Dur dari garis Ibunya, Aziz Bisri sempat mendorong Gus Dur untuk mendirikan Cabang Ikhwanul Muslimin. Azis Bisri adalah adik laki-laki Solichah, Ibu Gus Dur. Ia salah seorang pengagum Ikhwanul Muslimin kala itu. Gus Dur sempat mempertimbangkan usulan itu, namun usaha itu segera terputus, karena ke Kairo untuk melanjutkan Study pada bulan November 1963. Dan di Kairo Gus Dur pada akhirnya menentukan posisinya terhadap ide-idenya.

Ikhwanul Muslimin, di dirikan oleh Hasan Al Banna pada tahun 1928, dua tahun setelah Nahdlatul Ulama, NU berdiri pada tahun 1926. Berbeda dengan Salafi/Wahabi yang non politik, Ikhwanul Muslimin sangat kental dengan perjuangan politik.

Dalam hal amaliah dan teologinya Salafi dan Ikhwanul Muslimin cukup berbeda. Salafi tidak mengenal Dzikiran, maulid nabi atau tawasul dsj. Dalam Ikhwanul Muslimin masih ada dzikir, Maulid Nabi dan amalan-amalan seperti halnya NU. Paling tidak, Ikhwanul Muslimin tidak mengharamkannya.

Dalam perjuangan politiknya, Ikhwanul Muslimin menerima sistem demokrasi dan nasionalisme. Yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara, dan berusaha menegakkannya dalam suatu negara. Oleh karena itu, perlu melakukan jalur politik kekuasaan dengan membentuk partai politik dan ormas. Kekuatan utama gerakan ini adalah pembentukan kelompok pengajian2 (halaqah) kecil yang mengimplementasikan ajaran "Islam Kafah".

Gerakan Ikhwanul Muslimin dalam perkembangannya terbelah dalam 2 Arus besar.

Pertama, Madrasah Hudaybiyah. IM Madrasah Hudaybiyah (Tarbiyah/Formal) merupakan resmi gerakan IM yang komando gerakannya berada di tangan Mursyid Am di Mesir.

Kedua, Madrasah Quthbiyah (Radikal, tidak akomodatif). Gerakan ini mengembangkan jaringan jihad global.

Perpecahan ini sudah dimulai sejak meninggalnya Hasan Al Banna. Pada 1949 Hasan Al-Banna meninggal karena ditembak agen pemerintah.

Ikhwan Hudaybiyah merupakan Ikhwan versi resmi. Secara internasional dikendalikan oleh Mursyid Am. Ikhwan Hudaybiyah tidak terlalu radikal. Ikhwan Hudaybiyah tetap mau menerima sebagian sistem modern, seperti partai politik, organisasi dsb. Namun dalam hal cita-cita politik Islam, mereka tidak pernah kompromi. Seperti halnya saat ini yang terjadi pergolakan di Mesir.

Kalau mereka mau menerima sistem sekuler, pada dasarnya hanyalah bersifat temporal. Tujuannya utamanya tetap, yaitu Daulah Islamiyah. Namun cara yang di tempuh bersifat non kekerasan. Mereka memanfaatkan instrumen demokrasi untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Pada mulanya, gerakan Ikhwan Hudaybiyah kurang mendapat sambutan. Namun kemenangan partai ikhwan di Aljazair, FIS, menjadii momentum penting jalur tarbiyah, moderat dan parlementarian dapat menemukan efektifitasnya. Model ini kemudian di terima secara luas di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Model ini menjadi katup penyelamat penting kala Ikhwan Quthbiyah sedang terpukul di beberapa negara.

Nah, bagaimana masuknya Ikhwanul Muslimin di Indonesia?. Bagaimana dengan PKS?. Di Indonesia, transmisi Ikhwanul Muslimin telah berlangsung pada dekade 1980-an melalui para aktifis Islam yang belajar di Timur Tengah. 2 Tokoh penting yang mengusung jalur ini, pertama adalah Rahmat Abdullah. Kedua Hilmi Aminuddin, yang sekarang menjabat Ketua Majelis Syuro PKS. Jika Muhammadiyah ada Film "Sang Pencerah", NU ada Film "Sang Kiai", PKS filmkan Rahmat Abdullah judul "Sang Murabbi". Hilmi Aminuddin inilah yang mempertemukan paham Ikhwanul Muslimin kepada aktifis Darul Islam (DI). Sehingga dalam perkembangannya terdapat tiga jalur penting yang menyebabkan ikhwan hudaybiyah tumbuh pesat di Indonesia.

Pertama, kelompok "Usroh" di kampus yang merupakan basis gerakan Hilmi Aminuddin bersama aktifis Darul Islam lainnya.

Kedua, alumni Timur Tengah, khususnya yang belajar di Mesir dan Arab Saudi penganut gerakan Ikhwan.

Ketiga, alumni LIPIA terutama dekade 1980an tatkala sebagian dosen LIPIA berasal dari Mesir penganut gerakan Ikhwan. Presiden PKS saat ini Anis Matta dan Gubernur Jabar yang diusung PKS A. Heryawan keduanya juga alumnus dari LIPIA.

Meskipun PKS diprakarsai oleh aktifis Ikwanul Muslimin, namun tidak semua anggota PKS mengikuti Ikhwanul Muslimin. Hanya pada lingkaran inti PKS didominasi oleh para aktifis Ikhwanul Muslimin. Sedangkan sayap tarbiyah dan hanif-nya terdiri dari beraneka latar belakang. Oleh karena itu, kader PKS dapat berasal dari manapun. PKS memiliki cita-cita mendirikan negara Islam ketika memimpin negara, karena ini merupakan cita-cita akhir Ikhwanul Muslimin di negara lainnya. Karena dalam partainya berusaha merangkul anggota dari latar belakang yang berbeda.

Hasan Al-Banna sendiri dulu berusaha mengakomodasi kelompok salafi, kaum tradisional dan kaum pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Dalam pertemuan internasional para anggota parlemen yang berasal dari Ikhwanul Muslimin di Jakarta pada bulan Februari 2007 telah menetapkan Jakarta sebagai sekretariat gerakan Ikhwanul Muslimin se-dunia. Hal ini menunjukkan bahwa PKS bagian dari Ikhwanul Muslimin. Tanda telah memiliki jaringan internasional yang memiliki tujuan bersama. Nanti dilanjutkan dengan kelompok aliran Salafi Jihadi.

Kelompok Aliran Dalam Islam (2)

Penyebaran Salafi Wahabi di Indonesia

Sebetulnya, terbunuhnya Osama tak berarti matinya ideologi radikalisme/terorisme berdasar Islam. Osama bukan pencipta ideologi radikalisme/terorisme. Sebab ini ideologi yang diciptakan oleh banyak orang dalam rentang waktu yang panjang. Setelah Osama Bin Laden terbunuh, radikalisme/terorisme tidak mati, meskipun memang mengalami penurunan sedikit.

Sekarang ini, kemungkinan pengikut-pengikut Osama mendapat momentum baru setelah kisruh di dunia Arab pasca "Arab Spring". "Jaringan Al-Qaidah mendapat momentum baru (via Jabhat al-Nusrah) di Syria, misalnya. Tergulingnya Presiden Morsi di Mesir mungkin saja memantik elemen-elemen radikal dalam Ikhwan untuk menempuh opsi kekerasan di sana. Taliban sekarang bangkit lagi dan mendeklarasikan perang terhadap pemerintah Pakistan.

Kelompok-kelompok radikal simpatisan al-Qaidah memang selalu diuntungkan jika terjadi kekacauan politik di sebuah negeri Muslim. Konsolidasi demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah kunci negeri-negeri Muslim bisa menangkal radikalisme ala al-Qaidah. Di Indonesia, "radikalisme Islam" yang menempuh jalur kekerasan, belum mati. Sampai sekarang masih menjadi masalah keamanan yang tak main-main. Mengutip kata-kata Gusdur: "Islam itu seperti hutan, nampak dari kejauhan sama hijau, tapi bila kita memasukinya ada beragam jenis pepohonan".

Di Indonesia, Makin beragam model gerakan Islam yang masuk. Mereka sendiri terpecah-pecah, lalu memunculkan jenis-jenis aliran baru. Sasaran utama tentu kelompok terbesar, seperti Nahdlatul Ulama (NU). Warga Nahdlatul Ulama perlu mengenali gerakan-gerakan sesama umat Islam yang berbeda dengannya. Bukan karena bermusuhan dengan mereka, namun agar bisa lebih arif dalam menempatkan diri dan menyikapinya.

Kelompok yang masuk dalam kategori Islam mainstream di Indonesia adalah Islam moderat, antara lain: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan lain-lain.

Sedangkan Gerakan Islam Garis keras terdapat berbagai varian. Ada yang menggunakan jalur parlementer dengan mendirikan partai politik, jalur aksi sosial dan pendidikan, dan aksi kekerasan. Bahkan saat ini gerakan ini, mengembangkan jaringannya menciptakan sejumlah titik di berbagai negara. Termasuk di negara-negara sekuler dan maju.

Ideologi gerakan tidak lagi bertumpu pada konsep demokrasi, melainkan konsep umat. Dalam kerangka ini, wajah ideologi mereka tampak lebih radikal, terutama dalam menghadapi fenomena kapitalisme global. Gerakannya di dominasi oleh corak pemikiran skripturalism, fundamentalism atau radikal. Selain itu, secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern seperti metode perjuangan, partai, IT, serta persenjataan modern.

Saat ini banyak jamaah-jamaah islam bermunculan di indonesia, namun secara makro ada beberapa yang perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Yaitu Salafi (dengan variannya), Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Syi'ah dan kelompok Jihadi.

Mari bahas satu-satu secara bertahap, karena banyak pembahasannya, jadi di bagi dalam berbagai 'episode'.

Kita mulai dari Salafi dulu.

Salafi adalah seseorang yang mengikuti manhaj salaf. Manhaj salaf adalah istilah untuk sebuah jalan yang terang dan mudah. Jalan yang di tempuh oleh para generasi Sahabat Rasulullah SAW, Tabi'in dan Tabiut tabi'in dalam memahami ajaran islam.

Orang-orang ini yang mengikuti manhaj salaf (Salafiun) biasa di sebut dengan Ahlussunnah Wal Jamaah, di singkat ASWAJA di karenakan berpegang teguh kepada Al Qur'an dan as-Sunnah. Selain itu di sebut juga ahlul hadits wal atsar dan a-Firqatun najiyah.

Di Indonesia Salafi dan Salafiyah memiliki dua pengertian yang berbeda. Ini penting.

Salafiyah yaitu kelompok, pesantren atau ormas Islam yang kental dengan nilai-nilai tradisional lokal dan klasik. Berpegang pada al-Qur'an dan as-Sunnah serta bermanhaj Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam kelompok inilah selama ini pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama dikenal, yang berarti klasik secara manhaji dan metode pengajarannya.

Sedangkan Salafi adalah kelompok, pesantren atau ormas islam yang berpaham Salafi (Wahabi) yang juga berpegang pada al Qur'an dan as-sunnah.

Salafi di Indonesia terdiri dari tiga kelompok. Yaitu Salafi Wahabi Yamani, Salafi Haroki (sururi) dan Salafi Jihadi.

Salafi Wahabi merupakan gerakan pemurnian ajaran Islam kembali kepada Al Qur'an dan Hadits. Yang di prakarsai oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab (1744 M). Gerakan Wahabi ini berkembang secara internasional melalui jaringan ulama-ulama wahabi dan dukungan dana dari kerajaan Saudi Arabia. Pendekatannya tekstual, literal, skripturalis, non politik, anti bid'ah dan khurafat. Kelompok ini dapat dikenali dalam gerakannya yang hanya untuk kepentingan ukhuwah islamiyah dan bukan kepentingan politik.

Persebaran gerakan Salafi Wahabi di indonesia dimulai pada awal dekade 1980-an. Dorongan utamanya adalah berdirinya LIPIA (lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). di Jakarta Selatan didirikan pada tahun 1400 H/ 1980 M. LIPIA merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad bin Saud Riyadh di Indonesia. LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah al Ammar, murid tokoh ulama Wahabi Syeikh Abdullah bin baz. Seorang saudara yang pernah mengenyam di LIPIA, sering bercerita pengalamannya 'nyantri' di LIPIA. Intinya di LIPIA pelajar di cetak menjadi Salafi Wahabi. Kata-kata semacam 'Thagut' menjadi santapan setiap hari bagi pelajar di LIPIA.

Alumni LIPIA angkatan pertama, kini menjadi tokoh terkemukan dikalangan Salafi. Diantaranya adalah Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas (Pesantren Minhajus sunnah, Bogor). Alumni Generasi pertama LIPIA: Farid Okbah (direktur al irsyad). Ainul Harist (Nida'ul Islam, Surabaya), Abubakar M Altawy (al-Sofwa, Jakarta), Ust. Ja'far Umar Thalib (mantan komandan Laskar Jihad). Adapun nama ketua FPI, Habib Rizieq Shihab, tercatat juga alumni LIPIA. Walaupun tidak menjadi Wahabi. Namun Habib Rizieq tampaknya telah mengadopsi mentalitas Wahabisme. Habib Rizieq menampilkan model Islam konfrontatif terhadap apa yang ia pandang maksiat atau kesesatan. Amar makruf nahi munkar. Sebagaimana ciri umum Salafi, generasi pertama LIPIA tersebut sangat anti kepada kelompok gerakan Islam yang lain seperti HT, IM dll.

Sedangkan Salafi Haroki adalah varian dari Salafi yang terpengaruh paham Ikhwanul Muslimin. Yang menerapkan sistem harakah (pergerakan) atau tandzim (sistem organisasi). Seperti al-Muntada al-Islamy, Ihyaut Turast al-Islamy, Al-Wahda, Darul Birr, Harakah Sunniyah Islamiyah, dan lain sebagainya.

Gerakan Salafi Haroki juga di sebut Salafi Sururi karena tokoh kelompok ini bernama Muhammad Surur bn Nayef (mantan tokoh Ikhwanul Muslimin). Muhammad Surur bin Nayef Zaenal Abidin berasal dari Syria memimpin sebuah Yayasan Al Muntada Islamiyah di London.

Salafi Haroki/Sururi tetap berpegang pada doktrin-doktrin dasar Salafi, namun tidak mengharamkan politik. Tokoh utama gerakan ini sebagian besar adalah oposisi pemerintah kerajaan Saudi Arabia, seperti Muhammad Surur bin Nayef bin Zainal Abidin. Gerakan ini sekarang bermarkas di Inggris dan Kuwait.

Salafi Haroki secara tegas menolak dan menentang modernisasi yang dianggap gagal dalam memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Khususnya yang terjadi di negara-negara muslim, bahkan sistem tersebut di pandang menjadi sumber kerusakan moral.

Kelompok Salafi sebenarnya dalam perkembangannya terpecah ke dalam beberapa varian. Sehingga sulit menempatkan satu kelompok menganut satu aliran sepenuhnya. Di Indonesia banyak sekali kalangan Salafi yang mendapat gelar Sururiyah atau yang mempunyai pandangan berbeda dengan Salafi Wahabi. Jadi tidak usah heran kalau kelompok Salafi ini gemar Takfir, karena di kalangan mereka sendiri mereka rentan bersebrangan dan berlawanan. Masih ingat bagaimana konflik Ustadz Jafar Umar Thalib versus Abubakar Ba'asyir. Parah sekali. Belum antar tokoh Salafi yang lainnya. Oleh karena modus pengembangan salafi berbasis pesantren, maka gerakan salafi di Indonesia umumnya bertabrakan langsung dengan warga NU. Bagian Salafi cukup sampai sini, nanti dilanjutkan dengan giliran Ikhwanul Muslimun atau IM (akrab terdengar Ikhwanul Muslimin).

Kelompok Aliran Dalam Islam (1)






Ketika mempelajari Kelompok Aliran Dalam Islam, saya menemukan grafik menarik dibawah ini. Dalam grafik terlihat bahwa pemeluk agama Islam terbagi atas 2 Kelompok Aliran besar yaitu Sunni (80%) dan Syiah (20%). 4 aliran utama Sunni, disebut mahzab, terdiri atas Syafi’i (29%), Hanafi (20%), Maliki (15%) dan Hanbali (15%). 


Diluar itu ada kelompok yang disebut Sufi, Khawarij dan Ortodok (aliran Ahmadiah termasuk didalamnya). Pengikut kelompok-kelompok terakhir ini tidak banyak. Pengikut mahzab Syafi’I banyak terdapat di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia), Maliki banyak di Afrika Utara (Mesir UEA, Kuwait), sedangkan Hanbali banyak di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, Afganistan), didalamnya terdapat kelompok aliran Taliban. Pengikut Mahzab Hanbali banyak terdapat di Jazirah Arab (Saudi Arabia, Qatar, UEA), dimana kelompok aliran Wahabi, Salafi, Al Qaeda, ISIS termasuk diantaranya. Menarik untuk dibahas.