Senin, 15 Juli 2013

Tak ada Roti Bir pun Jadi


Dari sebuah ketaksengajaan, minuman beralkohol ini mengubah peradaban. Hanya bacaan, bukan anjuran.

TUANGKAN ke dalam gelas, dan lihat sensasinya. Buih-buih busa menebal dan naik ke permukaan, sementara gelembung-gelembung kecil di antara cairan berwarna kekuningan berebut naik. Ketika menyesapnya, rasanya agak pahit di lidah dan kehangatannya menelusuri tenggorokan.

Penemuan bir berkaitan erat peralihan dari tradisi hidup berpindah-pindah (nomaden) ke hidup menetap yang dikenal dengan sebutan Revolusi Neolithik. Saat itu, selain beternak, manusia mulai bercocok-tanam barley (sejenis tumbuhan semacam gandum), beras, dan gandum. Selain diolah jadi makanan, biji-bijian itu juga dipakai untuk membuat minuman sejenis bir. Epos Gilgamesh, puisi epos dari Babilonia yang ditulis pada 3.000 SM, menyebutnya sebagai evolusi dari manusia primitif ke “manusia berbudaya” lewat kisah Enkidu yang “meminum tujuh cangkir bir dan hatinya melambung. Dalam kondisi ini ia mencuci dirinya sendiri dan menjadi manusia.”

Melalui hieroglif, tulisan paku, dan catatan tertulis, para sejarawan lalu melacak asal-muasal bir dengan menelusuri kembali ke masa suku-suku Afrika, Mesir, dan Sumeria kuno. Berdasarkan penelitian, pembuatan bir tertua sudah dilakukan pada masa 6.000 tahun SM, dan berasal dari budaya bangsa Sumeria kuno. Orang Sumeria kuno menyebutnya sebagai minuman yang mampu membuat orang “bahagia, gembira, dan menakjubkan”.

Sebuah prasasti berasal dari zaman Sumeria kuno (3.000 tahun SM) di mana tertatah perihal resep bir jadi penunjuk awal keberadaan bir. Selain itu ditemukan juga sebuah catatan puisi berisikan doa kepada dewi Ninsaki yang dikenal dengan sebutan “The Hymne to Ninsaki” (2.900 SM). Selain sebagai doa, puisi itu merupakan metode untuk mengingat resep bir. Di Tiongkok, minuman fermentasi biji-bijian seperti beras atau gandum juga memainkan peranan dalam kehidupan keagamaan. Prasasti pada tempurung kura-kura, seperti juga terdapat pada prasasti perunggu, mencatat orang-orang pada masa Dinasti Shang (1600-1046 SM) menyembah nenek moyang mereka dengan minuman beralkohol.

Belum jelas bagaimana bangsa Sumeria kuno menemukan metode pembuatan bir. Tampaknya ia muncul dari ketidaksengajaan ketika sepotong roti atau gandum basah berfermentasi menjadi bubur yang memabukkan. Hal ini mengacu pada sebuah piktogram yang menggambarkan proses sebuah roti dihancurkan dalam rendaman air untuk kemudian diproses lagi menjadi minuman.

Saat bangsa Sumeria runtuh, daerah Mesapotemia jatuh ke tangan Babilonia, yang mewarisi ketrampilan membuat bir. Mereka bahkan menemukan resep membuat varian 20 jenis bir. Bir hasil buatan bangsa Babilonia ini diekspor sampai ke Mesir. Saking digemari, Raja Hammurabi mengeluarkan peraturan soal jatah pembagian bir, tergantung status sosial seseorang. Seorang pekerja biasa mendapat jatah dua liter, pegawai negeri dapat tiga liter, administrator dan imam tinggi mendapat lima liter.

Di Mesir, bir menjadi minuman sehari-hari yang menemani Firaun menyantap hidangannya. Ia juga digunakan dalam upacara keagamaan; dianggap sebagai karunia yang patut diberikan kepada Firaun dan digunakan sebagai persembahan untuk dewa-dewa. Seringkali bir juga dijadikan obat untuk suatu penyakit. Douglas J. Brewer dan Emily dalam Egypt and the Egyptians menulis, “Minuman paling populer di Mesir (kuno) adalah bir. Dan kami berasumsi, masyarakat Mesir baik kaya maupun miskin, perempuan dan laki-laki, tua maupun muda sehari-hari mengonsumsi bir dalam jumlah besar.”

Bir juga menjadi keseharian masyarakat Yunani. Bir lalu merambah ke Romawi, Celtic­­­, Tuteon (kini Jerman), serta ke wilayah Britania dan Eropa tengah.

Meski sudah dikenal sebelumnya, penggunaan buah hops (sejenis tumbuhan merambat seperti pohon anggur) mulai populer pada abad ke-15 dan 16. Buah hops dipakai sebagai bahan pengawet, penyeimbang rasa sekaligus pemberi rasa getir, serta penambah aroma pada bir. Catatan sejarah terpenting dalam pembuatan bir adalah adanya penetapan “hukum kemurnian bir” yang diadopsi dari hukum Bavaria (Jerman). Janji kemurnian menyatakan bahwa hanya empat bahan yang dapat digunakan dalam produksi bir: air, barley, dan buah hops. Setelah diperkenalkan ilmuwan Prancis Louis Pasteur, ragi menjadi bahan keempat.

Pada abad ke-15, industri bir skala rumahan bermunculan. Memasuki masa Revolusi Industri, pembuatan bir kian maju. Terlebih setelah diperkenalkan hidrometer dan termometer, yang memungkinkan proses pembuatan bir kian efisien. Perlahan bir menjadi industri berskala besar, yang jangkauannya merambah ke mana-mana. Di Indonesia, berdiri perusahaan Belanda bernama NV. Nederlandsch Indische Bierbrouwerijen pada 1929 di Medan dengan pabrik birnya di Surabaya. Setelah sempat dinasionalisasi, pabrik ini yang sudah beralih kepemilikan masih eksis di Indonesia.

Sebagai minuman populer, bir bukanlah tanpa pelarangan. Di Amerika pada 1920, minuman beralkohol dilarang karena dituding sebagai penyebab korupsi, prostitusi, dan tindak kriminal lainnya. Sejumlah komunitas, juga gereja, mendukung pelarangan. Banyak perusahaan bir gulung tikar, atau beralih memproduksi minuman lain.

Fenomena ini bukan khas Amerika. Jauh sebelumnya, Uni Soviet dan negara-negara persemakmurannya pada 1914 melarang keberadaan minuman beralkohol. Begitu pula di negara-negara seperti Islandia, Norwegia, Finlandia, dan Hungaria. Namun peraturan itu tak berlangsung lama. Sebabnya, seperti di Amerika, minum keras tetap beredar secara ilegal dan dikuasai kelompok-kelompok kriminalitas terorganisir.

Meski begitu gerakan kelompok penentang minuman beralkohol tidaklah sia-sia. Karena perlawanan merekalah timbul peraturan yang menetapkan hanya orang berusia 21 tahun yang boleh membeli dan mengonsumsi minuman tersebut. Selain itu ada berbagai peraturan yang mengatur perihal peredarannya. Perusahaan bir pun melakukan penyiasatan, terutama untuk pangsa pasar di negara berpenduduk Muslim seperti di Indonesia, dengan memproduksi bir tanpa alkohol alias zero persen.

Saat ini, industri bir merupakan bisnis global, yang melibatkan perusahaan multinasional hingga lokal. Bir merupakan minuman beralkohol yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Di seluruh dunia, ada lebih dari 20.000 merek bir yang diolah dalam 180 cita rasa. Ia sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar