Senin, 15 Juli 2013

Kontrak Bagi Hasil - MIGAS


Sesuai hasil diskusi dengan seorang teman, saya coba berbagi akan kaidah-kaidah yang terjadi dalam kegiatan industri hulu migas di Republik ini.

Kegiatan Usaha Hulu Migas adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi.

Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan migas.

Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan migas di wilayah kerja yang ditentukan. Ditentukan dlm titik2 koordinat.

Rangkaian kegiatan ini meliputi pengeboran, penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan, pemisahan migas.

Dunia mengenal 2 sistem pokok dalam menunjuk pihak ketiga untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, yaitu: 1. Konsesi/royalti 2. Kontrak.

Pada zaman Belanda, INA menggunakan sistem konsesi, namun sejak era 60an, INA (Bung Karno) memperkenalkan sistem kontrak.

Sistem kontrak ini mengadopsi bagi hasil daru cara para pemilik lahan sawah yang menyewakan lahannya untuk dikelola oleh orang lain yang ada di INA.

BK melihat ada pembagian yang kurang adil (dalam industri hulu migas) pada zaman Belanda, dimana pada zaman tersebut INA menggunakan sistem konsesi.

Perbedaan mendasar antara sistem konsesi dengan sistem kontrak adalah dalam hal kepemilikan (ownership) dari sumber daya alam.

Dalam sistem konsesi, negara mengalihkan hak kepemilikan (title) atas SDA kepada Oil Co. Jika SDA tersebut diprediksikan, selanjutnya Oil Compant membayar royalti dan pajak kepada Negara. Contoh negara yang masih menggunakan sistem konsesi adalah Arab Saudi, Kuwait, Qatar.

Dalam sistem kontrak, negara masih menguasai hak kepemilikan (ownership) atas SDA, dan Oil Co,psny akan mendapatkan bagian (share) sesuai kontrak.

Pasal 6 (UU. No. 21/2001) menyebutkan bahwa : "Kegiatan Usaha Hulu Migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerjasama."

Kontrak Kerjasama paling sedikit memuat persyaratan bahwa : a. Kepemilikan SDA tetap ditangan pemerintah sampai pada titik serah. b. Modal dan resiko usaha seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha/Badan Usaha Tetap. c. Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana.

Jadi kalo' ada dispute mengenai kenapa Wilayah Kerja dikuasai orang asing, itu tidak benar. Karena unsur kepemilikan SDA itu tetap oleh Government of INA (GOI).

Bahkan ketika dilakukan proses pengambilan migas (lifting), migas itu tetap masih menjadi milik (GOI), sampai pada titik serah.

Kemudian, industri hulu migas ini bersifat high risk; high cost & high technology. Ketika kontraktor telah melakukan proses drilling dan tidak menemukan migas dalam reservoir (dry hole), kontraktor menanggung sendiri seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan.

Sebagai informasi sewa rig (alat untuk mengebor lapisan tanah) itu mencapai US$50jt untuk on shore dan lebih mahal lagi untuk offshore.

Kajian geologis menyebutkan bahwa INA memiliki angka ketidakpastian akan sumur migas yang tinggi. Dari 10 sumur perkiraan, hanya 3 yang ada migasnya. Dan dari 3 sumur tersebut hanya 1 yang benar-benar ekonomis, jika di produksi secara massive. Jadi hapus memori akan minyak yang kaya.

Kontrak berlaku untuk 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan persetujuan kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Selama 3 tahun pertama masa kontrak, Kontraktor wajib melaksanakan suatu program kerja dan membelanjakan sejumlah dana yang ditentukan dalam kontrak.

Jika kontraktor mengundurkan diri pada masa "1st commitment", maka kontraktor harus membayr kepada pemerintah jumlah dana yang telah disepakati.

Dalam masa eksplorasi, kontraktor harus berhasil menemukan cadangan migas dalam jumlah yang komersial untuk diproduksi. Jika tidak kontrak berakhir dan kontraktor menanggung sendiri semua biaya operasi yang telah dikeluarkan. Kontraktor dapat memperoleh kembali (cost recovery, hanya jika ada produksi di Wilayah Kerja. Biaya-biaya yang masih "menggantung" itu dikenal dengan nama sunk cost.

Kemudian setelah diproduksi komersil, bagaimana mekanisme pembagiannya?. Sebelum dibagi antara Pemerintah INA dengan kontraktor, maka hasil produksi harus dikurangi dulu dengan : 1. FTP (1st Tranche Petroleum). Apa ini?? FTP adalah cara bagi pemerintah INA untuk dapat menikmati hasil migas terlebih dahulu. Namanya juga land lord (juragan), ada hasil dari proses produksi gua dulu donk yang dapat. Besarannya sekitar 20% dari total lifting. 2. Unsur pengurang berikutnya adalah : (eng-ing-eng) Cost Recovery. Yup, biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor itu wajib dikembalikan oleh pemerintah INA. Cost Recovery adalah pengembalian operating cost. Operating cost adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Kontraktor untuk melaksanakan petroleum operations (sesuai accounting procedur). Yang harus dicermati adalah costs itu dikembalikan dalam bentuk in-kind (minyak). Jumlah in-kind yang diperoleh Kontraktor sebagai pengembalian biaya, dihitung dengan cara membagi jumlah costs yang dikeluarkan dengan ICP (Indonesian Crude Price). ICP adalah harga untuk masing-masing jenis minyak yang ditentukan oleh pemerintah INA berdasarkan publikasi internasional (yang mencerminkan harga pasar untuk jenis yang bersangkutan). Biasanya di published d bursa efek London.

Sisa produksi setelah dikurangi jumlah setara dengan biaya operasi, baru akan dibagi antara Pemerintah INA dan Kontraktor sesuai % tadi dalam kontrak.

Mengutip pernyataan Ibnu Soetowo : "yang dibagi itu adalah minyaknya. Terserah mau diapakan oleh masing-masing pihak minyak itu." Itu Inti Kontrak Bagi Hasil.



Demikian yang dapat di sharing mengenai Kontrak Bagi Hasil dalam industri hulu Migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar