Sabtu, 27 Juli 2013

Perubahan


Setiap perubahan selalu membawa konsekwensi-konsekwensi baru. Misalnya, Anda yang buka kursus bimbel, les matematika, mungkin terancam dengan kurikulum 2013.

Sekolah yang dirancang lebih fun dalam kurikulum 2013 bisa mengancam guru-guru yang senang membuat hal gampang menjadi lebih sulit dari yang sebenarnya.

Dibukanya jalur tol Jakarta -Cipularang telah mematikan banyak rumah makan di daerah Cipanas, dan rute pesawat Halim – Bandung. Dan sebaliknya, kemacetan parah tol Jakarta-Bandung belakangan ini, bisa menghidupkan kembali KA Parahyangan dan pesawat Jakarta –Bandung

Masuknya kaum ibu ke dunia kerja dalam jumlah besar secara evolutif sejak 1980-an telah mematikan banyak pasar tradisional.

Berakhirnya perang dingin (runtuhnya Tembok Berlin) mengakibatkan berakhirnya era militerisme menjadi era demokrasi yang berakibat lepasnya Timtim dari Indonesia.

Masuknya teknologi digital telah banyak mematikan surat kabar dan majalah berbasiskan kertas. Masuk ke era Freemium. Di era freemium, pembaca media tumbuh tetapi mereka tak mau mmbayar (free), ingin instant, tetapi tetap kredibel dan kalimat-kalimat pendek.

Saat Kepolisian RI memasuki era HAM, juga ada kegamangan, karena dulu polisi berada dibawah ABRI, dengan academy yang cenderung militer. Polisi kemudian berubah dari "senjata untuk mematikan" ke senjata untuk "melumpuhkan". Dari kekuasaan ke pelayanan. Ini masih proses panjang.

Uang juga berubah dari uang giral (cek) dan kartal (logam & kertas) menuju ke uang digital. Dari Kaya yang terlihat menjadi hanya pencatatan.

Wartawan pun mengalami gempuran dengan hadirnya citizen jurnalist yang bisa memotret kejadian lebih cepat, dan semuanya bisa mewartawan.

Koruptor pun terancam karena era kamera yang mudah merekam gerak-gerik, hadirnya PATK dan KPK.

Demokrasi pun mengancam dinasti keluarga, masyarakat tak senang melihat dinasti bergantian memimpin, memanipulasi suara.

Branding juga bergeser ke Camera, dari phisical appearance ke auragenic, ke segala yang genuine dan authentics.

Sekolah-sekolah top di masa lalu pun terancam, digantikan sekolah-sekolah yang lebih computerized, lebih internasional standard.

Dulu orang hanya respek pada rektor Universitas Negri, Sekarang hanya Prof Komaruddin (UIN) yang dikenal karena Universitas negri fokus pada administratif.

Sebaliknya kita mengagumi Rektor berusia muda dengan karya riil seperti Prof Anies Baswedan yang justru bukan Rektor Universitas Negri.

Dulu anak muda tak dandan, kini anak muda lebih cheerful. Dulu jilbab, sekarang hijup, bahkan HijUp).

Dulu nongkrong di warung dengan kopi tubruk sekedar jangan ngantuk, sekarang nongkrong di 7Eleven. Dulu lebay sekarang alay.

Dulu "nembak" pacar pakai surat berwarna yang dibeli di depan kantor pos, sekarang nembak pakai SMS.

Dulu paspor dan tiket pesawat mahal, sekarang lebih murah dari pulsa bulanan. Dulu luar negri jauh, kini hanya di depan mata.

Dulu hanya yang kaya yang ke luar negri dan berbahasa asing. Kini TKW asal Madura/Jombang banyak ditemui di Hongkong, lebih pede dari mahasiswa Indonesia.

Dulu Indonesia kaya minyak, anggota OPEC. Kini kita importir minyak dan sudah keluar dari OPEC.

Dulu hanya dengan menjdi menteri anda bisa jadi terhormat, kini banyak menteri dihujat dan andapun bisa melakukan perubahan sosial tanpa harus menjadi menteri.

Dulu bank menjadi supemarket dan mudah meraih untung, kini persaingan membuat bank-bank kecil di luar top 10 kesulitan funding.

Dulu asing tak mau investasi di sini, sekarang investor asing datang kemana-mana, membuat UMKM pun terdesak dan mulai sulit mendapat SDM bagus.

Lantas apa reaksi banyak orang, khususnya incumbent (pemain-pemain lama) terhadap kedatangan perubahan itu? Inilah jawabannya.

Jawaban mereka: ngga juga tuh, oplah koran malah naik...(hehe). Cek lagi ya, naiknya berapa dibandingkan pertumbuhan pembaca nasional.

Jawaban mereka: itu tak akan terjadi di sini...(sindroma alamiah: denial, menyangkal lebih dulu sebelum membaca dengan kepala jernih).

Jawaban mereka: "Itu semua gara-gara datangnya X" ( yang tak bisa mereka kendalikan) seperti datangnya jalan tol, moden store dll.

Jawaban mereka: konsep barunya jelek, nggak logic (sindroma natural: aku lebih tahu, aku lebih pandai).

Jawaban mereka: kami menolak (sindroma resistensi dengan menciptakan rintangan), kami punya sistem yang lebih baik.

Terhadap banyak hal baru selalu kita saksikan: ada yang terbuka dan cepat beradaptasi, namun juga ada yang dogmatik dan tertutup.

Yang terbuka cepat "melihat" dan segera berdamai, bergerak, pindah. Yang tertutup marah-marah, mengancam, membangun kekuatan perlawanan, dst.

Maka berbahagialah anda yang cepat melihat signal dan percaya pada perubahan, dan kasihanilah mereka yang belum mampu melihatnya.

Dimana-mana orang nyaman dengan cara kerja lama yang sudah dianutnya puluhan tahun, ada selimut rasa nyaman karena familiarity.

Ada kenikmatan yang diperoleh dari keahlian dan pengakuan yang didapat di era lama. Ada profit besar dari kemapanan.

Dan ada kesulitan-kesulitan baru saat menjelajahi dunia baru yang beresiko dan belum jelas sosoknya. Ada amarah, takut, kesal, why not me?

Apalagi ada ketidakpercayaan terhadap pemimpin. Ini makin menyulitkan.

Kita semua berpotensi konflik menghadapi perubahan, kita masing-masing bisa mengalami neophobia, kita bisa menyangkal, marah bahkan ribut diantara kita. Sesama ulama berkelahi, sesama ilmuwan beda pendapat, sama-sama cinta tanah air adu kekuatan karena perubahan.

Remember this: Perubahan belum tentu menjadikan sesuatu lebih baik, tapi tanpa perubahan tak akan ada pembaharuan, tak ada kemajuan.

and this: Terhadap segala hal yang baru, tak semua orang mampu melihatnya dengan jelas.

and this: segala yang baru pasti sulit, itu sebabnya banyak orang pandai yang tak mau melakukannya (karena bisa terlihat bodoh lagi)

Namun: apapun yang kita lakukan dan bermanfaat hanya bagi kita, akan mati bersama kita, sedangkan perubahan yang dilakukan bermanfaat bagi orang lain akan KEKAL ABADI.





Rhenal Kasali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar