Rabu, 17 Juli 2013

KARTINI


Bahasan dan polemik tentang Kartini memang menarik dan tak habis-habisnya. Beberapa tahun yang lalu saya juga pernah menulis tentang polemic yang sama dimilis kita ini. Bangsa ini sudah sejak lama mendaulatnya sebagai pejuang wanita Indonesia yang layak dijadikan pahlawan nasional. Dan sejak itu pula nilai kepahlawanan Kartini di pertanyakan oleh mereka yang kontra.

Tapi satu hal yang perlu di pahami, bahwa sejak awal Kartini tidak pernah berharap akan di daulat menjadi pahlawan. Sehingga kritik terhadap nilai kepahlawanan Kartini menjadi tidak relevan jika ditujukan kepadanya. Mungkin lebih pantas ditujukan pada para petinggi bangsa ini diawal kemerdekaan dan para penulis sejarah yang menempatkan Kartini sejajar dengan sederetan pahlawan nasional lainnya. Pahlawan nasional perempuan pertama yang diakui oleh sejarah. Menjadi ironis dan semoga saja penolakan terhadap kepahlawanan Kartini ini bukan justru karena dia seorang perempuan.

Pertanyaan yang penting adalah mengetahui motivasi utama waktu itu ketika menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional. Dan apakah relevan membandingkan motivasi ketika itu dengan kondisi sekarang ini? Mungkinkah karena pada waktu itu kita memerlukan figur seorang pahlawan perempuan untuk dijadikan contoh baik bagi generasi muda bangsa ini dan Kartini dinilai cocok untuk itu?. Atau mungkin karena ketika itu tak banyak tokoh pejuang wanita lain yang dinilai memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional, sehingga figur Kartini terlihat menonjol melebihi yang lain?

Lemudian, bisakah kita membanding-bandingkan kepahlawanan Kartini dengan para pahlawan lain, terutama kaum pria seperti Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Diponegoro atau bahkan Jenderal Sudirman sekalipun?. Mungkinkan seperti Kartini, kepahlawanan mereka juga tak luar biasa, bersifat lokal, sehingga juga terasa berlebihan untuk dijadikan pahlawan nasional?. Dan apakah motivasi setiap pahlawan bangsa itu sungguh-sungguh untuk kepentingan bangsa Indonesia yang ingin melepaskan negeri ini dari penjajahan Belanda? Atau hanya sebatas perlawanan kelompok lokal yang memperjuangkan hak-hak kelompok atau diri pribadinya yang terlanggar?.


Kalau sampai pada motivasi sesungguhnya, mungkin kita terpaksa harus mencoret nama sebagian mereka sebagai pahlawan nasional. Dan itu mengantar kita pada pertanyaan berikutnya: perlukan itu dilakukan? Atau cukuplah kita menerima perjalanan sejarah seperti yang telah telah diterima selama ini? Menghentikan polemik dan menerima mereka sebagai pahlawan bangsa apa adanya, agar tetap bisa dijadikan panutan bagi putera-puteri dan anak cucu kita kelak?. Agar mereka mengatahui bahwa kita adalah bangsa yang besar dan bangsa pejuang yang tak akan pernah membiarkan sejengkalpun tanah negeri ini dikuasai asing? Bahwa sejajar dengan bangsa-bangsa lain didunia, kita pun memiliki pahlawan kita sendiri yang telah mengorbankan jiwa raganya bagi tanah air dan bangsa tercinta ini? Untuk kemerdekaan bangsa ini?.
Masih perlukah kita membongkar kembali sejarah masa lalu dan memutar-balikan sejarah dari yang telah diterima selama ini? Membingungkan putera-puteri kita yang dalam pejaran sejarah disekolahnya telah diajarkan hal yang sama dengan yang diajarkan pada kita dulu?. Membingungkan anak cucu kita kelak ketika mengetahui bahwa di negeri ini para pahlawan nasional bisa dipecat atau di non-aktifkan karena tak lagi sesuai dengan standar kompetensi sekarang? Entahlah. Masih terlalu banyak tanda-tanya untuk bisa dengan mudah dipahami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar