Sabtu, 27 Juli 2013

PROPERTY


Sejak bulan juni lalu Bank Indonesia menaikan BI Rate (Suku Bunga) 75 bps (Juni 25 bps dan Juli 50 bps). Dasar pertimbangannya sebagai antisipasi kenaikan inflasi akibat naiknya harga BBM, tahun ajaran baru dan puasa/ lebaran. Alasan lainnya yang tak kalah penting, seperti yang dijelaskan oleh Gubernur BI, guna mengerem laju pertumbuhan kredit perumahan. Harga properti yang melambung tinggi belakangan ini menarik minat banyak orang untuk berspekulasi di sektor itu melalui kredit. Menurut catatan BI, kredit properti tidak saja untuk kepemilikan rumah pertama, tapi juga rumah-rumah berikutnya. Bahkan ada yang kredit sampai 9 properti per-orang. Laju pertumbuhan harga properti menimbulkan kesan kredit tersebut masuk akal dan menguntungkan. Ajukan kredit sekarang dengan uang muka ringan, dalam 2-3 tahun harga sudah lipat dua.

Tingginya permintaan mengakibatnya laju pertumbuhan harga nyaris tak terkendali. Beberapa waktu lalu saya menulis tentang harga rumah di perumahan Alam Sutera yang sudah mencapai 2-4 milyar per-unit. BI tentu saja khawatir terhadap kecenderungan ini. Maka suku bunga pinjaman harus dinaikan. Dilakukan bertahap sampai keseimbangan terjadi. Kenaikan suku bunga dalam 2 bulan terakhir ini diperkirakan masih akan berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Disamping itu bulan ini BI juga menaikan batas minimum uang muka untuk setiap kredit perumahan dan kenaikan secara progresif untuk uang muka kredit rumah-rumah kedua, ketiga, dst.

Kredit properti yang terlalu besar dan tak terkendali memang berbahaya bagi perekonomian nasional. Krisis keuangan yang terjadi di seluruh pelosok dunia seringkali disebabkan oleh gelembung (bubble) kredit properti. Harga properti yang sudah sangat mahal menyebabkan cicilan kredit perbulan menjadi sangat tinggi, bisa sampai 70% dari gaji seorang pekerja. Sedikit saja terjadi guncangan akan menyebabkan kredit tersebut mulai macet. Semakin banyak yang macet, giliran bank pemberi kredit yang akan kesulitan dan tak jarang malah ambruk. Apabila sektor perbankan ambruk, akibatnya akan menjalar kemana-mana dan menyulitkan perekonomian nasional. Masih ingat krisi ekonomi tahun 1998 dan krisis (subprime mortgage) di AS tahun 2008?

Mari bahas soal melambungnya harga properti. Harga properti pada dasarnya ditentukan permintaan dan pasokan. Jadi prinsip dasarnya sama seperti barang dan jasa lain. Faktor pendorong permintaan: kebutuhan, pertumbuhan penduduk, peningkatan daya beli, laju urbanisasi, aspek tata kota, dll. Di properti aspek spekulasinya yang kental.

Memang di semua investasi selalu mengandung aspek spekulasi tapi derajatnya berbeda-beda. Dalam hidup kita memang mustahil menghindar berspekulasi. Ke luar rumah saja kita berspekulasi akan bawa payung atau tidak. Memilih suami atau istri kita - juga adalah suatu bentuk spekulasi. Mungkin spekulasi paling serius. Memilih sekolah dan pekerjaan, juga suatu bentuk spekulasi. Mengapa? Karena kita mustahil tahu seluruh konsekuensi pilihan.

Hanya saja apakah laju permintaan properti belakangan ini memang sudah sesuai kebutuhan, ataukan faktor spekulasi lebih mengemuka? Pada kesempatan lain kita bahas.
II
Mengapa iklan properti selalu disertai ancaman: harga naik pada tgl xxxxx? Mereka hanya melakukan strategi menggertak (mungkin tepatnya 'perception of scarcity'). Harga tidak mungkin bergerak sepihak. Kalau suatu barang tidak laku pada harga Rp. 100 - maka lebih tidak laku lagi di Rp. 120. Logikanya, kalau memang beneran laku, untuk apa harga naik minggu atau bulan depan? Mengapa tidak hari ini atau jam ini? Yang dijadikan sasaran adalah para 'home flipper', yang bergerak cepat dari satu rumah ke rumah lain. 

Property adalah pasar yang kompleks dan heterogen. Para pelaku pasarnya suka meniupkan persepsi kelangkaan (perception of scarcity). Tapi kenaikan harga properti tetap saja harus masuk akal. Ada batasnya. Bila pertumbuhan ekonomi dan pendapatan naik kurang dari 10% per tahun, bagaimana rumah bisa naik 30%?

Jadi sangat jelas kenaikan property hanya bisa terjadi BUKAN dari kenaikan pendapatan - tetapi lewat leverage/utangan. Dan karena kenaikan harga didorong oleh penggunaan kredit - maka pasar properti selalu sensitif pada suku bunga.

Tapi boleh jadi meningkatnya kredit properti kemungkinan dari hasil korupsi. Dari kasus KPK, rata-rata koruptor mencuci uang mereka di sektor properti.

Ukuran standar untuk mengukur suatu properti harganya wajar atau tidak adalah via rasio sewa vs beli pada properti yang setara. Biasanya rasio sewa vs beli adalah tetap atau tidak berbeda jauh dalam jangka panjang. Begitu rasio ini menyimpang - ada harga yang salah. Logikanya, kalau harga properti sudah terlalu mahal, maka orang akan memilih menyewa. Bila harga sewa tidak naik - berarti pasokan berlebih.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa harga wajar suatu properti bisa juga dilihat dari nilai PBB-nya. Bisa saja, tapi kurang seragam. Di Slipi sini harga tanah sama dengan harga PBB; di tempat lain 2-6x harga PBB. Mengapa tanah Slipi bisa lebih murah? Karena banyak orang sepuh tinggal di sini. Sindrom "Empty Nest". Sesudah meninggal cenderung dijual. Saya selalu heran lihat harga tanah Serpong 5x lipat Slipi. Ada yang salah. Dugaan saya tanah di sana harganya 'digoreng'.

Bahwa banyak pasar property mengalami bubble lalu pecah berantakan - itu juga fakta. Harga juga punya 'gravitasi.' Akibatnya pasti gawat. Kalau bank terlalu banyak salurkan kredit property dan macet, membahayakan ekonomi. Kalau kredit properti macet - buku bank bisa rusak. Ketika properti tersebut mereka lepas ke pasar - harga properti nyungsep.

III

Sebagian krisis keuangan dunia berasal dari pecahnya bubble properti yang menyebabkan membengkaknya kredit macet perbankan. Banyak contoh. Bubble property yang pernah terjadi di Jepang 1980-90 menghancurkan perbankan Jepang, belum pulih bahkan 20 tahun kemudian. Bubble property yang terjadi di Amerika 2001-2008 saat pecah - efeknya sampai mendunia. Great Recession.

Ketika kredit properti sudah mulai banyak yang macet pembayaran bunganya, merupakan indikator bubble property yang berbahaya. Yang bisa melawan terjadinya bubble properti adalah Bank Sentral melalui regulasi pengetatan kredit dan instrumen suku bunga. Kita tidak mengetahui persisnya posisi Indonesia saat ini, apakah sudah sampai batas itu atau masih jauh. Harusnya BI yang tahu dan sepertinya BI mulai khawatir, maka rasio LTV (Loan to Value) dinaikkan. Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit. Pemberian LTV untuk rumah pertama maksimal 70%, rumah kedua sekitar 60%, dan sebesar 50% untuk rumah berikutnya. Selain itu, perbankan juga dilarang mengeluarkan pembiayaan tambahan selain untuk KPR.

Pada tahun 2003-2004 terjadi bubble di bisnis ruko dibeberapa kota besar Indonesia. Dan lihat apa yang terjadi: oversupply. Dampaknya masih terasa hingga sekarang. Coba lihat dibeberapa kompleks real estate seperti BSD atau Alam Sutera. Berapa banyak ruko-ruko yang tutup. Tapi ambisi membangun dan berinvestasi ruko tetap saja menggila. Mungkin tergiur karena harga ruko baru “digoreng” naik terus.

Menghitungkan kelayakan harga ruko dan kios sebenarnya sederhana: seberapa besar arus kas yang bisa dihasilkan vs biaya bunga kredit. Kalau arus kas vs biaya bunga kredit ternyata tekor - sudah pasti ruko atau kios tersebut overpriced. Tapi seringkali investor hanya melihat laju kenaikan harga ruko baru yang semakin mahal dan mengira investasinya sudah benar. Padahal mahal cuma diomongan.

Price/income ratio Jakarta 2x lebih tinggi dari ratio di New York, Berlin, bahkan Kuala Lumpur http://www.numbeo.com/property-investment/gmaps_rankings.jsp

Price to income Shanghai dan Beijing? 28 dan 30 kali. Edan. Tapi memang ada aspek budaya juga - property di Beijing dan Shanghai termahal di dunia - harga apartemen bisa setara pendapatan 20-27 tahun.

Terakhir, menjadikan properti sebagai investasi yang kemudian dianggurkan tidak baik untuk perekonomian nasional. Mubazir. Duit yang dibelikan properti lalu cuma dianggurin - adalah inefisiensi ekonomi. Dalam jangka panjang membuat ekonomi tak kompetitif. Jadi kalau ada kelebihan uang, investasikan di sektor riil. Atau kalau tak punya waktu, beli saham perusahaan yang terdaftar di pasar modal. Membantu mereka memperoleh tambahan modal untuk tumbuh.

Pembahasan ini mengajarkan kita tak ada jenis investasi apapun juga yang memberikan imbal hasil yang terlalu besar atau secara terus menerus. Seperti mendaki gunung, ketika kita mencapai puncak maka yang ada hanya jalan turun. Belum lama ini mereka yang berspekulasi emas sudah merasakannya. Rumus itu berlaku untuk semua jenis investasi. Untuk mengurangi resiko investasi, pilihlah sektor yang sedang tumbuh dan memberikan imbal hasil yang masuk akal.
BI waspadai kredit properti: http://nasional.sindonews.com/read/2013/07/18/16/762434/bi-waspadai-kredit-properti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar