Kamis, 24 Januari 2013

SWASEMBADA


Apa perlu swasembada daging sapi? Sampai membatasi impor segala? Kalau pasokan dalam negeri kurang, ya impor aja lah. Ide swasembada, tapi akibatnya mendistorsi pasar, jelas akan merugikan konsumen. Karena mengejar taget swasembada sapi pada 2014, pemerintah membatasi impor daging sapi. Akibatnya? Daging langka. Harga naik. 

Pertanyaannya: Memang perlu swasembada daging sapi? Dulu juga ada yang teriak perlunya swasembada kedelai. Apa perlu? Ide swasembada, dalam hal apapun, merupakan warisan "nasionalisme" era Orde Baru yang salah kaprah. Sekarang kita masuk di dunia global yang saling terkait satu dengan yang lain. Ide swasembada itu ide yang sudah ketinggalan zaman. Jadul!

Saya sih bukan pecinta daging sapi. Masih bisa hidup tanpa makan daging sapi. Tapi saya tak setuju dengan ide swasembada. Menurut saya, ide ini sudah "old-fashioned". Perdagangan yang dihambat-hambat, entah dengan alasan swasembada atau yang lain -- hanya akan merugikan kita sendiri.

Singapura dan Hongkong adalah contoh bagus. Keduanya jadi kaya raya karena perdagangan terbuka, bukan karena swasembada. Contoh swasembada segalanya adalah Korea Utara, miskin dan kelaparan. Tak perlu mempertentangkan antara perdagangan terbuka dan usaha memperkuat industri atau pengusaha domestik. Dua-duanya bisa jalan berdampingan ….. meneruskan protes ibu-ibu di rumah, katanya daging sapi langka dan mahal.
---
Tadi pagi antar Maminya Nabila belanja kepasar, daging sapinya kosong lagi. Siapa sih yang bikin daging sapi hilang di pasaran? Buat apa bercita-cita swasembada kalau barangnya tidak ada atau harganya selangit? Rasanya hampir tidak ada ide ekonomi yang lebih dungu daripada swasembada. Coba kita bayangkan andai Saudi Arabia berusaha untuk swasembada buah pisang. Masuk akal atau tidak? Tentu saja tidak. Arab Saudi bisa swasembada pisang dengan dua cara: impor tanah, air dan rumah kaca buat bertanam pisang. Ongkosnya akan mahal. Kalau tidak mau mahal berarti proyek pisang Arab Saudi harus disubsidi. Ini berarti akan ada sumber daya lain yg harus dikorbankan. 

Untuk setiap sumber daya lain yang dikorbankan - berarti terjadi inefisiensi pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya tersebut. Kalau minyak digunakan untuk mensubsidi pisang, maka ongkos produksi dan pemeliharaan minyak Arab Saudi akan jadi lebih mahal. Cara lain? Tanpa subsidi. Tapi jelas pisang Arab Saudi akan jadi sangat-sangat mahal. Lha kan memang tidak cocok buat nanam pisang? Jadi, prinsip swasembada itu berorientasi pada "keberadaan sesuatu" - tanpa peduli harga dan proses. Itu yang saya sebut bodoh dan inefisien. Pencukupan kebutuhan bukan dengan asal memproduksi secara membabi buta. Yang lebih efisien lewat spesialisasi dan perdagangan.

Di Australia, ada padang garam merentang sampai sejauh mata memandang. Dulunya laut yang kemudian dikeringkan oleh alam. Karena sudah dikeringkan oleh alam lewat proses jutaan tahun, tentu garamnya lebih bagus daripada yang dikeringkan cuma seminggu. Dan karena yang mengering itu laut/ danau asin, maka volume-nya sangat besar. Tinggal dikeduk saja dan dikirimkan. Jelas lebih murah. Karena tinggal dicangkul dan dikirim maka garam Australia bisa jauh lebih murah. Cuma 1/3 harga garam lokal dari air laut yang dikeringkan. Dan garam Australia tingkat kekeringannya tinggi sekali. Disimpan 3 bulan bentuknya tetap garam. Garam lokal? 3 bulan jadi batu. Jadi begitu Indonesia mau swasembada garam - harga akan jadi mahal padahal dapat kualitas lebih jelek. Hebat ya?

Kalau ngotot swasembada beras, maka jangan heran kalau tanah dan pupuk untuk jagung, kedelai, kentang, dll, jadi tidak cukup. Thailand dan Vietnam mengapa bisa memproduksi beras sedemikian banyak? Karena mereka punya sungai raksasa: Chao Phraya dan Mekong. Padi merupakan salah satu tanaman yang paling boros air. Untuk mengairi satu hektar sawah dibutuhkan 0,25 - 2,5 juta liter air. Jadi jelas, begitu kita ngotot swasembada beras, maka air dan tanah yang semula bisa cukup untuk jagung, kedelai, dll - akan kekurangan. Maka jelaslah betapa konyolnya kalau kita mau swasembada beras sekaligus swasembada jagung, kedelai, kentang, dll.

Disamping itu swasembada beras merupakan pilihan yang kurang tepat. Lebih bagus diferensiasi pangan sesuai karakter daerah masing-masing. Jadi, kalau ada menteri yang ngotot mau swasembada daging sapi di masa jabatannya, jelas dia kurang kerjaan. Terpikirkankah oleh pak menteri, untuk setiap daging sapi yang mahal atau menghilang, ada bisnis rujak cingur yang sengsara. Mau diganti cingur ayam? Baso ayam? Gajeboh ayam? …hiks. Di negeri ini yang mungkin kita bisa sukses adalah swasembada kebodohan, maaf, saya lagi tersulut kekesalannya membahas kebodohan di balik jargon swasembada. Alasannya karena saya sudah bosan makan ayam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar