Senin, 21 Januari 2013

KURBAN

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/0/05/Flag_of_Brazil.svg/22px-Flag_of_Brazil.svg.png

By Luthfi Assyaukanie 
Idul Adha adalah hari raya terbesar kedua bagi umat Muslim setelah Idul Fitri. Kendati tak dirayakan sesemarak Idul Fitri, Idul Adha memiliki keunikan tersendiri, khususnya karena pada hari inilah kaum Muslim mengadakan ritual pemotongan hewan kurban. 

Jika inti dari Idul Fitri adalah mu’afah atau saling memaafkan yang biasanya dilambangkan dengan jabat tangan atau tukar kunjungan, inti dari Idul Adha adalah udhiyah atau pengurbanan yang biasanya disimbolisasikan dengan menyembelih hewan ternak seperti sapi, kerbau, atau kambing.

Ada dua aspek dari aktivitas pengurbanan yang dilakukan kaum Muslim setiap Idul Adha, yakni pendekatan diri kepada Allah melalui hewan yang dikurbankan (qurban dalam bahasa Arab berarti “dekat”), dan pendistribusian daging kurban kepada sesama Muslim, umumnya fakir-miskin.

Kaum beragama selalu dihadapkan pada sebuah dilema ketika memahami pesan-pesan keagamaan, apakah mereka harus menjalankannya secara literal ataukah menangkap maksud hakiki dari pesan-pesan itu. Dalam kasus Idul Adha, dilema itu terletak pada mekanisme udhiyah, apakah ia harus dilakukan secara apa adanya, yakni dengan menyembelih hewan ternak, ataukah ia bisa diganti dengan sesuatu yang lain, seperti uang, misalnya.

Warisan Kuno. Pengurbanan dalam bentuk penyembelihan hewan untuk kemudian dipersembahkan kepada kekuatan gaib (tuhan, dewa, jin, setan, dll) adalah ritual tua yang sudah ada jauh sebelum Islam datang. Agama-agama kuno di Mesir, India, Yunani, dan Meksiko biasa melakukan ritual kurban untuk dipersembahkan kepada Tuhan atau Dewa yang mereka sembah.

Dalam masyarakat kuno, upacara pengurbanan tak hanya dengan mempersembahkan hewan kepada kekuatan gaib, tapi juga manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. Peradaban Maya di Meksiko biasa menyelenggarakan upacara kurban dengan menceburkan anak perawan ke sungai atau ke sumur tua. Di India, penyembelihan anak-anak (sebelum kemudian diganti dengan hewan) untuk dipersembahkan kepada kekuatan gaib adalah sesuatu yang lumrah.

Bagi peradaban kuno, inti dari kurban bukanlah pendistribusian obyek kurban kepada orang ramai, karena biasanya, obyek kurban itu justru dimusnahkan, dengan dibakar atau dihanyutkan ke sungai. Tujuan kurban, sepenuhnya bersifat “metafisis,” karena ia seluruhnya “diberikan” kepada kekuatan gaib.

Ketika Islam datang, ritual pengurbanan tetap dilestarikan, tapi dengan sedikit modifikasi. Upacara kurban yang dilakukan secara berbeda-beda, diseragamkan dengan menyembelih (bukan membakar atau menyiksa) hewan ternak (bukan perawan atau anak kecil).

Tujuannya pun diperluas, bukan lagi untuk “menyenangkan” kekuatan gaib, tapi untuk kemaslahatan manusia. Bahkan porsi terbanyak dari obyek kurban adalah buat manusia sendiri, karena seluruh daging kurban itu dimanfaatkan buat kebutuhan manusia, tidak ada yang dibuang atau dihanyutkan.

Apa yang dilakukan Islam saat itu dengan mengubah orientasi pengurbanan dari “metafisis” menjadi kegiatan bersifat “sosial” merupakan langkah besar. Islam tak hanya mengurangi (jika tak menghilangkan sama sekali) unsur-unsur mitis dalam pengurbanan, tapi juga memberdayakan ritual keagamaan menjadi kegiatan sosial yang positif.

Pengelolaan Kurban. Kurban bukanlah satu-satunya tradisi kuno yang ketika diadopsi ke dalam Islam mengalami beberapa modifikasi. Tradisi-tradisi kuno lainnya, seperti salat, puasa, dan haji, ketika sampai ke dalam budaya Islam juga mengalami perubahan. Haji, misalnya, pada masa pra-Islam, ritual ini dilakukan dengan telanjang. Tapi, Islam melakukan modifikasi, yakni dengan mewajibkan jamaah haji memakai ihram, selembar kain putih untuk menutupi aurat mereka.

Dalam kasus kurban, yang diubah Islam adalah orientasi magis dan mistis dalam upacara pengurbanan. Islam tetap menjaga tradisi penyembelihan, tapi memberikannya makna baru yang punya dampak sosial yang luas, yakni berupa distribusi makanan hasil kurban.

Pada tahun 1980-an, soal pelaksanaan pemotongan hewan pada Idul Adha pernah menjadi isu kontroversial. Kaum Muslim berbeda pendapat apakah pemotongan hewan kurban itu bisa diwakilkan oleh lembaga tertentu, dan apakah mungkin mengganti hewan kurban itu dengan uang atau makanan yang didermakan.

Di Mekah, Arab Saudi, sebelum adanya lembaga khusus yang mengelola pemotongan hewan kurban, kegiatan pemotongan pada setiap musim haji selalu bermasalah, terutama karena begitu banyaknya orang yang ingin berkurban dan begitu terbatasnya hewan yang tersedia. Kalaupun hewan-hewan itu bisa disediakan, maka pemanfaatannya menjadi masalah tersendiri.

Saya masing ingat ketika pergi haji pertama kali pada pertengahan tahun 1980-an dan sempat berkunjung ke sebuah tempat pemotongan di Mina. Sungguh miris menyaksikan tumpukan bangkai hewan kurban yang menggunung. Bangkai-bangkai itu berada di sana untuk beberapa hari, sebelum pegawai kebersihan mengeruk dan membuangnya.

Di beberapa negara maju seperti Amerika dan Australia, kaum Muslim juga sudah melakukan modifikasi ritual pemotongan kurban, tidak lagi dilakukan secara sendiri-sendiri, tapi dikelola oleh badan tertentu yang telah mendapatkan izin. Di negara-negara ini, orang tidak bisa sembarangan memotong hewan. Soal kebersihan dan perlakukan terhadap hewan menjadi isu yang sangat penting.

Langkah yang diambil oleh pemerintah Arab Saudi dan juga negara-negara maju itu, saya kira patut ditiru oleh kaum Muslim di Indonesia, yang setiap tahun melakukan ritual penyembelihan. Pada hemat saya, bukan saatnya lagi melakukan penyembelihan hewan di tempat-tempat umum seperti selama ini kita lakukan. Ada beberapa alasan mengapa praktik itu harus dihentikan:

Pertama, pemotongan hewan kurban yang dilakukan secara individual selama ini terkesan kotor dan jorok. Hal ini karena seluruh proses, dari pemotongan, pembersihan isi perut dan kotoran hewan, penyucian, hingga pendistribusian, umumnya dilakukan di tempat. Dengan standar kebersihan yang minim, tempat pemotongan hewan kurban bisa menjadi sumber penyakit.

Kedua, dengan semakin sulitnya lahan, penyelenggaraan pemotongan hewan kurban menjadi serba darurat. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian pemotongan kurban dilakukan di halaman-halaman rumah, gang-gang sempit, dan di pinggir-pinggir jalan umum yang mengganggu lalu-lintas.

Ketiga, proses pemotongan hewan yang dilakukan secara terbuka dan bisa disaksikan oleh semua orang -termasuk anak-anak- tampaknya sudah tak layak lagi dilakukan. Bagaimanapun, ritual pemotongan hewan adalah pentas horor dan sadisme yang pasti memiliki efek psikologis tertentu bagi yang melihatnya, khususnya anak-anak.

Jika kaum Muslim belum bisa menerima ijtihad tentang penggantian hewan kurban, setidaknya mereka bisa menerima pengelolaan kurban yang lebih rapi dan beradab. Ritual pemotongan sudah semestinya dilakukan di rumah-rumah pemotongan atau di tempat-tempat khusus yang terjamin kepatutannya.

Perlu Dicoba. Orang yang masih menganggap pengurbanan sebagai ritus persembahan hewan kepada kekuatan gaib mungkin akan kecewa dengan usulan penggantian obyek kurban. Karena bagi mereka -seperti bagi orang-orang Mesir dan Yunani kuno- mengarak hewan ke altar kematian, menyaksikan darah yang muncrat, dan melantunkan bacaan-bacaan tertentu, adalah peristiwa suci yang tak tergantikan.

Namun sikap semacam itu sesungguhnya lebih dekat kepada tradisi persembahan pra-Islam ketimbang semangat dasar yang dikembangkan Islam sendiri. Semangat yang dikembangkan Islam adalah menggeser dominasi magis dan mistis dalam ritual kurban menjadi upacara yang bermakna dan punya dampak sosial yang positif. Dan salah satu cara yang lazim pada masa awal-awal Islam adalah memotong hewan ternak dan membagikan dagingnya kepada kaum Muslim.

Pada zaman dulu, 14 abad silam, hewan ternak merupakan harta-milik yang paling berharga bagi seseorang untuk dikurbankan. Mungkin ia sama berharganya dengan mobil, rumah, atau deposito di bank, pada zaman modern ini. Selain itu, hewan ternak adalah properti yang dagingnya bisa dimanfaatkan secara segera oleh orang banyak.

Pengurbanan harta-benda (yang tak hanya terbatas pada hewan ternak) adalah makna hakiki dan tujuan dasar dari udhiyah yang dikembangkan Islam. Yang ditekankan di sini bukanlah pemotongan hewannya benar, tapi pembagian daging kurban kepada orang banyak. Dengan kata lain, udhiyah menjadi sarana untuk berbagi di antara sesama Muslim.

Jika tujuan dasar dari Idul Adha adalah distribusi kekayaan, mungkin sudah saatnya kita memikirkan sebuah lembaga yang khusus mengelola uang udhiyah. Jika ini bisa berjalan, distribusi kesejahteraan mestinya bisa diperluas, tidak hanya pada hari raya itu saja dan tak hanya untuk kepentingan perut saja, tapi juga pada hari-hari lain, dan untuk kepentingan lain yang lebih luas seperti pendidikan dan pengobatan.

Usulan semacam ini semestinya tidak disikapi secara sinis, karena ia bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Seperti saya katakan di atas, kaum Muslim di Mekah dan di beberapa negara maju, sudah melakukan pengelolaan uang udhiyah –kendati masih dalam alokasi yang terbatas. Tak ada salahnya, kaum Muslim di Indonesia juga mulai mencobanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar