Kamis, 24 Januari 2013

SOLUSI DAMAI PALESTINA - ISRAEL


Mari kita bahas tentang latar belakang peperangan itu sendiri dan solusi damainya.

Sejak dimulai lebih setengah abad yang lalu, perang antara Palestina dengan Israel tak kunjung selesai. Seperti api, pertikaian kedua bangsa ini tak pernah padam. Hanya meredup sesaat untuk kemudian menyala dan berkobar kembali. Banyak sudah pembahasan mengenai permusuhan kedua bangsa ini.

Oleh sebab itu, agar tak ketinggalan, mari kita ikutan membahasnya…. hehehe.

Sebagai permulaan, Ada tiga orang intelektual Yahudi di Amerika yang menarik untuk diketahui pendapatnya: Noam Chomsky, Alan Dershowitz dan Peter Beinart.

Baik Noam Chomsky dan Alan Dershowitz adalah intelektual publik yang terpandang di AS. Keduanya Yahudi. Baik Chomsky dan Dershowitz adalah agnostik.

Noam Chomsky mengajar di MIT, Alan Dershowitz di Harvard. Keduanya universitas besar di kota Boston, AS. Tetapi Chomsky dan Dershowitz punya sikap yang berbeda terhadap konflik Palestina-Israel.

Chomsky adalah pengkritik keras Israel dan pembela Palestina, Dershowitz adalah pembela Israel. Debat antara Chomsky dan Dershowitz soal Israel yang berlangsung di Kennedy School-Harvard University, bisa ditonton di Youtube.

Noam Chomsky sangat kritis pada Israel. Bahkan oleh kalangan zionis dia sudah dianggap "Israel hater". Sementara Alan Dershowitz adalah pembela Israel. Bukunya yang laris-manis di AS: A Case for Israel. Sebagai perbandingan, perlu dibaca.

Tempat Peter Beinart kira-kira ada di tengah. Dia bukan pembela atau pembenci Israel. Dia seorang Yahudi zionis, pengarang buku "The Crisis of Zionism".

Peter Beinart adalah sarjana ilmu politik yang mengajar di CUNY (City University of New York). Seorang Yahudi yang kritis pada Israel.

Kata Peter Beinart dalam "The Crisis of Zionism": Tak tepat lagi orang-orang Yahudi mengulang-ulang terus wacana sebagai korban (the discourse of victimhood) sekarang.

Kata Peter Beinart: Dulu memang bangsa Yahudi lemah, korban. Sekarang beda total: mereka sudah kuat. Sebaliknya dengan rakyat Palestina.

Peter Beinart menulis artikel panjang di The New York Review of Books, mengkritik lembaga-lembaga zionis di AS (The Failure of the American Jewish Establishment by Peter Beinart | The New York Review of Books http://www.nybooks.com/articles/archives/2010/jun/10/failure-american-jewish-establishment/?pagination=false …)

Yang menarik adalah melihat tawaran solusi ketiga intelektual Yahudi itu: Chomsky, Dershowitz dan Beinart.

Solusi Chomsky: satu negara dengan dua bangsa, Yahudi dan Arab-Palestina. Mirip dengan Yugoslavia dulu. Sementara Dershowitz dan Beinart punya solusi lain: Dua negara secara terpisah, satu untuk Yahudi, satu untuk Palestina. Perbedaan "halus" antara Dershowitz dan Beinart adalah satu: simpati Beinart pada bangsa Palestina lebih kelihatan.

---
Lalu ada lagi Edward Said, intelektual besar Palestina. Apa pendapatnya tentang solusi Palestina? Edward Said dan Chomsky punya gagasan sama: Solusi bagi konflik Palestina adalah: satu negara dengan dua bangsa di dalamnya. Tapi perlu dicatat: Yang dimaksud "satu negara" oleh Edward Said adalah negara sekuler, bukan negara Islam ala Hamas. 

Bagaimana sikap umum intelektual Israel tentang solusi Palestina? Saya kira sebagian besar setuju dengan solusi "dua-negara". Hanya Yahudi Ortodoks yang ekstrim yang masih bermimpi tentang satu negara Israel, dan menafikan hak bangsa Palestina atas negara terpisah.

Menarik juga menyinggung pandangan intelektual Yahudi lain: Amos Oz, seorang sastrawan Israel terkenal. Amos Oz punya metafor yang terkenal tentang dua jenis perdamaian. Perdamaian ala drama-drama Shakespeare dan ala Anton Chekov.

Perdamaian ala drama-drama Shakespeare: Keadilan ditegakkan, tapi di akhir cerita, semua tokohnya mati tergeletak. Apa gunanya? Sementara dalam drama-drama Chekov: Keadilan mungkin tak sempurna ditegakkan, tapi tokoh-tokohnya tetap hidup semua di akhir cerita. Bagi Amos Oz, perdamaian yang tepat antara Palestina-Israel adalah model Chekov: tak sempurna, tapi 'win-win'.

Umat Islam di sini perlu pahami nuansa perbedaan pendapat di kalangan intelektual Yahudi ini. Supaya tidak menganggap Israel itu monolitik.

Yang menarik, Hamas juga tak sekaku yang dibayangkan banyak kalangan di Barat. Hamas juga bisa pragmatis. Petinggi Hamas baru-baru ini menyatakan sudah bisa menerima solusi-dua negara: Negara Palestina dan Yahudi.

Bahwa Hamas sudah bisa menerima solusi dua negara, itu suatu kemajuan yang baik. Bahwa Hamas bisa menerima solusi dua negara, seperti yang dianut kebanyakan kalangan di Israel, adalah pertanda sikap pragmatis.

Jika solusinya adalah dua negara (partisi), lalu mana batas-batasnya? Batasnya adalah: wilayah Palestina mencakup Tepi Barat dan Jalur Gaza. Wilayah Israel adalah sisanya di luar Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Tentu saja, sejak dulu, pihak Palestina, juga negara-negara Arab pada umumnya, tak suka dengan solusi dua-negara ini. Sejak Israel berdiri 1948, semua negara Arab tak ingin ada negara Yahudi di tanah Arab. Karena itu, solusi dua-negara ditolak sejak awal.

Sikap Yasser Arafat, sebagai tokoh PLO, juga sama sejak awal: menolak solusi dua-negara. Hingga wafatnya, Yasser Arafat tak pernah bisa menerima solusi dua-negara. Sikapnya ini disayangkan oleh banyak pihak, termasuk negara Arab.

Meski demikian, sikap Yasser Arafat sedikit melunak pada 1990an. Arafat mau berunding di meja perundingan dengan Israel.

Muncullah Perjanjian Oslo pada 1993. Perjanjian sebetulnya gagal, tapi menandai fase penting. Perjanjian Oslo adalah penting karena itulah untuk pertama kalinya pihak Palestina via PLO berunding langsung dengan Israel. Dalam Perjanjian Oslo itulah, untuk pertama kali dibicarakan langkah-langkah untuk berdirinya Negara Palestina terpisah.

Sebagai catatan: Edward Said mengkritik keras Perjanjian Oslo. Dia tak setuju sama sekali dengan perjanjian ini.

Perundingan kedua yang penting adalah Camp David pada 2000: Ehud Barak berunding dengan Arafat. Pada saat itu, Ehud Barak menawarkan negara Palestina merdeka, asal Palestina mengakui Israel. Dia tawarkan negara Palestina dengan wilayah: Tepi Barat, Jalur Gaza plus Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Arafat menolak lagi. Arafat menolak sama sekali tawaran Ehud Barak yang dalam standar Israel, paling murah hati ("generous").

Kekakuan sikap Arafat diteruskan oleh Hamas yang juga menolak mengakui negara Israel. Tapi, seperti saya katakan tadi, Hamas mulai melunak. Jika Hamas tolak akui negara Israel, maka alternatifnya adalah: perang dengan Israel terus. Hamas tampaknya mulai melihat hal itu tak mungkin.

Jika alternatifnya perang, baik Israel dan Hamas sama sekali tak diuntungkan, seperti dikatakan oleh Peter Beinart. Dari sudut Hamas: jika perang, Hamas tak akan pernah bisa menang perang lawan Israel. Dari sudut Israel: jika perang terus, dia akan kian tersudut di mata dunia dan kian dimusuhi oleh negara-negara Arab sekitar. Sekarang ini pun, opini dunia jelas berpihak kepada Palestina. Israel, secara moral-politik, tersudut. Karena itu, menurut Peter Beinart, solusi perang hanya menjawab kebutuhan jangka pendek. Kepentingan Israel atau Hamas justru dirugikan.

Sikap Presiden Morsi dari Mesir. Dia adalah presiden dari faksi Ikhwan yang tentu mendukung Hamas. Diplomasi Presiden Morsi menarik. Dia lah yang jadi "makcomblang" dalam gencatan senjata terakhir antara Hamas dan Israel. Dengan kata lain, sikap Presiden Morsi cenderung pragmatis-realistis. Dia tak mau konfrontasi juga dengan Israel, tapi tetap dukung Hamas. Dengan pragmatisme Presiden Morsi ini, semoga saja Hamas juga terus berubah ke depan, makin realistis. Tanda-tanda ke sana sudah ada.

Halangan terbesar saat ini untuk perdamaian Timteng adalah dua: pemukiman Yahudi di Tepi Barat dll, serta blokade atas Gaza.

Masa depan perdamaian Timteng sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan penting di negeri-negeri tetangga Israel. Tidak seperti dikhawatirkan oleh banyak kalangan di AS dan Barat, saya berpendapat: makin demokratis tetangga-tetangga Israel, makin baik. Mesir yang demokratis sekarang, tak seperti disangka pihak Barat, tak bersikap memusuhi Israel.

Kita masih menunggu keadaan di Syria. Memang tak semulus Mesir. Tapi rezim Assad cepat atau lambat akan jatuh. Jika Mesir dan Syria berubah pelan-pelan menjadi negara demokratis, itu langkah penting menuju perdamaian Timteng.

---
Lalu bagaimana dengan sikap sebagian umat Islam di Indonesia?. 

Seperti banyak orang Yahudi di AS yang lebih Yahudi daripada orang Yahudi di Israel sendiri, begitu juga dengan umat Islam di Indonesia. Ada banyak kalangan umat Islam di sini yang lebih Palestina daripada orang Palestina sendiri.

Beberapa kalangan Islam di sini berpandangan: Tak ada hak bagi Yahudi untuk punya negara di Palestina. Pandangan seperti itu sama dengan pandangan kalangan Yahudi Ortodoks ekstrim di Israel: tak ada ruang untuk negara Palestina.

Sikap "menang-menangan" semacam itu sudah banyak ditinggalkan di Israel dan Palestina sendiri. Bangsa Yahudi dan Palestina yang mengalami sendiri konflik di sana lebih bersikap pragmatis: mau damai.

Jalan ke depan di Timteng adalah jalan perdamaian dan diplomasi. Bukan jalan perang. Sudah terbukti, perang tak bawa ke mana-mana.

Ada tiga perang besar antara bangsa Arab vs Israel: Perang 1948, 1967 dan 1973. Ketiga-tiganya dimenangkan Israel. Setiap kali kalah perang, wilayah negara-wilayah Arab dicaplok oleh Israel: Sinai, Golan, Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Dulu ada 3 negara Arab utama yang berperang dengan Israel: Mesir, Syria, dan Yordania. Sekarang, tak ada lagi insentif perang bagi negara-negara itu. Dulu Mesir semangat perang, karena wilayahnya dicaplok Israel usai Perang Enam Hari 1967: Semenanjung Sinai.

Begitu juga Syria, bersemangat perang dengan Israel karena wilayahnya dicaplok oleh Israel: Dataran Tinggi Golan. Yordania juga sama: Wilayah Tepi Barat dicaplok oleh Israel, sehingga ingin merebut kembali.

Sebagian besar wilayah utama itu telah dikembalikan oleh Israel ke negeri-negeri pemiliknya, sesuai dengan resolusi PBB 242, Dataran tinggi Golan belum dikembalikan Israel ke Syria. Perundingan masih berlangsung, terhambat oleh situasi di Syria belakangan ini. Insentif untuk perang berkurang.

Sekarang, perang yang tersisa hanyalah antara Hamas dan Israel. Dari perang Arab vs Israel berkurang menjadi Hamas vs Israel. Artinya, cakupan perang mulai berkurang. Ini perkembangan positif yang harus disyukuri.

Apa kesimpulannya? Saya masih optimis akan tercapai perdamaian di Timteng. Mungkin saya agak 'wishful thinking'. Apa jalan perdamaian itu? Yaitu Israel mengakui Palestina sebagai negara berdaulat dan sebaliknya.

Solusi dua-negara pelan-pelan mulai banyak diterima oleh kalangan negeri-negeri Arab. Ini langkah maju dari keadaan tahun 1967. Hampir semua sekutu Israel pragmatis: mendorong perundingan menuju solusi dua-negara.

Pasca Perang 1967 sampai tahun 70an, ada sikap yang terkenal di negeri-negeri Arab yang dikenal dengan "Tiga Tidak". Yaitu: Tak mau damai, tak mau negosiasi, tak mau mengakui Israel. Dua Tidak pertama sudah ditinggalkan. Tinggal yang terakhir. Tanda-tanda ditinggalkannya Tidak yang terakhir (tidak mau mengkaui Israel) juga sudah mulai kelihatan, meski lamat-lamat. Maklum disemua tempat, termasuk di Indonesia sekalipun, terdapat kelompok ortodok dan fanatis yang hanya punya satu jalan keluar yaitu perang dan musnahkan pihak lawan. � Y t w � � ara Palestina dengan wilayah: Tepi Barat, Jalur Gaza plus Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Arafat menolak lagi. Arafat menolak sama sekali tawaran Ehud Barak yang dalam standar Israel, paling murah hati ("generous").



Kekakuan sikap Arafat diteruskan oleh Hamas yang juga menolak mengakui negara Israel. Tapi, seperti saya katakan tadi, Hamas mulai melunak. Jika Hamas tolak akui negara Israel, maka alternatifnya adalah: perang dengan Israel terus. Hamas tampaknya mulai melihat hal itu tak mungkin.

Jika alternatifnya perang, baik Israel dan Hamas sama sekali tak diuntungkan, seperti dikatakan oleh Peter Beinart. Dari sudut Hamas: jika perang, Hamas tak akan pernah bisa menang perang lawan Israel. Dari sudut Israel: jika perang terus, dia akan kian tersudut di mata dunia dan kian dimusuhi oleh negara-negara Arab sekitar. Sekarang ini pun, opini dunia jelas berpihak kepada Palestina. Israel, secara moral-politik, tersudut. Karena itu, menurut Peter Beinart, solusi perang hanya menjawab kebutuhan jangka pendek. Kepentingan Israel atau Hamas justru dirugikan.

Sikap Presiden Morsi dari Mesir. Dia adalah presiden dari faksi Ikhwan yang tentu mendukung Hamas. Diplomasi Presiden Morsi menarik. Dia lah yang jadi "makcomblang" dalam gencatan senjata terakhir antara Hamas dan Israel. Dengan kata lain, sikap Presiden Morsi cenderung pragmatis-realistis. Dia tak mau konfrontasi juga dengan Israel, tapi tetap dukung Hamas. Dengan pragmatisme Presiden Morsi ini, semoga saja Hamas juga terus berubah ke depan, makin realistis. Tanda-tanda ke sana sudah ada.

Halangan terbesar saat ini untuk perdamaian Timteng adalah dua: pemukiman Yahudi di Tepi Barat dll, serta blokade atas Gaza.

Masa depan perdamaian Timteng sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan penting di negeri-negeri tetangga Israel. Tidak seperti dikhawatirkan oleh banyak kalangan di AS dan Barat, saya berpendapat: makin demokratis tetangga-tetangga Israel, makin baik. Mesir yang demokratis sekarang, tak seperti disangka pihak Barat, tak bersikap memusuhi Israel.

Kita masih menunggu keadaan di Syria. Memang tak semulus Mesir. Tapi rezim Assad cepat atau lambat akan jatuh. Jika Mesir dan Syria berubah pelan-pelan menjadi negara demokratis, itu langkah penting menuju perdamaian Timteng.

1 komentar:

  1. Kami setuju dengansolusi dua negara dengan catatan: Palestina sebagai negara sukulir tanpa militer (seperti Swiss) sekemakmuran dengan Israel. Sementara penduduk Israel yang tinggal di tepi Barat secara otomatis menjadi warga negara Palestina atau kembali kewilayah Israel. Dengan demikian keamanan dua negara terjamin dan Palestina bisa menjadi negera yang makmur.

    BalasHapus