Senin, 21 Januari 2013

BUMD


Terkait RUU Desa, ada wacana membentuk Badan Usaha Milik Desa. Katanya sih beda dengan koperasi dan bisnis privat desa.

Potensi masalah BUMDesa: Siapa pelaku bisnisnya? Mereka yang memang ingin berbisnis atau punya bakat bisnis tentu sudah berbisnis sedari dulu. Yang tersisa hanya yang tidak mampu.

Semua bisnis adalah tindakan mengambil risiko. Pengambil risiko terbesar tentu ingin hasil terbesar: itu disebut entrepreneurship. Apakah entrepreneurship bisa di institusionalkan? Bisa tapi kebanyakan gagal, karena persepsi risiko berbeda-beda dalam kelompok.

Bagaimana dengan BUMN? Mayoritas beroperasi via monopoli yang dilindungi pemerintah. Hanya dengan cara itu risiko bisa turun. Karena monopoli dipelihara lewat undersupply, maka akan muncul ongkos ekstra bagi masyarakat (baca: konsumen): Inefisiensi.

Maka dalam meninjau BUMDesa - perlu ditanya: siapkah berkompetisi? melawan sektor privat desa? melawan BUMD? BUMN? Bila BUMDesa ternyata ujungnya minta proteksi dan hak monopoli. Maka yang nanti tercipta hanya cronysme. Persekongkolan. Untuk setiap bisnis yang dipegang BUMNDesa perlu ditanya: siapa konsumennya? Mereka akan jadi korban proteksi dan monopoli.

Tantangan BUMDesa: Laju pertumbuhan urbanisasi Indonesia mencapai 1,7% per tahun, dan saat ini 45% orang Indonesia tinggal di kota. Dengan laju urbanisasi sepesat itu, perlu ditanya: Siapa yg pergi ke kota? Yang paling berpotensi atau yang paling tertinggal? Bila yang merantau ke kota mereka yang paling berpotensi - lantas siapa yang tersisa di desa? Kapasitasnya bagaimana?

Di kampung saya di pinggiran danau singkarak Sumatera Barat, orang disewa untuk tinggal di rumah gadang milik keluarga. Agar ada yang menjaga. Seringkali dibujuk dengan bonus boleh menggarap sawah milik keluarga. Di pedesaan Tapanuli, bahkan koor gereja saja posisi suara bass harus diisi perempuan atau manula, karena para pemudanya merantau. Pedesaan kita berangsur redup perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar