Kamis, 24 Januari 2013

DILEMA PENDIDIKAN


Tas sekolah anak saya sejak SD dulu beratnya minta ampun. Anak-anak ini maunya diapain sih? Dijejalin info sebanyak-banyaknya gitu? Tapi, anak saya, sih 'fun-fun' saja, walau harus "memikul" tas sekolah seberat ini. Kayaknya dia menikmati, anya kasihan kasian tulang punggung nya kali ya?

Tapi sadarkah kita bahwa mereka mungkin saja korban kurikulum dan mafia buku. Coba kita hitung. Jumlah pelajar SD-SMP di Indonesia mencapai 50 juta orang. Ini bisnis ukuran raksasa. Tinggal dikali jumlah buku dan mata pelajaran. Asumsikan: 1 buku pelajaran Rp. 60 ribu dikali 50 juta murid (bila dianggap buku pelajaran wajib). Setara Rp 3 Trilyun! Itu baru dari 1 pelajaran kurikulum wajib. Belum dari kurikulum tambahan atau muatan daerah. Ini bisnis bernilai Trilyunan. Lebih parah lagi, buku pelajaran setiap tahun ganti, sehingga tidak bisa diwariskan ke adik kelas untuk digunakan lagi, ya memang proyek-proyekan itu namanya. Pada pasar bernilai Trilyunan rupiah itu - marjin laba 10-20% bernilai milyaran. Tidak heran bila muncul sogokan demi kurikulum.

Mereka yang menyusun kurikulum apa tidak punya anak?. Mungkin punya, tapi mereka sudah tidak peduli. Namanya juga birokrat. UU Diknas mewajibkan 20% APBN untuk pendidikan. Siapa yang menikmati ini? Bukan guru, bukan murid, bukan orang tua - melainkan birokrat.

Birokrasi memang menjadi ukuran raksasa, karena di Kementrian Diknas ada sekitar 200 ribu PNS bukan guru. Dibuat ruwet. APBN 2012 hampir Rp. 1500 Trilyun. Berarti anggaran pendidikan mencapai hampir Rp. 300 Trilyun. Sudah jadi apa saja? Dan buku tiap tahun ganti, sehingga tidak bisa diwariskan ke adik kelas untuk digunakan lagi Kentara sekali memang ada proyek-proyekan disana. Dengan anggaran pendidikan hampir Rp. 300 Trilyun, berarti para birokrat itu 'dipaksa' belanja Rp 1 Trilyun tiap hari kerja. Menghabiskan Tidak heran kalau belanjanya ngawur atau mengada-ada. Dari hitungan sederhana saya: Rp 1 Trilyun cukup untuk membiayai 700 peserta program doktoral di Inggris berikut biaya hidup.

---
Kata Paolo Freire pendidikan paling dasar cukup mendorong kemampuan membaca, menulis dan berhitung dengan baik. Jadi fokus. Tapi lihat kurikulum di Indonesia: bertumpuk-tumpuk dan redundan. Penuh muatan politik nasional dan lokal. Didesain mendorong bisnis buku sekolah. Dibesarkan dengan sedemikian banyak buku pelajaran dan kualitasnya buruk, tidak heran bila orang Indonesia jadi trauma membaca. Membaca = beban. 

Kompleksitas pendidikan membuat guru sulit mengatur beban mengajar. Cara tergampang? Suruh murid2 menghafalkan. Peduli amat soal pemahaman.

Puteri saya Nabila dulu bersekolah di SD Muhammadiah. Disana dia harus mempelajari 4 bahasa: Indonesia, Inggris, Arab dan Sunda. Hebat. Syukur waktu SMP diterima di sekolah negeri. Tapi soal buku tetap saja tak ada pilihan lain. Setumpuk.

Bagi yang ingin mengetahui besarnya Anggaran Pendidikan 2012 sebagai berikut:

· Anggaran Pendidikan 2012: 281,457T. Dibagi untuk Pusat (102,7T) dan Daerah (178T).

· Dana yang ditransfer untuk daerah di alokasikan untuk: Dana Perimbangan (127,3T) dan Otonomi Khusus (51,4T).

· Dana Pendidikan jatah Pusat (102,7T) dianggarkan untuk Depdikbud (63,8T), DepAg (30T) dan Kementrian lain (8,8T).

· Dana Pendidikan (Depdikbud) terdiri dari Gaji Guru (102,7T), Tunjangan Profesi Guru & PNSD (31,7T) dan Dana BOS (17,1T)

. Sekarang gaji guru lumayan besar. Kita tentu saja rela kalau 1/3 anggaran pendidikan diberikan pada para pahlawan tanpa tanda jasa itu. Tinggal mengawasi yang 2/3 lainnya. Kita juga perlu teliti dana pendidikan yang dialokasikan untuk Departeman Agama (30T). Jumlah lumayan besar yang dikelola oleh departemen yang terkenal korup. Dana buat bikin al-Quran saja di sikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar