Senin, 21 Januari 2013

DEFISIT UTANG PEMERINTAH, INFLASI & BANK SENTRAL


Sebagaimana pernah dibahas sebelumnya, ekonomi Indonesia saat ini sedang tumbuh (booming) menjadi salah satu yang terbaik di Asia, bahkan dunia.

Pertumbuhan ekonomi riil Indonesia sekitar 6,4% adalah yang sudah mempertimbangkan inflasi. Secara nominal - ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 14%/tahun. Hanya saja penerimaan pajak tumbuh tidak secepat itu. Mungkin karena kebocoran disana-sini, tapi juga karena tidak terpungut. Ada sekitar 12,9 juta bentuk usaha yang seharusnya bayar pajak. Berapa yang serahkan SPT? Baru 500 ribu.

Sering kemudian muncul pertanyaan seiring dengan pertumbuhan ekonomi, bagaimana dengan hutang luar negeri kita yang juga membengkak? Soal utang negara kita, banyak orang yang melihat hanya pada angka absolutnya, bukan dibandingkan dengan GDP (Gross Domestic Product). Jadi kalau ada yang menanyakan, hutang Rp. 20 juta itu besar atau tidak? Tentu saja tergantung, pendapatannya, apakah Rp. 10 Juta atau Rp. 10 Milyar?

Utang Indonesia sekarang ibarat orang punya utang Rp. 2 dengan pendapatan Rp. 8. Itu gambaran kasar tentang makna Debt to GDP Ratio Indonesia yang sekitar 23%. Angka aslinya Debt Rp. 1985T vs. GDP Rp. 8542T. Kita bulatkan menjadi Rp. 2 vs. 8.

Apakah angka 23% itu sudah ideal atau perlu diturunkan? Angka 23% sudah ok, tinggal efisiensikan pemanfaatannya, baru kemudian dinaikkan. Untuk apa Debt/GDP turun tapi uangnya terbuang?

Apakah utang Indonesia yang Rp. 2 Milyar itu semua jatuh tempo besok? Tentu saja tidak. Yang jatuh tempo tahun 2013 setara Rp. 140 Juta.

Kalau negara tidak memiliki utang, apakah baik? Pertanyaan yang lebih tepat: Apakah mungkin? Apakah rasional? Yang jelas, tidak ada negara yang menolak berutang. Karena potensi pertumbuhan ekonominya justru akan turun. Untuk apa?

Kita pilih pendapatan Rp. 12 Juta untuk utang Rp. 2 Juta, atau pendapatan Rp. 5 juta dengan utang nol rupiah? Kalau secara individu, kita bisa memilih Rp. 5 Juta dengan utang nol rupiah. Tetapi secara negara kita akan dibilang bodoh.

Lalu kita sering mendengar terjadinya defisit APBN yang harus dibiayai dengan hutang. Mengapa harus defisit sehingga harus berhutang? Defisit di APBN adalah bagian dari strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Syaratnya: Asal jangan terlalu besar.

Tentang defisit anggaran – dapat dijelaskan dengan sederhana sebagai berikut ini.

Kita senang kalau naik gaji kan? Nah, untuk bisa naik gaji - maka perusahaan yang menggaji kita pendapatannya harus naik.Dengan gaji yang naik pula, kita akan belanja lebih banyak. Berarti akan ada barang dagangan yang laku dan perusahaan tumbuh.

Ini berarti naik gaji itu bagus bagi ekonomi. Sepakat? Tentu saja. Nah, apa yang terjadi kalau sebaliknya: gaji tetap? Kalau gaji kita tetap, maka belanja kita juga akan tetap. Malah mungkin berkurang, karena lebih memilih untuk menabung. Padahal, untuk setiap barang yang tidak jadi dibeli - berarti ada unit produksi yang hasilnya tidak optimum. Ini masalah. Mengapa? Karena dengan tidak optimumnya unit produksi, maka kebutuhan tenaga kerjanya juga akan menurun. Akan ada PHK.

Padahal normalnya jumlah penduduk bertumbuh. Maka berhentinya tercipta lapangan kerja akan menimbulkan pengangguran baru. Apa pengangguran belanjanya seperti orang yang bekerja? Tentu tidak. Maka efeknya: makin banyak barang yang tidak laku. Ini berarti, makin banyak lagi pengangguran dan PHK. Ekonomi akan mungkret. Semuanya hanya gara-gara tidak naik gaji.

Jadi, naik gaji itu bagus bagi kemaslahatan ekonomi nasional. Silahkan disampaikan kepada boss masing-masing.

Masalahnya: jumlah uang itu tetap. Bagaimana gaji bisa naik kalau jumlah uang yang akan dibagi-bagikan jumlahnya tetap? Untuk itu, maka volume uang harus bertambah, supaya ada cukup uang bagi setiap pihak untuk mengalami kenaikan penghasilan.

Masalahnya: siapa yang bisa mencetak uang? Saya bisa sih, tapi kalau ketahuan akan masuk penjara. Jadi tentu bukan saya. Satu-satunya yang bisa mencetak uang secara legal hanya pemerintah. Biasanya dilakukan bankir-nya pemerintah: bank sentral.

Maka yang bisa bikin volume uang bertambah hanyalah pemerintah lewat belanja pemerintah. Uangnya beredar di masyarakat. Karena volume uang yang bertambah itu pula, maka kita semua bisa naik gaji dan ekonomi bertumbuh lancar dan barang-barang laku.

Belanja pemerintah yang lebih besar ("duit yg dicetak lebih banyak") akan dibandingkan dengan besaran penerimaan pemerintah. Bila belanja pemerintah lebih besar daripada penerimaan pada tahun berjalan - maka itu berarti terjadi defisit belanja.

Kalau pemerintah belanja Rp. 1020 sementara pendapatan Rp. 1000 - maka yang Rp. 20 itu disebut defisit belanja pemerintah. Dalam jumlah yang rasional - defisit tadi akan menggerakkan ekonomi - karena duit yang beredar akan bertambah.

Jadi, berbeda dengan kita semua: tekor/ defisit-nya pemerintah (asal jumlahnya tepat) justru akan merangsang ekonomi. Sementara kalau kita tekor (belanja > pendapatan) ya pasti jatuh miskin dan mungkin masuk penjara. Tapi pemerintah tidak demikian.

Kalau besar defisit belanja pemerintah bisa merangsang tumbuhnya ekonomi - apakah makin besar defisit akan makin bagus? Tentu tidak! Tekornya belanja pemerintah ada batasnya. Kalau kegedean, maka duit beredar pun membengkak, efeknya jelek.

Kalau pertumbuhan jumlah uang melampaui pertumbuhan jumlah barang - maka dibutuhkan uang lebih banyak untuk beli barang. Akibatnya: harga-harga naik. Itu yang disebut inflasi. Kalau volume duit naiknya tidak kira-kira - maka jadi hyperinflasi. Ingat Dollar Zimbabwe? Yang perlu satu karung hanya buat beli tomat? Nah itu efek volume duit yang dicetak naik tidak kira-kira.

Tentu pemerintah punya dorongan kuat mencetak duit. Untungnya besar. Duit Rp. 100 ribu bahan bakunya cuma kertas + tinta doang. Tetapi jelas harus ada yang mengerem nafsu pemerintah mencetak duit. Siapa itu? Dulu sih parlemen. Sekarang Bank Sentral.

Untuk menyerap kelebihan duit beredar, maka harus ada insentif. Apa bentuknya? Suku bunga. Mending belanja atau nabung? Dengan suku bunga tinggi - maka duit yang asalnya berkeliaran dan bisa memicu inflasi/ harga naik - akan bekumpul di bank sentral. Pertumbuhan volume uang yang sepadan dengan pertumbuhan barang - membuat inflasi terkendali. Itu tugas bank sentral.

Apakah duit yang diterbitkan pemerintah berbentuk cash? Ternyata tidak. Pemerintah menerbitkan surat utang yang ada bunganya. Surat utang ini yang jadi pegangan bank sentral menerbitkan uang yang kita gunakan sehari-hari. Duit yang umum beredar.

Tingkat bunga pemerintah akan berjalan seiring dengan tingkat bunga bank sentral dalam mengatur volume uang di masyarakat. Efeknya? Kalau pemerintah defisitnya terlalu tinggi - akan membuat suku bunga naik! Itu cara bank sentral menyuruh pemerintah diet.

Jadi, bank sentral punya kemampuan membuat pemerintah tidak jor-joran mencetak defisit (baca: uang) yaitu lewat suku bunga. Dan itu sebabnya: mengapa tidak ada negara yang tidak berutang. Karena justru utang itulah alat mengatur volume uang.

Itu alasan mengapa pendapat soal penghapusan utang tidak relevan, Mengendalikan volume uangnya mau pakai apa?

Semoga cukup membantu membuka perspektif. Saya belum berani membahas yang lebih detail dan dalam lagi - karena lebih rumit.

Penjelasan diatas semata simplifikasi. Penyederhanaan prinsip-prinsip dasar tentang defisit, uang, bank sentral dan pemerintah.

Bank sentral misalnya - selain mengurus duit pemerintah, juga ngurus perbankan nasional dan volume kredit. Ini yang rumit banget. Belum lagi kegiatan ekonomi eksternal: ekspor dan impor, baik barang maupun jasa. Juga arus investasi keluar dan masuk.

Bank Sentral juga harus ngurusin bank penerima duit masyarakat. Jangan kreditnya macet atau sampai dibawa kabur pemilik. Belum lagi kalau masyarakat panik dan menarik duitnya dari bank. Krisis kepercayaan. Iming-iming bunga sebesar apapun bisa tidak mempan.

Utang pemerintah yang jadi ukuran volume uang juga harus diatur periode jatuh tempo dan bunganya. Belum lagi utang luar negeri. Arus modal juga perlu diatur, karena efeknya bisa seperti bunga - mendorong naik atau turunnya uang beredar. Ini tentu bikin puyeng.

Kalau Dollar ramaramai masuk Indonesia, Rupiah yang menguat bisa membuat inflasi turun. Tapi kalau ramai-ramai keluar? Sebaliknya. Padahal mata uang USD, JPY, EUR, GBP, dll. punya tingkat bunga berbeda-beda dan bergerak terus. Puyengnya bergerak kuadrat.

Bank Sentral di Amerika: Federal Reserve (FED). Di Uni Eropa: European Central Bank, Di Indonesia: Bank Indonesia (BI). Dibanyak Negara, Bank Sentral punya kewenangan terpisah dari Pemerintah.

Di negara seperti Jerman, Gubernur Bank Sentral posisinya bisa lebih kuat dari Kanselir. Mereka bebas kepentingan politik. Pernah terjadi, Kanselir Jerman Barat memohon-mohon agar tingkat suku bunga diturunkan agar ekonomi tumbuh lebih cepat. Berhasilkah? Gagal Total.

Tingkat suku bunga malah dinaikkan Gubernur Bundesbank, karena Bank Sentral melihat ada ancaman inflasi. Kelanjutannya? Kanselir-nya kalah di Pemilu dan diganti. Gubernur Bundesbank-nya tetap menjabat. Ia diangkat parlemen.

Yang repot tentunya setelah Uni Eropa menyatukan mata uang dan membentuk Euro. Gubernur ECB-nya independen tapi pemerintahnya bebas ngutang.

Di Amerika Serikat; Presiden George Bush juga kalah pemilu melawan Bill Clinton, karena bank sentral sedang menaikkan suku bunga.

Gubernur Bank Sentral harus bersifat antisipatif. Kalau telat bereaksi, maka suku bunga naiknya harus lebih tinggi. Ibarat harusnya cuma naik 50 basis poin, kalau terlambat bereaksi akan terpaksa harus naikkan sampai 100 basis poin.

Dan kalau sudah naik 100 basis poin, ekonomi yang harus melambatnya cuma 1% bisa melambat lebih dalam, semisal 2%. Padahal kalau ekonomi terlalu melambat, kredit perbankan bisa macet karena masyarakat kehilangan daya beli. Nah, repot kan?

Dan Bank Sentral bisa erat hubungannya dengan kekuasaan. Kalau dipimpin oleh kroni penguasa, maka ekonomi bisa cepat hancur.

Dulu, jaman Suharto - posisi gubernur bank sentral dibuat setara menteri. Bisa disuruh-suruh naik/ turunkan suku bunga seenaknya. Itu sebabnya ekonomi Indonesia era Orde Baru bertumbuh cepat, tapi inflasinya juga tinggi. Lalu saat melambat jadi kolaps.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar