Selasa, 25 Maret 2014

Tuhan dalam Isme-isme


Tema tentang Tuhan termasuk tema yang sangat penting dalam pembahasan filsafat dan agama. Filsafat mencoba memahami tentang Tuhan dengan pendekatan rasio, sedangkan agama menerima keberadaan Tuhan dengan pendekatan teks wahyu. Dua model dengan corak epistemologi yang berbeda.

Filsafat bermula dari titik ragu, lalu membuat serangkaian pertanyaan tentang ada tidaknya realitas adikodrati di balik semesta ini. Jawabannya pun beraneka ragam, ada yang menerima ada pula yang menolak, ada pula yang memilih untuk bersikap agnostik. Demikian pula dalam kaitannya dengan “posisi” Tuhan dengan semesta, ada yang menganggap Dia identik dan adapula yang menganggap Dia tak identik dengan ciptaanNYA.

Dengan pendekatan teks wahyu, capaian dari agama-agama tentang Tuhan pun berbeda-beda. Meski semua agama meyakini bahwa Tuhan itu eksis sebagai kekuatan Adikodrati yang mencipta dan memelihara semesta. Namun, konsepsi tentang DIA tak pernah sama, jangankan antar agama, konsepsi tentang Tuhan dalam satu agama saja kerapkali melahirkan persepsi yang berbeda diantara pengikut-pengikutnya.

Berikut ini adalah beberapa pandangan tentang Tuhan yang disari dari pahaman filsafat dan agama.

Teisme

Teisme berasal dari kata theos (Tuhan) dan isme (paham). Teisme adalah pahaman yang meyakini akan adanya Tuhan. Selanjutnya teisme percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dan pemelihara alam semesta. Mengenai jumlah Tuhan yang diyakini, kelompok teisme berbeda pendapat, setidaknya hal ini melahirkan tiga kelompok dalam teisme, yaitu:

Monoteisme, yaitu kelompok yang meyakini Tuhan hanyalah Satu.

Dualisme, yaitu kelompok yang meyakini Tuhan ada dua, seperti dalam keyakinan Zoroaster tentang Tuhan kebaikan (Ahura Mazda) dan tuhan Keburukan (Ahriman).

Polyteisme, yaitu kelompok yang meyakini bahwa Tuhan ada banyak dalam perwujudan Dewa-dewa. Selanjutnya, pada tataran praktis penyembahan, kelompok ini terbagi atas dua kelompok. Yaitu,

Henoteisme, kelompok yang meyakini banyak Tuhan (Dewa), tapi secara praksis hanya menyembah salah satunya saja. Misalnya, kaum Hindu Syiwa, yang secara teologis meyakini konsep Trimurti (Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa), tapi menyembah hanya Dewa Syiwa saja.

Katenoteisme, yaitu keyakinan kaum polities, yang meyakini banyak Tuhan (Dewa) dan secara praksis menyembah semua Tuhan yang dia yakini.

Politeisme pragmatis, yaitu, keyakinan kaum polities, namun secara praksis menyembah Dewa/Tuhan sesuai dengan kebutuhannya saja. Misalnya dalam keadaan perang mereka sembah Dewa perang, tapi dalam keadaan musim tanam mereka sembah Dewa kesuburan, demikian seterusnya sesuai dengan kepentingan pragmatis-insidental mereka.

-
Dilihat dari pendekatan epistemiknya, kelompok teis terbagi atas tiga pendekatan dalam meyakini adanya Tuhan, yaitu:

Teisme filosofis, yaitu kelompok yang meyakini adanya Tuhan dengan berdasar pada pemahaman filsafat. Selanjutnya pendekatan filosofis ini terbagi lagi dalam tiga pendekatan yaitu:

Teisme ontologis, yaitu kaum filosof yang meyakini adanya Tuhan dengan pendekatan ontologism. Misalnya Aristoteles dengan konsep prime causenya atau para filosof muslim dengan konsep Wajib al-Wujud.

Teisme etis. Yaitu filosof yang meyakini adanya Tuhan dengan pendekatan etik. Misalnya Immanuel Kant yang meyakini adanya Tuhan, karena tanpa Tuhan maka perbuatan manusia pun tak bernilai. Dengan kata lain, Tuhan “dihadirkan” untuk memberi nilai pada perbuatan manusia.

Teisme pragmatis/spekulatif, yaitu pandangan teisme yang didasarkan pada pertimbangan pragmatis-spekulatif. Ini akan kita temukan dalam pernyataan Blaise Pascal, ia menyatakan “jika Tuhan tidak ada, maka tak bermasalah jika kita meyakininya, namun jika ternyata Tuhan itu ada, maka beruntunglah bagi kita yang meyakininya”.

Teisme saintifik. Pandangan teisme yang didasarkan pada pendekatan saintifik, penemuan-penemuan saintifik mengantarkan para teisme

Teisme agama. Pandangan teisme yang didasarkan pada teks-teks agama yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan.

Ateisme

Ateisme adalah konsep tentang pengingkaran akan eksistensi Tuhan sebagai Realitas Adikodrati yang menciptakan alam semesta. Secara epistemik, ateisme terbagi dalam tiga corak epistemik .

Ateisme Saintifik. Kelompok ateis yang mendasarkan pandangan ateisnya pada pandangan-pandangan sains. Misalnya ilmuwan Prancis, Julian Offery de Lamterie dengan konsep “l’homme machine”. Dia meyakini bahwa sejatinya manusia tak ubahnya sebuah mesin yang telah lengkap dengan jejaring mekanisnya, demikian pula dengan alam semesta. Sehingga tak ada tempat buat Tuhan yang transenden.

Ateisme Filosofis. Yaitu kaum filosof ateistik yang berpandangan bahwa Tuhan hanyalah hasil proyeksi akal manusia saja. Seperti Ludwig Van Feurbach dengan tesisnya, “theology is anthropology”. Yang singkatnya berarti bahwa Tuhan tak lebih dari persepsi manusia tentang dirinya sendiri yang “dilemparkan” keluar menjadi the other dan berbeda secara vis a vis dengan manusia.

Ateisme Romantik. Adalah kelompok ateis yang mendasarkan konsep ateismenya pada fenomena yang bersifat romantik dari kehidupan manusia. Kesenjangan social, keadilan, dan absurditas kehidupan yang menjadi dasar bagi hadirnya konsep ateisme ini. Misalnya, Fredereich Wilhelm Nietzsche dan Albert Camus.

Deisme

Deisme berasal dari kata dues (Tuhan). Deisme adalah pandangan yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai pencipta, namun mengingkari eksistensiNya sebagai pemelihara. Dalam keyakinan kaum deis, Tuhan telah menciptakan lengkap dengan hokum-hukumnya yang bersifat pasti, jadi Tuhan tak perlu lagi mengurusi alam semesta. Kelompok ini terkenal dengan teori “pembuat jam”. Kelompok deis berkembang di Inggris dengan tokoh-tokohnya, Thomas Hobbes dan John Locke.

Agnotisisme

Agnostisisme berasal dari bahasa Yunani agnostos yang berarti tidak diketahui atau tidak bias diketahui. Agnotisisme adalah paham yang menyatakan bahwa tidak mungkin kita mengetahui tentang Tuhan, atau kelomppok yang berpandangan bahwa keyakinan tentang Tuhan adalah suatu hal yang tak penting. Argumen tentang agnostisisme diajukan oleh seorang filosof kontemporer Prancis, Andre Comte-Spronville. Dia menyatakan, bahwa bagaimana mungkin kita bisa mengetahui tentang Tuhan sedangkan postulat-postulat awal yang kita susun tentangNYA adalah postulat yang menegasi pengetahuan kita. Tuhan tidak terjangkau, Tuhan tak terbatas, Tuhan tak terdefenisi, dan lain-lain. Bagaimana mungkin kita bisa mengetahui tentang realitas yang tak terjangkau, tak terbatas, dan terdefenisi?. Oleh karena itu, pengetahuan tentang Tuhan adalah sesuatu yang tak mungkin, maka mengimaninya adalah sesuatu yang tak penting, karena bagaimana mungkin kita bisa mengimani suatu sosok yang tak bisa kita ketahui?. Pada tataran praksis, kaum agnostik bersikap, percaya tidak percaya tentang eksistensi Tuhan.

Panteisme

Panteisme berasal dari kata pan yang berarti kesatuan dan teisme. Secara terminology panteisme berarti paham yang menyatakan bahwa Tuhan menyatu atau identik dengan alam. Paham panteisme terdapat dalam tradisi filsafat Barat maupun filsafat Timur. Keduanya memiliki perbedaan secara ontologism dalam memahami kesatuan antara Tuhan dan alam. Panteisme dalam filsafat Barat, tokohnya adalah Baruch Spinoza dan istilah panteisme sendiri diperkenalkan oleh Toland. Spinoza terkenal dengan dictum filsafatnya, “natura naturans, naturans naturata” yang artinya “alam yang menjadikan dan alam yang dijadikan”.

Dalam filsafatnya, Spinoza menyatakan bahwa Tuhan adalah alam, keduanya bukan berhadap-hadapan sebagai pencipta dan ciptaan, melainkan antara keseluruhan dan bagian. Sedangkan Toland berpandangan bahwa Tuhan tidak dibatasi oleh ruang tertentu, oleh karena itu semua yang ada di dunia ini adalah Tuhan.

Berbeda dengan panteisme Barat, Panteisme Timur yang terdapat dalam filsafat Hinduisme, dikenal dengan dictum, “tat swam asi” “kau adalah Dia”. Dalam filsafat Hindu, semesta meupakan pancaran dari Brahman atau Tuhan. Dari pancaran inilah hadir alam semesta dan alam semesta yang lahir dari pancaranNya adalah identik dengan Dia. Dari paparan di atas terlihat jelas perbedaan ontologism antara panteisme Barat yang lebih menekankan aspek kosmosentris sedangkan panteisme Timur yang lebih menekankan sisi teosentris.

Panenteisme

Panenteisme berasal dari kata, pan, en dan teisme. en berarti dalam, jadi secara etimologis, panenteisme berarti “all/one in God”. Atau “satu/semua dalam Tuhan”. Filsafat panenteisme menyatakan bahwa Tuhan adalah kesadaran jagad raya, tapi tidak serta merta bisa dikatakan bahwa Tuhan adalah identik dengan jagad raya. Tuhan dianggap transenden sekaligus immanen. Tokoh panenteis dalam filsafat Barat adalah KCF. Krause dan H. Lotze. Pandangan panenteis juga dikenal dalam tradisi filsafat Islam yang meyakini bahwa Tuhan adalah modus existence dari alam semesta tapi tidak bisa disinonimkan dengan alam semesta. Pernyataan yang menyiratkan pandangan panentes terdapat pada khotbah Ali bin Abi Thalib dalam Nahj al-Balaghah: “Dia dekat tapi bukan kedekatan fisik, Dia bersama tapi tidak bercampur, Dia jauh tapi tak berjarak, Dia berada di dalam sesuatu tapi tak seperti sesuatu di dalam sesuatu, Dia berada di luar sesuatu tapi tak seperti sesuatu di luar sesuatu”. Di antara filosof muslim yang juga berpahaman panenteis adalah Muhammad Iqbal.

Transendensialisme

Transendensialisme berasal dari kata transcendent yang berarti jauh atau melampaui. Transendensialisme adalah pandangan atau keyakini yang menyatakan bahwa Tuhan adalah Sosok yang jauh, terpisah, dan tak terjangkau oleh manusia. Dia bersemayam di suatu tempat yang tinggi. Pandangan dan keyakinan ini banyak dianut oleh kelompok agama yang berepistemologi tekstualis dalam memahami pesan-pesan wahyu dalam teks suci mereka.

Tuhan dalam Pandangan Filsafat Islam

Dalam pandangan filosof muslim, setidaknya Tuhan di persepsi dalam empat konsepsi filosofis, yaitu:

Tuhan sebagai Sebab Pertama (al-‘Illat al’Ula). al-Kindi mempersepsi Tuhan sebagai sebab pertama beranjak dari pandangan bahwa satu kejadian tak mungkin terjadi karena dirinya sendiri, tetapi terjadi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itulah yang disebut sebab. Dan dalam rentetan kausalitas itu, Tuhan merupakan sebab pertama yang menunjukkan bahwa Dia adalah sebab paling awal dan fundamental dari semua sebab.

Tuhan sebagai Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud). Menurut Ibnu Sina, tuhan adalah Wajib al-Wujud, sedangkan selainNya adalah mimkin al-wujud (wujud mungkin). Yang dimaksud Wajib al-Wujud adalah Wujud yang senantiasa ada atau Wujud yang senantiasa aktual.

Tuhan sebagai Cahaya (Nur al-Anwar). Ini adalah pandangan Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul dan ini menjadi dasar dalam filsafatnya (al-Hikmah al-Israqiyah). Suhrawardi memandang bahwa Tuhan adalah Cahaya di atas segala cahaya.yang menghadirkan cahaya-cahaya yang lain dalam tingkatan-tingkatan alam semesta.

Tuhan sebagai Wujud Murni. Ini merupakan pandangan Mulla Shadra yang berpandangan bahwa Tuhan adalah Pure Being yang berarti Wujud yang tak bercampur dengan esensi (mahiyah) sebagaimana wujud-wujud yang lain.

Blaise Pascal menyatakan, yang membedakan antara, le’ Dieu d’ Abraham dan le Dieu des philosophes (Tuhan Abraham dan Tuhan filsuf). Pembedaan ini didasarkan pada perbedaan antara hati yang menerima secara pribadi Tuhan yang diajarkan oleh Abraham (agama), dan nalar yang dengannya para filsuf memikirkan dan berbicara tentang Tuhan. Namun sesungguhnya. Tuhannya orang beragama itulah juga Tuhannya kaum filsuf, bahkan yang ditolak oleh kaum ateis pun sesungguhnya bukan Tuhan, tapi yang mereka tolak adalah konsep mereka sendiri tentang Tuhan. Dan sebagaimana kata Ludwig Witgenstein “Tuhan tetaplah Tuhan, yang untuk mengungkapkanNya adalah di luar kuasa bahasa dan tanda.”
Sabara Nuruddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar