Selasa, 25 Maret 2014

Konstruksi Sosial “Makanan Halal” dan “Tidak Halal.”


Saya akan ikut latah dengan hiruk-pikuk soal skandal sertifikasi “halal” yang melibatkan lembaga keulamaan, MUI. Saya akan bahas makanan halal dari sudut pandang agama-agama, terutama Yahudi, Kristen dan Islam. Poin saya: dalam sejarah ketiga agama ini soal makanan dikontruksi untuk membentuk identitas-diri di awal kemunculan ke atas panggung sejarah. Pembentukan identitas-diri kerap kali dilakukan dengan membedakan – dan bahkan menyingkirkan – komunitas agama lain. Karena itu, mereka menafsirkan ajaran kitab suci yang sesungguhnya inklusif ke arah berbeda, yakni meng-exclude komunitas agama lain.

Dalam Hebrew Bible, tidak ada ayat yang mengajarkan kaum Yahudi untuk mengharamkan makanan komunitas non-Yahudi. Memang kitab suci Yahudi menyebut aturan makanan yang larang secara rinci (dan banyak), misalnya dalam Deuteronomy, Esther, dan Daniel. Tapi, yang dilarang dalam Hebrew Bible ialah makanan yang mengundung unsur-unsur haram, bukan karena makanan diasosiasikan dengan agama tertentu.

Pandangan yang mengharamkan makanan komunitas agama lain baru kita temukan dalam literatur pasca Bibel, yakni Mishnah. Mishnah merupakan komentar dan pendapat para rabbi Yahudi, dan menandai lahirnya agama Rabbinic Judaism. Dalam Mishnah inilah ditemukan banyak pembatasan bahkan pengharaman atas makanan yang dibuat atau disediakan oleh komunitas agama lain. Dengan kata lain, dilarang bukan lagi makanan mengandung unsur-unsur haram, tapi juga makanan “halal” yang disediakan oleh non-Yahudi.

Pemilahan “makanan halal” dan “tidak halal” dikonstruksi oleh para rabbi untuk membedakan komunitas Yahudi dari agama Kristen yang baru muncul. Pola serupa dapat dilihat dalam Kristen. Seperti direkam dalam Bible, Gereja awal mengajarkan bahwa setiap makanan pada intinya ialah halal. Paul atau Peter, misalnya, membolehkan para pengikut Yesus untuk makan bersama-sama dengan kalangan Gentiles, non-Kristen saat itu. Barangkali hal itu merupakan respons terhadap sikap para rabbi yang membedakan antara makanan kaum Yahudi dan non-Yahudi.

Dalam Acts of the Apostles 10:28 dan 11:12, misalnya, Peter berpendapat, berbeda dengan Yahudi, God has made it clear that no man is unclean. Namun, dalam perkembangannya, kaum Kristiani mulai membedakan diri mereka dari kaum Yahudi dan juga kalangan yang mereka anggap heretics. Retorika anti-Yahudi juga terlihat dalam sikap mereka terhadap makanan komunitas agama lain; mereka mulai mengharamkan makanan non-Kristen.

Dalam pertemuan Elvira (sekarang disebut Granada), para pemuka Kristen memutuskan untuk menyingkirkan siapapun yang mengomsumsi makanan Yahudi. Pada konsili Epaone pada tahun 517, ditetapkan bahwa kaum Kristen akan menjadi “ternoda” jika makan makanan Yahudi. Konsili demi konsili dilaksanakan dan soal makanan “halal” dan “tidak halal” ini menjadi perbincangan hangat.

Al-Quran jelas mengetahui kontroversi makanan “halal” dan “tidak halal” antara kaum Kristiani dan Yahudi. Karena itu, ia perlu memberikan penegasan begitu eksplisit, makanan ahl al-kitab itu halal, makanan pengikut Muhammad juga halal bagi mereka.

Sesungguhnya aturan makanan (dietary regulations) dalam al-Quran itu menyerupai yang ada dalam Hebrew Bible dan Christian Bible. Misalnya, larangan makan bangkai, darah atau binatang yang dipersembahkan kepada Tuhan selain Allah itu ada dalam Christian Bible. Namun, dalam perkembangan pembentukan identitas keagamaan, para ulama Muslim melakukan hal yang sama seperti para rabbi dan pendeta. Mereka “memanipulasi” ajaran kitab suci yang inklusif untuk tujuan membedakan komunitas mereka dari komunitas agama lain.

Seperti halnya Bibel, al-Quran juga melarang makanan yang mengandung unsur-unsur yang dianggap haram, bukan siapa yang menyediakannya. Namun, para ulama memperluas wilayah haram itu: Makanan berunsur halalpun menjadi haram jika disediakan/diolah oleh non-Muslim.

Pada zaman modern ini, masalah makanan halal ini makin gencar sebagai upaya meng-exclude komunitas agama lain akibat perselingkuhan bisnis. Apa yang dilakukan para ulama kita ini sebenarnya menyerupai sikap yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama lain yang mereka tolak dengan keras.

Jika mereka sungguh-sungguh ingin kembali ke ajaran kitab suci (al-Quran), mereka tak perlu mengurus soal sertifikasi halal. Karena semua makanan pada hakikatnya halal, siapapun yang menyediakannya. Al-Quran sudah jelaskan makanan yang mengandung unsur haram. Bukan karena siapa yang mengolah dan menyediakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar