Kamis, 27 Maret 2014

Speaking Skill Bangsa Kita


“Speaking skill” bangsa kita lemah (termasuk saya tentunya). Speaking skill disini bukan soal kemampuan berbahasa Inggris, tapi lebih pada kemampuan berbicara menyampaikan apa yang dipikirkan. Coba perhatikan anak-anak Indonesia ketika di wawancara di TV. Umumnya berbicara gagap, tidak jelas dan materi yang disampaikan cenderung sederhana tidak menunjukkan kecerdasan berpikir. Bandingkan dengan anak-anak ‘bule’ yang berbicara lancar, jelas maksudnya dan terlihat cerdas. Hal tersebut tak terbatas pada anak-anak saja. Orang dewasanya juga sama. Umumnya orang Indonesia kurang mampu berbicara didepan umum. Beberapa orang terlihat pintar berbicara, tapi materi yang disampaikan terlalu sederhana dan tidak memberi pencerahan pada pendengarnya. Hanya sedikit sekali pembicara ulung, cerdas, berbobot, memukau dan karenanya perlu di dengar.

Saya setuju dengan Pak Ilyas, masalah utamanya karena lingkungan dan pendidikan sejak masa kanak-kanak. Dirumah, anak-anak kita cenderung dibatasi kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat. Anak yang kritis dan suka berdebat dinilai tidak sopan. Anak harus mendengar dan menurut apa saja kata orang tua karena orang tua harus selalu benar.

Disekolah kondisinya sama saja. Guru merupakan sosok angker yang tak boleh dibantah. Komunikasi cenderung searah dan siswa harus pintar membaca arah angin sebelum bertanya. Mungkin jumlah siswa yang terlalu banyak dan beban kurikulum yang terlalu padat menyebabkan guru tak lagi punya waktu untuk melakukan komunikasi dua arah dengan muridnya.

Disekolah juga tak ada pelajaran pidato dan diskusi kelompok. Dalam kegiatan ekstra kulikuler-pun tak dilakukan. Sehingga siswa tak pernah punya sarana untuk menyampaikan pendapat dan mengolah pemikirannya menjadi ucapan yang runtut dan tertata baik. Akibatnya kita menjadi bangsa pendengar bukan pembicara. Tidak heran ketika anggota DPR kita yang berkunjung ke luar negeri cenderung pasif dan menkadi pendiam. Diam kembali menjadi emas. padahal didalam negeri mereka terlihat sungguh galak….lol.

Situasi berbeda justru kita lihat di sekolah-sekolah luar negeri, terutama di negara barat. Proses mengajar-belajar dilakukan melalui diskusi dan tanya jawab. Komunikasinya dua arah. Sering dilakukan dialog terbuka antara guru-murid. Para siswa justru di fasilitasi untuk berpendapat dan bertanya. Kegiatan diskusi, bahkan debat sering di selenggarakan di sekolah. Bahkan sering di pertandingkan. Hampir seluruh siswa tergabung dalam grup debat sekolah yang saling bertular fikiran secara berkala.

Mungkin itu sebabnya mengapa bangsa kita cenderung terjebak melakukan debat kusir ketika sedang berdiskusi. Dan jarang ada kesimpulan bermanfaat yang bisa diambil setelahnya. Kita tidak memiliki “speaking skill” seperti yang ditulis P’ Ilyas. Dan yang lebih parah lagi, kita juga bukan pendengar yang baik. Padahal pembicara yang baik biasanya seorang pendengar yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar