Selasa, 25 Maret 2014

Berita Baik Adalah Berita Buruk


Baca koran atau menonton berita malam, dunia selalu tampak semakin buruk. Satu demi satu masalah diletakkan di bawah lampu sorot. Semakin banyak kematian, kehancuran, dan keputus-asaan, semakin baik. Seperti yang sering disebutkan dalam buku teks tentang salah satu prinsip jurnalisme: "Sebuah berita yang baik biasanya adalah berita buruk."

Sesekali kita mendengarkan berita menggembirakan, yang semakin langka terjadi. Akibatnya, kita sering berpikir bahwa dunia berada dalam kondisi yang lebih buruk, bahkan ketika kita merasa kehidupan kita sendiri sedang membaik.

Sejak tahun 1978, konsumen Amerika ditanya apakah situasi keuangan mereka saat ini lebih baik atau lebih buruk daripada tahun sebelumnya. Selama 25 tahun terakhir, rata-rata 38% mengatakan mereka merasa lebih baik, sementara 32% merasa lebih buruk. Tapi, ketika ditanya pertanyaan yang sama tentang ekonomi AS secara keseluruhan, rata-rata 47% mengatakan keadaan lebih buruk, dibandingkan dengan 38% yang berpikir lebih baik. Lebih banyak orang berpikir bahwa hidup mereka membaik, sementara yang lain memburuk, mungkin karena bias kegigihan jurnalis menyiarkan berita buruk .

Hal ini tidak terbatas pada Amerika Serikat saja. Sejak tahun 1977, Gallup International telah menanyakan pada orang-orang di seluruh dunia, apakah mereka percaya hidup mereka akan lebih baik tahun depan daripada tahun sebelumnya. Untuk tahun 2014, hampir 50 % dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa hidup mereka akan lebih baik, dengan hanya 20% mengatakan akan lebih buruk. Namun, ketika diminta pendapat mereka tentang bagaimana kondisi perekonomian dunia, 32% percaya akan lebih baik, sementara 30% percaya akan lebih buruk .

Jika kita melihat jauh kebelakang, harus diakui banyak indikator menunjukkan bahwa kehidupan di seluruh dunia sebenarnya membaik. Data baru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa proporsi penduduk sangat miskin turun lebih dari setengahnya selama 30 tahun terakhir, dari 42% populasi global pada tahun 1981 menjadi 17% pada tahun 2010. Para ekonom memperkirakan bahwa pada tahun 1820, lebih dari 80% penduduk dunia adalah orang yang sangat miskin .

Juga terjadi perbaikan yang luar biasa dibidang pendidikan. Penduduk yang buta huruf saat ini meliputi 20% dari populasi dunia, turun tajam dari sekitar 70% pada tahun 1900. Di Barat peningkatan pesat dalam kemampuan membaca dicapai pada awal abad kedua puluh. Di negara berkembang, perkembangan yang sama besarnya terjadi dari tahun 1970 sampai 2000, dengan China mencatat peningkatan terbesar .

Biaya untuk pendidikan orang miskin sangat besar pengaruhnya. Sebagai contoh, Pakistan dan Korea Selatan mulai dengan sekitar tingkat yang sama antara pendidikan dan pendapatan pada tahun 1950. Saat ini, Korea Selatan rata-rata memiliki 12 tahun pendidikan, sedangkan Pakistan rata-rata hanya memiliki kurang dari enam. Pendapatan per kapita Korea Selatan tumbuh 23 kali lipat selama periode ini, dibandingkan dengan pertumbuhan 3 kali lipat di Pakistan.

Bersamaan dengan Konsensus Kopenhagen, ekonom telah berusaha untuk menilai biaya untuk pengentasan buta huruf. Diperkirakan jika tidak ada buta huruf pada tahun 1900, dunia akan menjadi lebih kaya $ 240 Milyar (inflasi sudah disesuaikan), setara dengan sekitar 12% dari GDP global pada saat itu. Jadi, upaya pengentasan buta huruf dunia pada tahun 1900 dapat dikatakan menghabiskan biaya sekitar 12% dari PDB. Saat ini, biaya pengentasan buta huruf global turun ke 7% dari PDB. Pada tahun 2050, ketika buta huruf akan mencapai sekitar 12% populasi, biaya akan berkurang menjadi hanya 3,8 % dari PDB

Demikian pula peperangan harus dibayar sangat mahal, baik dari sisi ekonomi maupun jumlah manusia yang mati terbunuh. Sementara gambar dilayar TV yang kita saksikan semakin hari kian jelas dan tajam dari sebelumnya, persepsi kita tentang konflik di mana-mana selalu salah. Pada abad kedua puluh, konflik menewaskan 140 juta orang, termasuk 78-90 juta dalam dua perang dunia.

Berita baiknya, yang justru jarang dipublikasikan, adalah bahwa skenario di mana pengeluaran militer lebih tinggi, sama, atau lebih rendah di masa depan menunjukkan bahwa biaya tinggi militer telah berubah dan sepertinya dunia tengah menuju pada perdamaian permanen. Perang Dunia I biayanya sekitar 20% dari GDP global, dan Perang Dunia II biayanya hampir dua kali lebih banyak.

Ketika memeriksa biaya konflik, para ekonom Konsensus Kopenhagen memperkirakan biaya yang sebenarnya dari pengeluaran militer global, jika juga memperhitungkan kehidupan yang hilang dalam pertempuran, maka perkiraan peningkatan biaya sekitar 50%.

Perkiraannya seperti ini, biaya militer tahunan pada abad ke20 rata-rata sekitar 5% dari PDB. Namun, sejak puncak Perang Korea, dari 7 % biaya global terus menurun hingga mencapai 3,5% pada tahun 1980 dan sekitar 1,7% hari ini. Bahkan pandangan pesimis menunjukkan kenaikan hanya sekitar 1,8 % pada tahun 2050, di bawah skenario yang lebih optimis, biaya militer akan turun lebih lanjut, 1,6 % dari PDB.

Nasih banyak masalah di dunia, seperti yang diberitak di media setiap hari. Kita seharusnya fokus pada program pengentasan kemiskinan, buta huruf dan mempromosikan perdamaian. Tapi yang tak kalah pentingnya, kita juga harus ingat bahwa dunia adalah tempat yang secara keseluruhan sebenarnya lebih baik daripada yang kita pikirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar