Selasa, 25 Maret 2014

KOMIK INDONESIA - Tidak Ada Ruang Untuk Bakat Istimewa


Masing-masing orang punya caranya sendiri untuk memahami segala sesuatu. Seperti membaca komik atau menonton film bisu. Penyuka komik seperti P’Iskandar senang dengan tarikan kuas pelukisnya, sementara P’Darwin bahkan bisa menikmati melalui gambar saja. Begitu pula dengan kakak sepupu P’Ilyas yang bisa menikmati film tanpa mengerti dialognya. Saya termasuk yang agak berbeda. Saya penikmat alur cerita dan perlu memahami apa sesungguhnya yang dipikirkan para pelakon komik/ film itu. Karena itu teks bahasa Indonesia harus ada.

Uniknya beberepa kali saya menemukan beberapa pembuat komik yang tidak memberikan narasi sama sekali, hanya gambar, tapi tetap bisa kita mengerti. Biasanya komik-komik humor yang kadang kita temukan di koran-koran. Sejenis karikatur. Pembuat komik seperti itu hebat dan pintar sekali, mampu berkisah melalui gambar.

Saya pernah membaca buku, bahwa hampir semua orang itu sebenarnya pintar. Kepintaran itu tergantung pada perkembangan otak masing-masing. Ada yang pintar matematika dan pengatahuan eksakta lainnya, tapi ada juga yang menonjol di bidang seni (tari, musik, lukis, acting, dll), bahasa atau menulis. Seorang bisa jenius dibidang musik (seperti Bethoven, Mozart, Idris Sardi, Elfa Secioria) atau melukis (Picasso, Rembrant, Basuki Abdullah, Tino Sidin) tanpa harus menguasai matematika.

Dibanyak negara maju kecerdasan seperti ini mendapat tempat, diakui dan punya jalur pendidikan sendiri. Seperti komikus manga yang bisa kuliah di fakultas jurusan komik manga di Jepang, atau jurusan musik di negara barat. Di Indonesia kesempatan itu minim sekali. Sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, kecerdasan di ukur dari penguasaan terhadap matematika, IPA dan bahasa (Indonesia dan Inggris). Dikuasai sekaligus, tidak secara terpisah. Anak-anak tanpa kemampuan matematis tak memperoleh tempat disekolah-sekolah umum negeri ini.

Masih untung ada beberapa perguruan tinggi yang masih menyediakan sedikit ruang untuk mereka. Seperti misalnya jurusan seni rupa di ITB. Tapi celakanya, kalau dulu test masuk seni rupa lebih mengutamakan test bakat, kini calon mahasiswa harus mengikuti seleksi umum terlebih dahulu sebelum test bakat dilakukan. Lagi-lagi kemampuan matematis dipakai sebagai ukuran. Begitu pula yang dilakukan di perguruan sejenis lainnya. Kasihan anak-anak berbakat dan punya kepintaran khusus yang hanya punya ruang terbatas disini.

Bangsa ini adalah bangsa yang malas belajar, enggan berubah dan tak mampu menyesuaikan diri. Kita masih bangsa yang tak berbeda dengan ketika masih dijajah Belanda dulu. S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar