Sabtu, 31 Januari 2015

Tinjauan Filsafat Barat & Islam (2)


Saya akan lanjutkan tulisan tentang "Kenapa Tuhan membiarkan kebrutalan terhadap orang-orang tak berdosa dari perspektif Islam.”

Bagaimana Tuhan sebagai Yang maha kuasa, adil dan penyayang dihadapkan dengan fakta adanya kebrutalan (evil) di dunia ini? Dalam khazanah islam klasik, debat tentang soal tersebut muncul, terutama antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah. dua aliran teologi islam.

Mu'tazilah sering disebut sebagai aliran rasionalisme Islam, sebagai perkembangan dari Qadariyyah, yang dilawankan dengan Jabbariyah. Qadariyyah: Tuhan memberi manusia kehendak dan kebebasan untuk bertindak (free will). Jabbariyah: tindakan manusia ditentukan Tuhan.

Polarisasi Qadariyyah dan Jabbariyah sering disederhanakan menjadi free will vs predestination (takdir). Yang mau mendalami polarisasi tersebut, dan aliran-aliran teologi Islam lain, sila baca Harun Nasution, Teologi Islam (UI press). Yang saya bahas di sini adalah bagaimana implikasi pandangan free will Mu'tazilah terhadap sikap mereka tentang kebrutalan.

Menurut Mu'tazilah, karena manusia punya kehendak bebas untuk bertindak, kebrutalan lahir murni dari mereka, bukan dari Tuhan. Mu'tazilah jadikan keadilan Tuhan sebagai patokannya. Mereka disebut juga Al- Adaliyyah, yakni "partai" keadilan Tuhan.

Bagi Mu;tazilah, keadilan Tuhan berarti Tuhan bersih dari perbuatan zalim (sewenang-wenang), termasuk dalam ganjaran dan hukuman. Kalau kebrutalan datang dari Tuhan dan bukan dari manusia, tidak adil kalau Tuhan menghukum pelakunya. Lagipula, kebrutalan adalah kezaliman, hanya bisa lahir dari yang tak sempurna. Sedang Tuhan maha sempurna.

Dalil Mu'tazilah di antaranya surah Al-Falaq. Mereka membacanya bukan min SYARRI ma khalaq, tapi min SYARRIN ma khalaq. Min syarri ma khalaq: dari kejahatan sesuatu yang diciptakan. Kalau min syarrin ma khalaq: dari kejahatan yang Allah TIDAK menciptakan.

Dalil ini menarik karena hanya dengan beda harakat/syakal, bisa beda arti yang signifikan (Qur'an duu tak ber-harakat, bacaannya bisa macam-macam). Aliran-aliran teologi Islam yang beragam, yang tak jarang bertentangan, semuanya bersandar pada Qur'an. Masing-masing punya ayat sendiri-sendiri.

Kadang saya geli dengan sejumlah orang yang ketika melihat perbedaan dalam Islam terus bilang, udah deh kembali ke Qur'an dan Hadits saja. Mereka mungkin tidak sadar, dengan kembali ke Qur'an hadits, persoalan tak lantas selesai. Justru mulai. Dari situ lahir perbedaaan pandangan. Saya tertarik membahas tentang "Kembali ke Qur'an Hadits" suatu saat. Kita kembali ke soal penekanan Mu'tazilah thd keadilan Tuhan.

Bagi Mu'tazilah, keadilan Tuhan berarti Tuhan "membatasi" dirinya untuk berbuat terbaik bagi makhluqNYA. Yang jahat itu produk manusia. Timbul soal: keadilan Tuhan dalam konsep Mu'tazilah mengesankan Tuhan yang tak berkuasa penuh, karena harus berbuat yang terbaik ke makhluq. Padahal Tuhan kan juga maha kuasa. Bagaimana mungkin Yang Maha Kuasa dibatasi wewenang dan kemampuanNya? Itu salah satu keberatan Asy'ariyah.

Jadi ide Mu'tazilah bahwa Allah harus memberi yang terbaik buat makhluq ( al-shalah wal ashlah) berimplikasi kebrutalan bukan dariNya. Bukankah itu berarti Tuhan "didikte" oleh maunya makhluk? Jadinya Tuhan tak Maha Kuasa lagi dong. Ini keberatan Asy'ariyah.

Asy'ariyah sering dilihat sebagai alira penengah antara fatalisme Jabbariyah dengan free will-nya Qadariyyah/Mu'tazilah. Jabbariyah yang yakin seluruh tindakan manusia sepenuhnya dikendalikan dan ditentukan Allah bertolak dari kekuasaan Allah yang absolut. Sedang Qadariyyah yang yakin manusia berdaulat atas tindakannya sendiri bertolak dari keadilan Allah yang juga absolut. Nah Asy'ariyah dianggap sebagai penengah. Tapi ada yang berpendapat posisinya lebih menekankan kemahakuasaan Tuhan. Juga dalam tema kita.

Bagi Asy'ariyah, Tuhan adalah pemilik semesta, kuasa dan kehendaknya tak bisa dibatasi. Ukuran adil dan tidak bukan dari mata manusia. Sebagai pencipta, pemilik dan penguasa semesta, Tuhan bisa berbuat/tak berbuat apapun. Keadilan diukur dari Nya, bukan dari mata kita.

Kontras antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah/ juga Maturidliyah terlihat misalnya dalam soal: ganjaran dan hukuman buat hambaNya. Bagi Mu'tazilah, Tuhan, sesuai dengan adilNya, harus menepati janjin untuk memberi pahala ke orang beriman dan menyiksa orang yang kafir. Tapi bagi Ulama Asy'ariyah, kalau Tuhan berkendak, bisa saja Ia menghukum orang yang beriman dan mengganjar orang yang kafir. PrerogatifNYA. Sifat ja'iz Allah: boleh-boleh saja berbuat apapun yang mungkin atau meninggalkanNYa. Tak ada yang bisa mewajibkanNYa untuk berbuat sesuatu.

Kalau aliran Maturidliyah (yang oleh NU dianggap bagian dari Aswaja) punya pendapat yang terkesan mengkompromikan dua kubu tersebut. Menurut Maturidliyah, Allah harus mengganjar orang mu'min (karena adilNYa), tapi mungkin saja tidak menyiksa orang kafir (karena penyayangNya). Bagi Maturidliyah, Allah bisa saja memasukkan surga orang kafir tertentu dan memasukkan ke neraka orang kafir lain yang amalnya sama. Jadi Mu'tazilah tidak ingin Tuhan yang sewenang-wenang, sedang Asy'ariyah tak ingin Tuhan yang lemah, Maturidliyah ambil jalan tengah.

Bagaimana implikasi beda pandangan tersebut bila dikaitkan dengan problem kebrutalan? Di sini menarik melihat pemikiran Al-Ghazali. Pandangan Al-Ghazali menarik karena meski ia mengikuti imam Asy'ari yang menekankan kemahakuasaan Tuhan, jejak Mu'tazilah terasa juga.

Oh ya, tentang posisi Asy'ariyah terkiat amal dan surga, akan saya bahas secara terpisah dalm tulisan berjudul “Wallahu A’lam Bi-Alshawab: Hanya Allah Yang Tahu Kebenarannya”.

Di atas saya bilang Mu'tazilah berpendapat Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk makhluk (al-shalah wa al-ashlah). Bagaimana Ghazali?. Ghazali, sebagaimana Asy'ari, menegaskan kemahakuasaan Tuhan. Tapi pada saat yang sama, menurutnya, Tuhan telah memberi yang terbaik. Kata Al-Ghazali dalam kitab Al Imla': “laysa fil imkan abda' mimma kan, tak ada kemungkinan lain yang lebih baik dari semesta yang ada."

Al-Ghazali, abad 11, punya pendapat yang mirip dengan ide Leibniz (abad 18) tentang "the best possible world." Jangan-jangan Leibniz baca Ghazali. Ide Ghazali "laysa fil imkan abda' mimma kan"ii bisa memicu soal tentang kemahakuasaan Tuhan, mengingat bahwa ada kebrutalan di dunia ini. Orang bisa mempertanyakan sebagaimana terhadap Leibnizt, kenapa Tuhan tidak menciptakan dunia yang tanpa kebrutalan?.

Tapi dari kitabnya Al Maqshad Al Asna fi Syarh Asma'illah Al Husna, kita tahu kenapa Al-Ghazali bilang tak ada yang lebih baik dari yang ada. Pengakuan kemahakuasaanNya dan pada saat yang sama yakin ciptaanNYa adalah yang terbaik dari yang mungkin ada diletakkan dalam kerangka sufi.

Pernyataan Ghazali tersebut terkait dengan idenya tentang tawakkal dan ridla terhadap ketentuanNya. Dari situ evil mesti dipahami. Ghazali bertolak dari firman Allah dalam hadits qudsi: kasih sayangku melampaui/mengalahkan murkaKU sebagai dasar bagi tawakkal.

Perlu dicatat, fokus Ghazali tentang tawakkal lebih tertuju pada para korban yang menderita moral evil maupun natural evil. Menurutnya, sang korban yang mengalami penderitaan harus ingat, apa yang tampaknya sebagai evil bisa jadi punya dimensi/akibat yang tidak evil. Bisa saja, menurut Ghazali, penderitaan itu seperti obat yang pahit tapi menyembuhkan. Bisa juga berkonsekuensi sebaliknya.

Ghazali menjadikan kerangka kerelaan terhadap ketentuan Allah sebagai cara menyikapi penderitaan. Dalam falsafah Jawa: sumeleh. Pandangan Ghazali tersebut dalam banyak hal mirip dengan sikap Leibniz terhadap evil, yang meletakkannya sebagai bagian dari the best possible world.

Orang bisa saja bertanya, apakah sikap semacam itu tak lantas membuat kita pasif saja, nrimo, terhadap adanya evil?. Dalam kasus Leibniz, ada kasus gempa Lisbon yang mendorong Voltaire untuk menggugat ide the best possible world. Bagaimana dengan Ghazali?.

Tentu konteks Ghazali dengan Leibniz beda. Tapi pandangan Ghazali tentang "laysa fil imkan abda' mimma kan" layak untuk dipersoalkan lebih jauh. Dalam hal ini, saya tertarik untuk mengaitkan pandangan Ghazali tersebut secara intertekstual dengan ide Rasyid Ridla tentang sunnatullah.

Kenapa Ridlha? Karena murid bapak pembaharuan islam, Abduh tersebut banyak dipengaruhi Ghazali, setidaknya menurut penulis biografinya. Dalam Tafsir Al Manar, Ridha bilang bahwa kehidupan berjalan sesuai dengan hukum-hukum yang sudah ditetapkan Allah pada alam maupun masyarakat. Hukum-hukum tersebut berjalan dalam kerangka kausalitas, hubungan sebab akibat yang ajek (tetap, teratur).

QS 33:62: Tidak akan kau jumpai perubahan pada sunnatullah. Sunnatullah tersebut tak hanya berlaku untuk hukum-hukum alam dan fisika, tapi juga pada kehidupan manusia, lepas dari iman dan asal usulnya. Menurut Ridha, sunnatullah berlaku universal. Tak ada pengecualian/ kekhususan terhadap sunnatullah. Tidak juga untuk para Nabi. Karena wataknya yang ajek dan universal tersebut, maka sunnatullah bisa dipelajari pola-polanya dan rentetan kausalitasnya, untuk alam maupun masyarakat. Menurut Ridha, karena Tuhan sudah tetapkan sunnatullah tak akan terjadi perubahan, maka Tuhan tidak intervensi terhadap peristiwa-peristiwa di semesta.

Pandangan Ridha tersebut pelik kalau dikaitkan dengan kemahakuasaan Tuhan. Kalau memang Tuhan tak akan intervensi, bagaimana dengan status doa? Seberapa jauh doa bisa mengubah, atas kehendakNYa rentetan kausalitas suatu peristiwa ? Atau doa tak lebih dari ekspresi gundah kita?

Saya tidak tahu bagaimana menjawab kaitan antara ketetapan sunnatullah di satu sisi dan peran doa kita di sisi lain. Layak direnungkan. Tapi dalam kaitan dengan tema kita, ide Ridha tentang sunnatullah ini menurut saya menolak adanya kaitan antara natural evil dengan hukuman Tuhan.

Dalam kerangka bepikir Ridha, natural evil (bencana) terjadi semata-mata karena hukum alam bekerja. Dan itu bisa dipelajari dengan sains. Mengaitkan bencana dengan hukuman Tuhan sejatinya bertentangan dengan prinsip tobat yang sampai akhir hayat. Pendosa tak dihukum Tuhan seketika.

Pandangan Ridha soal sunnatullah bisa juga dipakai untuk mejelaskan moral evil (kebrutalan oleh manusia). Ada kausalitasnya. Nggak ujug-ujug. Natural evil dan moral evil bukanlah suatu peristiwa "misterius", tapi ada rentetan kausalitasnya yang bisa dipelajari dan dikontrol. Artinya, kalaupun toh itu dianggap sebagai takdir Tuhan, tugas kita adalah menemukan takdir Tuhan lain untuk mengatasinya.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengutip kisah Umar bin Khattab yang suatu ketika mau berkunjung ke Syam (Syiria) . Tapi ternyata di Syam ada wabah. Akhirnya Umar mengurungkan niatnya untuk berkunjung. Ada yang tanya, Apa Engkau hendak lari dari takdir Allah? Jawab Umar: Saya lari dari satu takdir Allah ke takdirNYa yang lain. Salam.


Akhmal Sahal
Program PhD, University of Pennsylvania & Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar