Sabtu, 31 Januari 2015

Islam dan Relasi dengan Non Muslim


Soal “Islam dan Relasi dengan Non Muslim” jadi isu pelik belakangan ini. Menurut saya itu perlu jadi salah satu agenda “Gerakan Islam Cinta”. Dalam konteks Islam Indonesia, tema ini tadinya dianggap “beres”, setidaknya kalau acuan kita adalah sikap NU dan Muhammadiyah. NU berkepang, salah satunya, pada pandangan K.H. Achmad Siqddiq tentang trio ukhuwah (solidaritas persaudaran) yang harus saling menopang. Yakni ukhuwah Islamiyah, wathaniyah (kebangsaan), dan basyariyah (kemanusiaan).

Ukhuwah Islamiyah tak boleh menafikan ukhuwah-ukhuwah lain. Sedang Muhammadiyah berpegang pada prinsip yang diambil dari Qur’an: “fastabiqul khairat” (berlomba-lombalah dalam kebaikan). Sebagaimana akan saya jelaskan nanti, fastabiqul khairat di Al-Qur’an adalah prinsip tentang bagaimana muslim berhubungan dengan pemeluk agama lain.

Dengan kata lain, hubungan NU dan Muhammadiyah dengan non muslim pada umumnya positif. Arahnya mengembangkan sikap saling menghargai. Tapi beberapa tahun terakhir, berkembang situasi yang tidak nyaman antara muslim- non muslim. Sikap parno, curiga, dan kebencian menguat. Faktor penyebabnya tentu beragam dan kompleks. Tapi tulisan saya kali ini tidak membahas soal itu. Fokus saya pada tinjauan doktrinernya. Fokus saya lebih ke soal ini: bagaimana A-Qur’an dan Sunnah memandang hubungan antara muslim dengan non muslim.

Sejatinya Qur’an membolehkan muslim untuk menjalin hubungan dengan non muslim, berbuat baik dan berlaku adil/fair, selama mereka tidak memerangi. Itu ditegaskan dalam QS 60: 89. Dalam QS 8: 61: Bila non muslim condong pada perdamaian, muslim harus condong pada perdamaian juga. Prinsip kedua: Allah sengaja menciptakan agama berbeda-beda, agar para pemeluknya saling berlomba-lomba dalam kebaikan (ayat pertama 2: 148, ayat kedua 5: 48). Prinsip ketiga, Qur’an melarang muslim untuk menghina dan merendahkan keyakinan agama lain. Kalau berdebat, caranya harus beradab. QS 6:108 tentang larangan menghina sesembahan agama lain. QS 29: 46 tentang pentingnya sikap beradab kalau berdebat dengan pemeluk agama lain. Kerjasama dan damai dengan non muslim yang tidak memerangi muslim, berlomba-lomba dalam kebaikan dan larangan menghina agama lain, itulah prinsip Al-Qur’an

Jika memang prinsip-prinsip AlQur’an tentang relasi dengan non muslim seperti di atas, bagaimana dengan ayat-ayat yang bernada keras terhadap non muslim? Misalnya ayat tentang ketidakrelaan kaum yahudi dan nasrani terhadap Islam sampai muslim ikut mereka? Juga ayat larangan menjadikan non muslim sebagai “auliya”?.

Di sini saya sepakat dengan Rasyid Ridha dan Abduh dalam Tafsir Al Manar yang merekonsiliasikan ayat-ayat tersebut. Menurut Ridha, ayat-ayat keras tersebut harus dipahami dalam konteks situasi perang oleh non muslim terhadap muslim, bukan karena agama mereka (Al Manar VI; 426). Tentang istilah “auliya’ dalam konteks ini, makna yang tepat adalah “sekutu”, bukan “pemimpin”. Menurut Ridha, sikap keras terhadap non muslim berlaku manakala non muslim memerangi muslim, atau menindas dan mengusirnya dari tanah airnya. Kalau situasinya damai, yang berlaku adalah boleh kerjasama dengan fair, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan larangan menghina keyakinan non muslim.

Bagaimana relasi muslim dan non muslim digambarkan dalam hadits?

Bagaimana Nabi bersikap terhadap non muslim? Menurut saya, hal itu harus juga dipahami dalam konteksnya: situasi perang/ konfrontasi atau damai?. Misal, Nabi menjelang wafat menggadaikan baju perangnya ke orang Yahudi. Sampai beliau wafat, baju perang itu masih di pegadaian. Nabi pernah kedatangan tamu delegasi Kristen Najran, dan delegasi tersebut oleh Nabi dipersilakan melakukan misa di masjid Nabawi (Sirah Ibnu Ishaq).

Ketika di Mekkah, Nabi pernah meminta perlindungan politik ke Raja Ethiopia yang Kristen dari penindasan kaum kafir Quraisy. Salah satu mertua Nabi adalah orang Yahudi. Kalau Al-Qur’an membolehkan muslim menikahi wanita ahli kitab, tentu bekerjasama dengan mereka bukan masalah. Nabi bahkan pernah melibatkan nonmuslim sebagai pasukan perangnya. Nabi sertakan beberapa Yahudi Bani Qainuqa’ dalam pasukannya pada perang Khaibar.

Lantas, bagaimana dengan fakta bahwa Nabi juga memerangi kaum Yahudi? Penyebabnya: mereka mengkhianati perjanjian, dan itu menguntungkan musuh. Kaum Yahudi diperangi oleh Nabi karena alasan membahayakan keamanan komunitas muslim saat itu. Kalau mereka damai, kaum muslim pun damai. Pertanyaan lain, bagamana dengan hadits larangan mengucapkan salam kepada non muslim? Bukankah itu artinya larangan bersikap damai terhadap mereka?. Lagi-lagi, hadits larangan salam pun harus dipahami konteksnya. Di sini ada baiknya saya kutip haditsnya yang dimuat dalam Sahih Muslim.

Dari Siti A’isyah: segerombolan Yahudi mengucapkan salam ke Nabi, tapi dengan kalimat “As-samu ‘alaikum” yang artinya: kematian untukmu. Aisyah membalas: bagi kalian kematian dan laknat. Mendengar itu Rasul berkata ke Aisyah: Allah menyukai kelembutan dalam segala hal. Aisyah: Tidakkah Dikau mendengar umpatan mereka? Kata Nabi, iya. Tapi cukup balas: “bagi kalian.’

Hadits di atas terkait juga dengan hadits riwayat Imam Ahmad: Kita akan ke tempat kaum Yahudi (Bani Quraidzah), jangan mulai dengan salam. Jika mereka mengucapkan salam, maka jawablah dengan “wa ‘alaikum” (tanpa ada kata ‘salam’). (HR. Ahmad).

Bagaimana hadits di atas mesti dipahami? Pertama, menarik dicatat, Nabi mendapat umpatan dari Yahudi, tapi beliau tidak menghukum mati!. Kedua, hadits larangan salam adalah larangan menyerah/ menyatakan damai ketika musuh masih dalam sikap memerangi.

Dalam konteks di atas, kaum Yahudi yang dimaksudkan adalah dari kabilah Bani Quraidzah yang saat itu dalam perang dengan muslim. Ada ulama bertolak dari hadits tersebut, simpulkan haramnya memulai salam kepada non muslim dalam situsi apapun. Tapi itu dibantah ulama lain. Imam Al-Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an membahas soal ini ketika menafsirkan QS 19: 47 tentang salamnya Nabi Ibrahim. Arti ayat tersebut: Ibrahim berkata (kepada ayahnya yang notabene kafir): salam kepadamu, aku akan mintakan ampun kepada Tuhan untukmu. Tafsir Qurthubi, sebagian ulama membenarkan mendahului ataupun menjawab salam kepada orang kafir. Ibn Uyainah pernah ditanya tentang ini.

Kata Ibnu Uyainah, terdapat suri tauladan yang baik dari Nabi Ibrahim, dan beliau mengucap salam ke ayahnya (yang kafir). Al Qurthubi menyatakan, sejumlah Sahabat dan Tabi’in. Misal, Ibnu Mas’ud Al Auza’i, Al Bahili mengucapkan salam kepada orang kafir. Alasan mereka, kata Al Qurthubi, kita diperintahkan untuk menyebarkan salam/perdamaian oleh Nabi SAW. Paparan tentang salam terhadap non muslim ini saya ambil dari buku terbitan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an (2000).

Saya berpanjang-panjang tentang soal salam ini karena menurut saya, itu menunjukkan betapa pentingnya memahami Qur’an hadits dengan melihat konteksnya. Ini bukan semata-mata soal ucapan salam, tapi juga ekspresi menebarkan perdamaian, yang merupakan karakter Islam. Pemahaman kontekstual yg saya maksudkan: larangan salam terhadap non muslim berlaku dalam situasi perang. Kalau situasinya damai, ya rapopo.

Ini menegaskan argumen saya di awal tulisan, dalam situasi damai, tidak masalah menjalin perdamaian dan kerjasama dengan non muslim. Ini penting untuk digarisbawahi, di tengah maraknya sikap parno dan kebencian atas dasar agama yang mem-polusi kehidupan agama kita. Perdamaian, kerjasama, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan larangan mencaci iman agama lain, itulah beberapa ciri ISLAM CINTA. Salam.

Penulis : Akhmad Sahal (Fellow, Ash Center, Harvard Kennedy School; Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar