Sabtu, 31 Januari 2015

Tinjauan Filsafat Barat & Islam (1)


Pembunuhan puluhan siswa yang dilakukan Taliban di Pakistan menimbulkan tanya: mengapa Tuhan membiarkan hal itu terjadi?. Tulisan berikut ini menjadi relevan. Bacaan yang agak berat memang, tapi lumayan untuk pengisi waktu liburan akhir pekan sambil menambah wawasan. Salam.

Berikut adalah bahasan tentang "Kenapa Tuhan biarkan kebrutalan terhadap orang-orang tak berdosa? Tinjauan Filsafat Barat dan Islam".

Istilah "kebrutalan" adalah terjemahan dari "evil", mencakup moral evil and natural evil. Tentang "Tuhan dan the problem of evil." Kebrutalan Taliban di Peshawar adalah contoh mutakhirnya. Tapi sebelum itu banyak hal yang sama terjadi. The problem of evil juga di Suriah, Irak, Gaza, Sudan, Bosnia, Holocaust dll. Kenapa Tuhan biarkan semua itu terjadi?. Untuk membahas soal di atas, saya akan membagi tulisan ini dalam dua bagian: Tinjauan Filsafat Barat dan Islam.

Soal pokoknya: Tuhan itu Maha kuasa, mengetahui, adil, dan penyayang. Terus kenapa Dia tak menghilangkan kebrutalan?. Orang beragama bisa saja dengan mudah bilang itu semua takdirNYA. Tapi bagi para korban, jawaban itu tak memuaskan.

Dalam filsafat, soal Tuhan dan the evil ini sudah lama dibahas, dirumuskan dalam apa yang disebut sebagai "paradoks Epicurus." Paradoks Epicurus tentang "kalau ada Tuhan, kenapa ada kejahatan" terdiri dari empat kemungkinan:

1. Tuhan mau menghapus kebrutalan, tapi tak mampu. Berarti lemah. Tak sesuai dengan kemahakuassan Tuhan.

2. Tuhan mampu menghapus kebrutalan, tapi tak mau. berarti kejam. Tak cocok dengan Tuhan yang maha adil dan penyayang.

3. Tuhan tak mampu dan tak mau menghapus kebrutalan. Sudah lemah, kejam pula. Tidak sesuai dengan Tuhan yang kuasa dan penyayang.

4. Tuhan mampu dan mau menghapus kebrutalan. Ini Tuhan yang sejati. Tapi faktanya kebrutalan eksis. Bagaimana bisa?

Dengan kata lain, the problem of evil memunculkan ketegangan antara kemahakuasaan Tuhan dan keadilanNYA. Leibniz menyebutnya "Theodisea." Di hamparan kebrutalan di dunia ini, bagaimana kuasa dan adil Tuhan bisa dijustifikasi?. Meyakinkankah paradoks Epicurus tersebut? Bagi Leibniz TIDAK. Menurutnya, Tuhan bisa saja menciptakan dunia yang tanpa kebrutalan, tapi atas kebijaksanaan Tuhan, dunia ini justru adalah the best possibe world, dunia terbaik yang mungkin.

Ada hal-hal positif pada dunia dengan evil ketimbang yang kita bayangkan. Kadang dari evil muncul kebaikan-kebaikan yang tak diduga. Intinya bagi Leibniz, evil harus dipahami dengan meng-integrasikannya dalam keseluruhan kenyataan. Dunia ini terbaik yang mungkin.

Paradoks Epicurus tak hanya dibantah Leibniz, filsuf Jerman abad 18, tapi juga pemikir lain, seperti Platinga, ahli teologi AS pada tahun 70-an. Menurut Alvin Platinga, adanya evil tak lantas batalkan klaim bahwa Tuhan maha adil dan kuasa. Justru itu tanda manusia punya free will. Tuhan, menurut Platinga, bisa saja menciptakan dunia yang tanpa kebrutalan. Tapi dengan begitu kebebasan manusia jadi tak bermakna. Fakta bahwa manusia punya free will justru mengandaikan dia bisa berbuat baik, atau jahat, juga bisa brutal.

Ide Leibniz dan Platinga tersebut menarik untuk dicamkan, karena ide-ide tersebut, ternyata, sudah muncul dalam debat teologi Islam klasik. Tapi sebelum itu, ada baiknya kita balik lagi ke ide Leibniz tentang the best possible world. Ide ini dihantam telak oleh Voltaire. Terutama setelah Voltaire membaca berita tentang gempa dan tsunami (natural evil) di Lisbon pada 1755 yang menewaskan puluhan ribu orang. Bagi Voltaire, katastrofi Lisbon yang renggut nyawa anak-anak, orang saleh, orang berdosa dll adalah "gempa" terhadap optimisme Leibinz. Bagi Voltaire, apa yang dipahami Leibniz sebagai the best posible world ternyata tidak the best, karena Tuhan cuek terhadap yang menderita.

Dengan mengkritik Leibniz, Voltaire tak hendak tawarkan versi alternatif, tapi ia menolak keyakinan tentang desain terbaik Tuhan. Menurut Voltaire, keyakinan macam itu membuat orang pasrah dan pasif. Voltaire adalah cerminan dari rasionalitas modern. Voltaire adalah anak kandung Pencerahan yang melihat alam sebagai sesuatu yang bisa diketahui dengan sains, dan dikendalikan.

Tapi optimisme Pencerahan yang percaya kuasa manusia (sains dan rasionalitas) membuat dunia lebih baik terkoyak evil-evil baru di awal abad 20. Perang Dunia I dan II, terjadinya pembantaian Yahudi oleh Nazi dimungkinkan karena teknologi dan sains. Pesimisme terhadap janji-janji perbaikan peradaban oleh Pencerahan modern meruyak. Tuhan lagi-lagi digugat dengan alasan adanya kebrutalan. Katastrofi PD I & II dan holocaust mengoyak optimisme modern bahwa rasionalitas adalah solusi. Dunia dilihat sebagai absurditas.

Merebaklah eksistensialisme pada paruh awal abad 20 yang menampik optmisme modernitas sekaligus menggugat Tuhan. Sebenarnya gugatan terhadap Tuhan juga menyertai Pencerahan modern abad 18 dan 19, dalam bentuk atheisme maupun agnostisisme.

Feurbach, filsuf Jerman pendahulu Marx, misalnya, terkenal dengan idenya tentang beragama sebagai alienasi, keterasingan manusia dari dirinya. Bagi Feurbach, agama menjadikan manusia asing dengan dirinya karena ide tentang Tuhan tak lain adalah sifat-sifat ideal manusia itu sendiri. Tuhan, menurut Feurbach, adalah gambaran manusia tentang sifat-sifat idealnya yang dilepas dan diproyeksikan sebagai sesuatu yang di atas, di luar dirinya.

Orang yang beragama menurut Feurbach, menjadi asing dengan dirinya karena ia memahami dirinya sebagai sosok yang lemah tak berdaya. Berhadapan dengan apa Yang Maha Baik/Kuasa/Adil, padahal semua itu adalah sifat-sifatnya sendiri: menyembah potret idealnya sendiri. Dari situ Feurbach menyerukan agar "teologi menjadi antropologi", Tuhan harus dibalikin ke manusia, agar manusia jadi dirinya sendiri. Atheisme Feurbach ini adalah gambaran tentang optimisme Pencerahan modern yang percaya dengan kuasa manusia sebagai tuan terhadap dirinya sendiri.

Memang Pencerahan modern tak meniscayakan atheisme (di Amerika, modernitas dan agama justru kompak). Tapi dipercaya manusia adalah pusat. Nah optimisme modernitas tersebut disingkirkan oleh para pemikir yang mengalami kebrutalan PD I, II. Bagi pemikir Yahudi, holocaust (pembinasaan yahudi) jadi momok.

Muncul atheisme yang bertolak dari maraknya kebrutalan awal abad 20, misalnya oleh Primo Levi, sastrawan Yahudi. Bagi Levi, kebrutalan-kebrutalan tersebut menjadikan posisi Tuhan yang membiarkannya sebagai "immoral," tidak bermoral. Bagi Levi, satu-satunya cara untuk memaafkan ke-tidakbermoral-an Tuhan, yang membiarkan kebrutalan, adalah dengan meniadakanNya. Bagi Levi, penolakan terhadap Tuhan adalah cara untuk menyelamatkan citra Tuhan itu sendiri, karena dengan begitu kebrutalan tak dikaitkan denganNya.

Primo Levi, seorang dengan background keluarga Yahudi orthodoks jadi atheis justru untuk selamatkan citra Tuhan. Apa artinya?. Menurut Levi, manusia modern yang menekankan pentingnya human dignity (martabat) dan human virtue (kebajikan) tak bisa menerima ide konvensional tentang Tuhan. Karena di satu sisi, human dignity dan human virtue justru luluh lantak oleh kebrutalan-kebrutalan, tapi Tuhan tak mampu dan tak mau intervensi.

Jadi Levi, yang didasarkan pada trauma personal sebagai korban holocaust, justru mencoret Tuhan, agar manusia menghadapi sendiri nasibnya. Meyakinkankah Levi untuk men-delete Tuhan sebagai cara untuk membersihkanNya dari keterkaitan dengan kebrutalan-kebrutalan di dunia?. Seorang pengkritik Levi bilang, Levi mungkin saja sukses dalam soal Tuhan, tapi dia sejatinya tak menyentuh soal absurditas dunia. Tuhan di-delete atau tidak, faktanya dunia adalah sesuatu yang absurd, kebrutalan dan penderitaan tanpa ada penjelasan yang memuaskan.

Sang pengkritik Levi lebih tertarik dengan cara Albert Camus menyikapi absurditas, khususnya dalam novelnya The Plague (Sampar). Tidak jelas Camus atheis atau tidak, mungkin juga tidak penting. Yang pasti, Camus melihat dunia sebagai absurditas, dan manusia harus berontak. Semboyan Camus "aku berontak maka aku ada" tercermin dalam sosok Dr. Rieux, karakter utama The Plague.

Bagi Dr. Rieux, sampar bukan sekedar penyakit, tapi hidup itu sendiri adalah sampar . (Novel Camus ini sudah diterjemahkan dengan judul "Sampar'). Namun, kesadaran akan absurditas hidup tak menjadikan Dr. Rieux tak melakukan apa-apa. Justru ia bekerja keras mengobati penyakit itu. Meski akhirnya mungkin ia tak bisa mengubah fakta bahwa hidup itu adalah sampar (absurd), tapi ia tetap memberontak terhadapnya.

Di sini saya jadi teringat Chairil, hidup hanyalah menunda kekalahan, ada yang tetap tak terucapkan, sebelum akhirnya menyerah. Bagi saya, baris sajak Chairil itu spiritnya mirip dengan pemberontakan Camus, padahal sepertinya ditulis sebelum Camus menulis The Plague. Tapi sebelum saya ngaco jadi membahas puisi, ada baiknya kita kita balik ke tema tentang Tuhan dan problem kebrutalan.

Sebenarnya pembahaan tentang tema tersebut dalam filsafat jauh lebih kaya dan lebih beragam dari yang saya paparkan. Tapi tidak apalah. Gratis ini. Mungkin tema itu akan menjadi lebih kaya dengan dilihat dari perspektif teologi Islam klasik, yang merupakan tema bagian 2 tulisan ini.

Saya akan mengulas bagaimana Mu'tazilah, Asy'ariyah, Ghazali, dan Rasyid Ridha bergelut dengan tema "Tuhan dan kebrutalan." Salam.


Akhmal Sahal
Program PhD, University of Pennsylvania & Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar