Sabtu, 31 Januari 2015

Saling Membangga-banggakan Agama Sendiri itu Tercela.


Dalam Islam, membangga-banggakan agama sendiri antar pemeluk agama adalah satu hal yang tercela. Dan itu jadi sebab turunnya ayat 123 An Nisa'.

Suatu ketika kaum muslim bertemu rombongan Yahudi dan Nasrani. Mereka lalu terlibat saling pamer keunggulan agama masing-masing. Kata rombongan Yahudi pada rombongan muslim dan Nasrani: agama kami paling baik, karena Nabi dan kitab kami paling awal. Mendengar itu, rombongan Kristen tidak terima. Mereka bilang: agama kami justru yang terbaik di antara agama kalian. Mendengar klaim orang-orang Yahudi dan Kristen, pihak muslim tidak terima, dan bilang: agama kami yang terbaik karena yang terakhir, paling sempurna. Kalian justru diperintah untuk ikut agama kami. Tidak akan masuk surga orang yang tak mengikuti agama kami.

Tapi Allah justru menolak sikap para pemeluk agama yang terlibat saling membanggakan agama masing-masing. Turunlah ayat 123 An Nisa". Ayatnya: (Ganjaran Allah) tidak didapat dengan angan-angan kalian, juga tdk angan2 ahli KItab. Siapa yg berbuat kejahatan akan dapat balasannya.

Bagaimana maksud ayat di atas? Rasyid Ridla dalam Tafsir Al Manar menjelaskannya dengan mengutip gurunya, Muhammad Abduh. Kata Abduh: kemuliaan agama dan keselamatan pemeluknya tak bergantung pada pernyataan mereka terhadap pemeluk agama lain bahwa agamanya hebat. Kemuliaan agama justru terletak pada ini: jika pemeluknya yakin dengan keunggulan agamanya, lakukan AMAL yang nyata berdasar agamanya. Balasan Tuhan itu berdasar amal, bukan koar-koar membangga-banggakan agama sendiri. Ini berlaku untuk kaum muslim dan juga ahli kitab. Di akhir paparan Abduh menegaskan: agama tidak akan jadi unggul hanya dengan koar-koar membanggakan diri pemeluknya, tapi dengan AMAL nyata mereka.

Setuju dengan Abduh, Rasyid Ridla bilang ayat tersebut adalah peringatan Allah agar muslim tidak koar-koar bangga-banggain agamanya tapi tanpa amal nyata. Di akhir uraiannya, Ridla mengutip Abduh lagi. Abduh menyesalkan sementara muslim masa kini yang terlibat saling bangga-banggain agama. Mereka berkoar, "mana ada agama lain yang lebih hebat dan sempurna dibanding Islam? Tapi ketika ada yang nanya: apa yang udah dikerjakan Islam?. Apa keistimewaan Islam dibanding yang lain? Si muslim yang koar-koar tadi hanya terbengong. Kalau ada yang skpetis, mereka tidak terima. Hasilnya ini: orang yang sesat tetap sesat, yang menghina tetap menghina, yang bangga-banggain tetep begitu. Tidakak mengubah apa-apa.

Abduh lantas menyimpulkan: falkalam katsirun, wa la 'ilma wa la 'amala yarfa'u sya'nal Islam wal muslimin. Artinya: omongnya banyak dan berbusa-busa, tapi tanpa ilmu dan tanpa amal nyata yang mampu mengangkat derajat Islam dan kaum muslimin.

Sementara sikap bangga-banggain agama dicela oleh Qur'an, berlomba-lomba dalam kebaikan antar pemeluk agama justru diserukan. Saya sudah tulis tentang berlomba kebaikan beberapa waktu lalu >> Fatsabiqul Khairat.

Ada yang berpendapat bahwa, lomba kebaikan itu arahnya untuk sesama muslim. Tapi Ridla dalam Tafsir Al Manar bilang itu antar pemeluk agama. Ada dua ayat yang menyebut "fastabiqul khairat", yakni QS 2: 148 dan QS 5: 48. Mari kita tengok tafsir Ridla terhadap dua ayat itu.

Ayat pertama: "Dan masing-masing mempunyai kiblat/ arah yang ia menghadap kepadanya.” Menurut Ridla, "masing-masing" artinya masing-masing pemeluk agama. Masing-masing umat punya kiblat sendiri-sendiri. Muslim menghadap ka'bah, Yahudi Baitul Maqdis, Kristen ke timur, agama-agama lain beda lagi. Artinya, masing-masing agama punya orientasi dan ritual yang berbeda-beda. Namun, Tuhan serukan pemeluknya untuk berlomba dalam kebaikan. Seruan tersebut bukan hanya khusus untuk kaum muslim saja, tapi secara umum berlaku untuk masing-masing pemeluk agama tersebut. Itu dinyatakan Ridla: Wa hadza al amr 'AM muwajjah ila ummah al- da'wah, LA KHASH bil mu'minin al mustajibina lillah wa al-rasul.

Sedang pada ayat kedua, seruan berlomba-lomba dalam kebaikan terkait dengan betapa Qur'an berperan sebagai pembenar dan penyaksi kitab-kitab sebelumnya. Artinya, risalah Muhammad bukan suatu yang baru dan unik dalam sejarah, tapi merupakan bagian dari mata rantai panjang para rasul Tuhan sebelumnya. Agama-agama para Rasul beda-beda dalam praktek ritualnya, tapi sejatinya membawa misi yang sama: tauhid dan kepasrahan pada Allah.

Dalam ayat QS 5: 48, andai Allah mau, bisa saja semua agama dibikin sama dalam syariahnya (aturan dan ritualnya). Tapi kan tidak begitu. Allah justru membiarkan keragaman agama-agama tersebut, dan serukan pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Di akhir ayat, dinyatakan, nanti di akhirat Allah akan memberitahu/ memberi kata putus tentang perbedaan-perbedaan tersebut.

Salah satu pelajaran dari ayat tersebut: agama yang bersumber dari Allah dari dulu sampai sekarang satu: tauhid dan berserah diri pada Allah. Tapi dalam perjalanan sejarahnya, tiap-tiap Nabi membawa syariahnya sendiri-sendiri untuk umat yang beda-beda. Dan tiap-tiap umat punya Rasulnya sendiri-sendiri. Rasul Allah banyak, dan banyak yang tidak dikenalkan Allah pada kita. Namun meski syariah para rasul berbeda-beda, karena tuntutan zaman dan konteksnya, tapi semua membawa misi Ilahi yang sama dan tunggal.

Atas dasar itulah Imam Qatadah, ulama generasi Tabi'in bilang: “Al-din wahid wa al-syariah mukhtalifah. Agama satu, syariah banyak.” Nah, DIN itulah yang juga disebut sebagai Islam dalam artinya yang umum, yakni sebagai tauhid dan berserah diri pada Allah.

Tentang distingsi Islam yang umum dan yang khusus (sebagai nama agama formal yang dibawa Nabi Muhammad) sudah di jelaskan di tulisan di atas. Tapi saya ingin menambahkan paparan Abduh tentang hal itu ketika beliau menafsirkan Ali Imran 19-20 yang dimuat di Tafsir Al Manar.

Kata Abduh: innal muslim al haqiqiy fi hukm al Qur'an man kana khalishan min syawa'ib al syirk bi al-Rahman mukhlishan fi a'malihi ma'al iman, min ayyi millatin kana, wa fi ayyi zamanin wujida wa makan. Sesungguhnya muslim yang sejati menurut Qur'an adalah orang yang bersih/ murni dari ketidakmurnian-ketidakmurnian syirik pada Allah, dan dan ikhlash dalam amalnya (murni demi Allah), dan disertai iman, dari agama manapun, pada zaman kapanpun, dan di manapun.

Definisi Abduh tentang "muslim" mengimplikasikan bahwa yang tidak bersih dari syirik, dan amalnya tidak dengan iman berarti bukan muslim. Artinya, kalau dari agama-agama yang syariahnya beragam tadi ada yang menyimpang dari tauhid berarti menyimpang dari Islam. Tapi itu tak menafikan prinsip "agama itu satu, syariah (aturan dan ritual) beragam.' Karagaman tak halangi lomba kebaikan.

Ada yang menganggap penjelasan tentang fastabiqul khairat mengarah pada keyakinan "semua agama sama." Saya terus terang heran dengan anggapan itu. Tak sekalipun saya pernah menyatakan semua agama sama, tapi tetap saja dituduh begitu. Yang saya katakan, sebagai muslim, saya yakini agamaku yang paling benar. Tapi juga mengakui hak pemeluk agama lain untuk yakini agamanya yang paling benar. Artinya, sebagai muslim saya meyakini bahwa tauhid dan berserah diri pada Allah (islam arti umum) hanya bisa melalui agama Nabi Muhammad. Tapi dengan tahu prinsip "agama satu, syariah beragam", saya menghormati hak pemeluk agama lain untuk meyakini kebenaran agamanya.

Ingat, mengakui hak pemeluk agama lain untuk yakini kebenaran agamanya tak sama dengan menyetujui kebenaran agama tersebut. Keyakinanku berlaku mutlak untuk diriku, tapi dalam pergaulan sosial, toleran terhadap keyakinan lain. Ini sudah saya bahas dalam tulisan sebelumnya.

Dengan prinsip "mutlak ke dalam, toleran ke luar" inilah kita bisa "berlomba dalam kebaikan" dengan umat lain tanpa sikap parno. Dengan sikap "mutlak ke dalam, toleran ke luar," kita tak alergi melihat agama lain dari perspektif dalam. Memahami tak lantas setuju. Toleransi antar pemeluk agama bisa kokoh kalau berkembang juga di antara mereka sikap saling menghormati perspektif agama masing-masing.

Ada yang bertanya, kalau demikian, lantas bagaimana dengan kewajiban berdakwah? Jawab saya, ikuti Qur'an dalam hal metode dakwah. Qur'an mengajarkan muslim untuk tak memaki sesembahan agama lain, yang berarti larangan untuk mencela keyakinan agama lain. Selain itu, Qur'an juga mengajarkan agar dalam berdebat/ berdisikusi dengan pemeluk agama lain secara beradab dan saling menghormati. QS 29: 46: Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka dan katakanlah kepada mereka, "kami beriman dengan kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kami hanya kepada-NYA berserah diri."

Berdakwah ada etikanya. Karena itu, saling membanggakan agama masing-masing dengan merendahkan agama lain dicela Tuhan, karena itu tidak etis. Menilai agama lain dengan mengacu kitab agama tersebut, tapi dengan ilmu pas-pasan dan disertai kebencian, bukanlah dakwah, tapi pamer kebodohan.

Jadi, ketimbang saling bangga-banggain agama sendiri sambil mencela agama lain, yang dicela Qur'an, mending kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Salam.


Akhmal Sahal
Program PhD, University of Pennsylvania & Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar