Sabtu, 31 Januari 2015

Freeport - Kontrak Karya


Kita seharusnya bisa belajar dari pengalaman divestasi saham Freeport Indonesia yang dahulu dibeli oleh Bakrie Copperindo yang kemudian ditransfer ke perusahaan Bakrie lainnya bernama Indocopper Investama. Namun kemudian Indocopper dibeli kembali oleh Freeport yang artinya saham Freeport Indonesia kembali ke Freeport-McMoran. Milik asing - divestasi ke swasta nasional - kembali dimiliki asing. Alangkah bodohnya. Kebodohan yang dipelihara sejak lama.

April 1967 PT Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya untuk menambang tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya.

1991 Freeport mengajukan perpanjangan kontrak karena geolognya menemukan cadangan kelas dunia Grasberg pada 1988 dengan nilai ditaksir US$ 60 miliar. Pemerintah RI, diwakili Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, mengajukan syarat agar Freeport menjual 10 persen lagi sahamnya kepada Indonesia. Sebelumnya, pemerintah Indonesia sudah memiliki 10 persen saham di Freeport. Ternyata, 10 persen saham itu jatuh ke tangan kelompok Bakrie melalui PT Bakrie Copperindo Investments Co. Freeport melegonya seharga US$ 213 juta. Namun, Bakrie saat itu hanya membayar US$ 40 juta, sisanya dibayari Freeport. Bakrie boleh membayar dengan dividen yang akan diterima. Namun, syaratnya: Freeport punya hak membeli kembali saham itu bila Bakrie kelak menjualnya.

1992 Bakrie mendirikan perusahaan baru bernama PT Indocopper Investama dan menempatkan saham Freeport miliknya di sana. Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., pemilik 80 persen saham Freeport, kemudian membeli 49 persen saham Indocopper, lalu menebus separuh saham milik Bakrie dengan harga empat kali lipat. Bakrie terpaksa melego sahamnya untuk membayar utang ke Freeport yang belum lunas.

11 Desember 1992 Indocopper resmi menjadi perusahaan terbuka dan mencatatkan diri (listing) di Bursa Efek Surabaya dengan bendera PT Indocopper Investama Tbk. Sebanyak 0,52 persen saham miliknya dijual kepada publik.

1996 Bakrie menjual kembali sisa sahamnya seharga US$ 315 juta ke PT Nusamba Mineral Industri yang dimiliki Bob Hasan. Namun, Nusamba cuma punya US$ 61 juta. Lagi-lagi, Freeport menutupi kekurangannya. Nusamba cukup membayar utangnya dengan mencicil dari dividen yang diperolehnya. Nusamba menguasai 50,48 persen saham Indocopper.

Februari 2002 Freeport-McMoRan membeli seluruh saham Nusamba.

20 Juni 2002 Indocopper mengubah status perusahaan menjadi go private (tertutup) lagi. Freeport-McMoRan membeli saham milik publik. Sehingga seluruh saham Indocopper dikuasai Freeport-McMoRan.

Awal 2004 Freeport mengajukan permohonan merger Indocopper ke dalam Freeport kepada pemerintah Indonesia. Dengan demikian, komposisi saham tambang emas dan tembaga terbesar di dunia itu adalah Freeport McMoran (81,28 persen), pemerintah Indonesia (9,36 persen) dan Indocopper (9,36 persen).

Agustus 2004 Pemerintah Indonesia menolak permohonan merger dan meminta Freeport segera menjual saham Indocopper pada pihak Indonesia dalam waktu 180 hari. Freeport setuju, asal sesuai dengan harga pasar.


Penjelasan Kontrak Karya (1991) Pemerintah RI dan Freeport

Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport ditandatangani pada 1991, tak lama setelah para geolog Freeport menemukan Grasberg, lokasi yang diperkirakan memiliki cadangan emas terbesar di dunia: 2,6 miliar ton.

Dalam pasal 24 kontrak karya tersebut, FMCG diwajibkan menjual saham Freeport 51 persen. Angka itu di luar jatah 9,36 persen saham Freeport yang dipegang oleh pemerintah Indonesia. Kewajiban divestasi harus dipenuhi oleh Freeport dalam 20 tahun. Tahap pertama, pada 1991 hingga 2001, Freeport wajib menjual 10 persen. FMCG wajib menjual 41 persen lagi saham Freeport ke pihak Indonesia dalam periode berikutnya (2001 hingga 2011).

Ironisnya, dalam pasal yang sama, FMCG juga diberi celah untuk melarikan diri dari kewajiban divestasi. Apabila ada dua pasal yang isinya bertabrakan, FMCG diberi keleluasaan memilih peraturan yang lebih menguntungkan (butir d ayat 2 pasal 24).

Klausul yang tak pernah ada di kontrak karya perusahaan pertambangan di mana pun itu menjadi sumber keruwetan divestasi Freeport. Peraturan itu bisa digunakan untuk menumpulkan kewajiban divestasi oleh FMCG. Peraturan itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang mengizinkan perusahaan asing menguasai 100 persen saham di perusahaan Indonesia. Kami sudah memenuhi kewajiban divestasi yang ada di dalam kontrak, ujar Freeport Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar