Sabtu, 31 Januari 2015

NU, Aswaja, dan Islam Indonesia


Tulisan tentang apa artinya jadi Nahdliyin. Ada sekurangnya 3 pokok bahasan dalam tulisan kali ini: Aswaja, Metode Ber-Islam ala NU; dan NU dan konteks Indonesia. Aswaja = Ahlussunnah wal Jama'ah.

Masyhur diketahu, NU lahir karena antagonisme ulama Indonesia terhadap Wahabisme di Saudi. Anti Wahabi ada dalam DNA-nya NU sejak awal. Gerakan Wahabi yang mau membongkar makam Nabi diprotes keras Ulama Indonesia. NU = Kebangkitan Ulama. Tapi itu hanya trigger. Disebut trigger, karena NU merepresentasikan arus keislaman yang sudah ada sejak awal sejarah Islam: Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja).

Beberapa tahun setelah Nabi wafat, umat konflik dan terpecah. Awalnya soal politik (siapa yang absah jadi pengganti Nabi), terus melebar. Perpecahan itu merembet ke soal doktrin. Menurut Harun Nasution, konflik dalam teologi Islam lahir karena konflik politik, bukan sebaliknya. Perpecahannya parah karena masing-masing sekte mengklaim dirinya yang selamat di akhirat. Hadits tentang 73 golongan dijadikan pembenarnya.

Agar tak melebar, saya akan bahas langsung tentang Aswaja. Lahirnya Aswaja saat itu untuk meredam perpecahan umat. Aswaja sebagai "payung" terhadap al-sawad al-a'dzam (mayoritas umat). Artinya, sejak awal kaum Aswja melihat diri sebagai mainstream umat, penengah antara sekte-sekte seperti Syiah, Khawarij dll.

Dalam rumusan NU, Aswaja= faham Islam yang berdasar 4 mazhab dalam fikih, Asy'ari dan Maturidzi dalam aqidah, Ghazali dan Bushiri dalam tasauf. Memang dalam prakteknya yang jadi patokan oleh NU tak hanya ulama-ulama tersebut. Tapi semangatnya adalah Aswaja sebagai payung besar umat.

NU merinci spirit Aswaja dalam 4 ciri :

1. Tawassuth (sikap di tengah); 2.Ttawazun (seimbang antara dalil akal dan Qur'an-hadits. Dua ciri lainnya: 3. I'tidal (tegak lurus) dan 4. Tasamuh (toleran). Semua itu mengarah pada sikap merangkul ketimbang meng-exclude.

Berikutnya tentang metode keislaman NU. Satu hal yang membedakan NU dengan Wahabi dan Muhammadiyah adalah tentang bagaimana muslim mesti ber-Islam. Faham NU tentang 4 mazhab fikih, Asy'ari dan Maturidzi dalam aqidah. Ini dianggap taqlid (mengikuti saja), ditolak Wahabi dan Muhammadiyah. Taqlid dianggap menyimpang dari prinsip "kembali ke Qur'an hadits." Dulu itu slogan Muhammadiyah, sekarang dipopulerkan Wahabi. "Kembali ke Qur'an hadits" adalah slogan yang sama-sama dipakai kaum pembaharu dan kaum pemurni Islam. Tapi yang dimaksud bisa bertentangan.

Bagi pembaharu seperti Abduh: "kembali ke Qur'an-hadits" perlu karena kaum muslim mundur dan terbelakang karena jumud (beku) akibat taqlid. Menurut Abduh, Islam perlu diperbarui dengan mengacu ke sumber asal. Tapi baginya spirit Qur'an adalah keislaman yang rasional. Kembali ke Qur'an hadits adalah kembali ke spirit Islam yang rasional, dengan ijtihad sebagai kunci untuk pembaharuan Islam. Bagi Abduh, kembali ke Qur'an hadits itu untuk menemukan lagi spirit kemajuan. Ini dasar Soekarno yang bilang Islam is progress.

Pandangan Abduh tersebut berbeda secara diametral dengan "kembali ke Qur'an-hadits" ala Wahabi yang melulu berorientasi pemurnian Islam. Bagi Wahabi, mazhab adalah bid'ah karena yang harus diikuti itu Qur'an dan hadits. Islam mesti balik ke masa awal abad 7, apa adanya. Pemurnian Wahabi artinya menolak peran rasio dalam beragama. Harfiah, tak peduli konteks sejarah. Mereka anti kesadaran sejarah.

Jadi, Abduh dan Wahabi sama-sama ber-motto kembali ke Qu'an-hadits, tapi keduanya bertabrakan. Sekarang kita kembali ke soal NU. Kenapa NU mengikuti mazhab 4? Bagaimana NU memaknai taqlid dan ijtihad? Kenapa NU memilih mengikuti 4 mazhab dalam soal hukum islam? Kenapa tidak langsung ke sumber asalnya, Qur'an-hadits?

Menurut saya, salah satu alasannya: bagi NU, Qur'an hadits memang sumber Islam, tapi itu bahan mentah yang tidak bisa dipetik begitu saja. Untuk mengolah bahan mentah itu menjadi produk keputusan hukum, perlu metodologi, yang dirumuskan para imam mazhab.

Saya mau cerita tentang pengalamanku saat mondok di Ploso, Kediri. Saya di kelas musyawarah yang isinya hanya bahtsul masa'il. Bahtsul masa'il adalah forum pembahasan masalah-masalah menurut hukum Islam. Misal, kalau bunuh diri itu haram, bagaimana dengan euthanasia? (Euthanasia adalah usaha dan bantuan yang dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang yang menurut perkiraan sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan meringankan atau membebaskannya dari penderitaannya).

Di bahstul masa'il, tak ada peserta yang merujuk langsung ke Qur'an hadits, karena merasa awam soal metode, tapi melalui kitab-kitab fiqh. Asumsinya, dalam kitab-kitab fikih itu tersedia contoh-contoh bagaimana ulama-ulama dulu memecahkan masalah. Dari situ dicari analogi dan logikanya, Ulama-ulama tersebut mengolah "sumber mentah" Islam, dan peserta bahtsul masa'il merujuknya sebagai model untuk memecahkan masalah baru.

Dengan kata lain, bagi NU mengacu ke kitab-kitab fiqh sejatinya juga kembali ke Qur'an hadist, tapi "meminjam" metode ulama-ulama kuno. Orang yang merujuk langsung ke Qur'an-sunnah tanpa kompetensi dalam metodenya justru problematis, apalagi hanya mengandalkan terjemahan. Lagipula, menolak mazhab dengan mengklaim "kembali ke Qur'an-hadits" pada akhirnya jadi mazhab sendiri: mazhab anti mazhab.

Tapi seberapa meyakinkan "mengikuti mazhab'? Di kalangan NU sendiri terjadi internal criticism sol ini semenjak dekade 80-an. Di satu sisi, keragaman mazhab dalam hukum Islam adalah berkah untuk umat, karena dengan keragaman pendapat ulama, umat longgar untuk memilih. Meminjam subjudul kitab yang masyhur di pesanren: rahmatul ummah fi ikhtilafil a'immah: rahmat buat umat karena beda pendapat ulama, Contoh: hukum nonmuslim masuk masjid. Ulama beda-beda: boleh kecuali masjidi haram; haram mutlak; boleh mutlak termasuk masjidil haram.

Perbedaan pendapat ulama seperti itu banyak banget kita temukan dalam kitab-kitab fikih mazhab empat. Di situ letak "asyik"nya. Tapi mengikuti mazhab juga bisa bikin pemikiran di NU jalan di tempat dan tidak inovatif. Ada kritik internal di NU tentang ini. Kemandekan pemikiran terjadi kalau cara ikut mazhabnya hanya bersandar pada produk hukum yang dihasilkan ulama kuno, bukan metodenya.

Dalam satu Munas Ulama NU lalu diputuskan, taqlid haruslah kreatif, tak terbatas pada qaul (pendapat) ulama, tapi juga manhaj (metode) nya. Taqlid manhaji (secara metode) adalah terobosan di NU agar dalam merespon masalah-masalah baru, penalaran hukum Islamnya segar, tidak katrok. Taqlid manhaji menuntut penguasaan terhadap metodologi hukum Islam (ushul fiqh).

Meski term "taqlid manhaji" dirumuskan belakangan, tapi sejatinya ulama NU sudah memakainya, terutama dalam soal sikapnya terhadap kebangsaan. Kebangsaan adalah ide modern, belum ada di kitab-kitab politik Islam. Tapi ulama NU menerima ide itu dengan bersandar pada fikih. Dalam hal ini mereka tidak bermazhab secara qauli, tapi manhaji, dengan memakai metodologi dan kaidah-kaidah fikih. Yang dijadikan acuan NU adalah kaidah-kaidah seperti "maslahah 'ammah" (kemaslahatn umum), 'urf (budaya lokal) dll.

Itu misalnya ditunjukkan oleh Kiai Sahal dalam pemaparannya tentang kenapa NU menerima negara pancasila sebagai negara yang sah menurut fikih. Gus Dur pernah menyatakan, persetujuan NU untuk membuang 7 kata dalam piagam Jakarta juga bertolak dari fikih kemaslahatan.

Sikap NU yang memilih mengikuti mazhab sebagai manifestasi dari Aswaja justru memungkinkannya untuk di satu sisi tetap bersandar fikih. Tapi di sisi lain, NU memahami fikih secara kontekstual, misalnya dengan menerima negara pancasila. Artinya, penerimaan NU tersebut merupakan manifestasi dari pengamalan dan penerapan syariah. Di situlah saya kira relevansi Aswaja ala NU dalam konteks keindonesiaan. Sekian. Wallahu a'lam bi al-shawab.


Akhmal Sahal
Program PhD, University of Pennsylvania & Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar