Selasa, 14 Mei 2013

Memuliakan Manusia


Setiap manusia mengawali karir sebagai manusia dalam keadaan dan kedudukan yang sama dan sederajat. Sama-sama dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan, tidak pula mempunyai pengalaman. Sama-sama dalam kedudukan sebagai anak. Setiap orang tua pada mulanya adalah anak, namun tidak setiap anak pada akhirnya adalah orang tua. Oleh karena itulah, dalam rumus amal jariyah, yang disebut oleh Muhammad SAW bukanlah orang tua yang saleh, melainkan anak yang saleh. Disebut saleh, jika seorang anak mengingat dan menyadari dari mana ia berasal: dari sepasang manusia paling berjasa dalam hidupnya: ibu dan ayah. Disebut saleh, jika seorang anak berterimakasih dan mendoakan keduanya. 

Seorang anak dilahirkan ibunya dalam keadaan tidak bisa apa-apa, kemudian Allah menjadikan baginya pendengaran, penglihatan, akal dan hati. Orangtua pula yang memberi modal awal berupa kasih sayang, pengasuhan, pendidikan dan pengajaran, serta keyakinan. Sesuai fitrah pertumbuhan dan perkembangannya, anak belajar dari keluarga, lingkungan, sekolah, dan pergaulan yang lebih luas. Dari pengetahuan, ia kemudian mulai menabung pengalaman hingga akhirnya mencapai kedewasaan dan cukup mumpuni untuk mengambil keputusan berdasarkan akal sehat dan hati nurani.

Pertanyaan mendasar setiap manusia mulai muncul di benak setiap anak ketika ia beranjak menyentuh pubertas. Ia mulai bertanya tentang siapa sesungguhnya dirinya, untuk apa ia hidup di dunia, dari mana ia sejatinya berasal, dan ke mana ia akan berpulang. Yang juga fundamental adalah pertanyaan tentang mengapa anak mengikuti agama dan keyakinan orang tua. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW, "Orangtualah yang pada awalnya menjadikan seorang anak itu beragama Islam, Nasrani, Majusi, atau Yahudi." Pada usia yang sekarang, sampai hari ini, masihkah kau beragama sesuai agama keturunan? Masihkah kau bertuhan sesuai dogma orangtua, doktrin guru, atau pengaruh lingkungan? Mengapa kau tidak memulai sendiri perjalanan menemukan kesejatian hidup, mulai sekarang juga?

Menemukan jatidiri adalah babak terpenting dari riwayat panjang langkah hidup setiap anak manusia. Yang selayaknya paling awal disadari adalah hidup ini sebuah anugerah yang tiada tara. Manusia ada bukan karena adanya sendiri. Manusia ada bukan karena usahanya sendiri, bukan atas prestasinya. Kau dan aku ada karena Allah. Kau dan aku ada tanpa modal yang kita himpun sendiri sehingga sesungguhnya tidak tahu diri jika kita berhitung rugi-laba. Begitu dilahirkan, kita langsung balik modal. Dari yang hanya datang dalam keadaan telanjang, kita kemudian menerima pelukan, kasih-sayang, adzan dari ayah, air susu ibu, pakaian, dan kehangatan keluarga. Sehingga, seiring waktu, yang kita peroleh adalah untung, untung, untung, dan untung, yang terus-menerus tanpa henti.

"Shiratha 'l-mustaqim," jalan yang lurus, yang manusia mohon kepada Allah, sebagaimana tersurat dalam Q.S. Al Fatihah: 6, dipaparkan dalam ayat lanjutannya sebagai "shiratha 'l-ladziina 'an'amta 'alaihim", yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat. Pendek kata, jalan yang lurus adalah jalan yang nikmat. Sesiapa pun yang pandai bersyukur, ia berada di jalan yang lurus itu. Sesiapa yang pandai bersyukur, Allah menganugerahkan baginya tambahan kenikmatan. Sesiapa yang kufur, yang menyangkal kenikmatan dari Allah, yang lebih suka mengeluh dan menggerutu, ia berada di jalan yang bengkok, yang tidak lurus. Kenikmatan mencapai kedudukannya sebagai kebahagiaan jika kenikmatan itu dibagikan kepada sesama, dari lingkungan yang terdekat.

Maka, menghitung karunia dari Allah, apalagi mempertanyakan dan mendustakannya, adalah cara paling buruk untuk menikmati hidup. Mencari untung belaka, meski dengan cara merugikan sesama, adalah hidup yang merugi. Menolak untuk memuliakan sesama manusia dan memuliakan kehidupan hanya demi menghindari kerugian, adalah itikad hina untuk menolak kedudukannya sendiri sebagai manusia yang dengan karunia akal telah dimuliakan oleh Allah di antara makhluk-makhluk lainnya. Akal selayaknya digunakan untuk memuliakan sesama, bukan justru untuk menghina liyan.

Belajar ilmu apa pun, pada dasarnya dimulai dari mengenal diri sendiri dan pada puncaknya diakhiri dengan menjadi diri sendiri. Sepanjang hayat pembelajaran itu, setiap manusia harus senantiasa berjumpa dengan diri sendiri. Terus-menerus berdialektika dengan harmoni dan dinamika dirinya sendiri. Seseorang justru tumbuh ke arah kesia-siaan jika kehilangan jatidirinya, apalagi hanya gara-gara ingin menjadi orang lain. Untuk menjadi seperti orang lain, kau perlu menempuh waktu sepanjang hayat orang itu. Padahal, kau telah menjadi dirimu sendiri seumur hidupmu hingga kini. Berubah menjadi orang lain adalah hidup yang gagal.

Kegagalan demi kegagalan akan dialami seorang manusia jika ia mengambil jarak dan semakin jauh dari kemanusiaannya sendiri. Semakin tidak manusiawi seseorang, semakin ia tidak layak diklasifikasikan sebagai manusia. Allah telah menciptakan manusia dalam keadaan dan kedudukan paling baik, sebagaimana dipaparkan dalam Q.S. At-Tiin, namun oleh karena polah tingkahnya sendiri justru manusia diturunkan derajatnya menjadi hina. Memimpin dirinya sendiri saja gagal, apalagi berperan sebagai khalifah fil 'ardhi, pemimpin bumi. Lihatlah ke dalam dirimu, apakah kau masih pantas disebut manusia. Apakah kau manusia yang dengan akal dan hati telah memuliakan sesama?

Candra Malik, pengasuh Kelas Sufi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar