Selasa, 14 Mei 2013

Does the President matter?


Pertanyaan, "does the President matter?” rasanya perlu direnungkan. Sejauh mana sesungguhnya kebijakan dan instruksi Presiden berdampak bagi keadaan Republik?

Dalam sistem desentralisasi kini, Presiden tak bisa mengangkat, mempromosikan atau memecat kepala daerah. Presiden juga tak bisa menguasai media massa. Termasuk TVRI. Sementara tokoh-tokoh oposisi bisa.

Mungkin karena sistemnya atau faktor psikologi SBY, Presiden bahkan tak bisa efektif arahkan menteri-menterinya. Seperti kasus harga bawang kini, tak terlihat ada koordinasi antar kementerian. Mungkin bisa dilihat pada banyak kasus lain.

Kabinet ini tak sepenuhnya presidensiil. Menteri bisa lebih taat kepada garis partainya atau pemimpinnya. Tapi juga tak sepenuhnya parlementer. Menteri-menteri itu bisa dievaluasi, diberhentikan dan diganti Presiden. Kabinet tak bisa dijatuhkan. Menteri bisa dievaluasi, tapi tak jelas apakah SBY melakukan itu dengan konsisten. Yang jelas: tak ada yang diganti karena prestasinya buruk.

Jadi perlu direnungkan: does the President matter? Tidakkah bupati dan walikota yang lebih punya dampak bagi keadaan/ perubahan? Jika dilihat begitu, yang ingin bikin perubahan sebenarnya lebih baik berjuang di tingkat daerah.

Apalagi sulit banget jadi presiden. Untuk jadi presiden, harus punya partai yang boleh ikut pemilu plus dana besar untuk kampanye. Bagaimana misalnya kalau Jokowi yang diminta rakyat untuk bertarung jadi presiden, apakah diperlukan syarat-syarat diatas juga? Sudah pasti. Dia harus dicalonkan setidaknya oleh salah satu partai yang ikut pemilu. Dan harus punya dana besar! Maka yang ada politik oligarki: kuasa orang kaya.

Kalau toh ada partai yang bersedia mencalonkan Jokowi, sudah hampir pasti partai kecil. Terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualis. Partai kecil memerlukan tokoh populer untuk menaikan perolehan suara mereka. Si tokoh populer memerlukan kendaraan untuk memenuhi ambisinya.

Dilain pihak, artai besar cenderung mencalonkan ketua atau “cukong” mereka sendiri. Kalau toh ada pengusaha kaya bersedia mendukung pendanaan buat kampanye tokoh populer, Jokowi misalnya, sudah hampir dipastikan ada kacang dibalik rempeyek. Dia tentu sedang berinvestasi untuk masa depan. Tidak ada makan siang yang gratiskan?

Lalu bagaimana dong? Apakah negeri ini memerlukan reformasi jilid-2 supaya bisa melepaskan diri dari kemelut tak berkesudahan ini?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar