Selasa, 28 Mei 2013

Derita Putus Cinta


Kalau otak yang jatuh cinta demikian berbeda antara laki-laki dan perempuan, apakah ada perbedaan bila keadaannya adalah putus cinta? Apa sebenarnya yang terjadi pada orang-orang yang sedang mengalami keadaan putus cinta? Sebetulnya kekacauan ini (lagi-lagi) adalah hasil kerja otak.

Sakit akibat putus cinta beda mekanisme dengan keadaan neurologis pada saat seseorang mengalami jatuh cinta, meski kadang-kadang gejalanya mirip.

Kita jangan heran kalau cinta romantis bisa bangkit lagi justru karena rasa kehilangan, atau karena ditinggal pasangan. Keadaan ‘ditinggalkan pasangan’ ini mempertinggi gejala cinta membara dalam area-area otak percintaan, baik pada laki-laki maupun perempuan.

Dalam keadaan putus cinta, area tertentu di otak dengan mati-matian dan penasaran mencari orang yang dicintai. Dan penarikan diri mengambil alih peranan. Penarikan diri (seperti gejala orang lepas obat narkoba). Muncul pada saat-saat ketika seseorang merasa kelangsungan hidupnya terancam.

Menemukan pasangan dan bereproduksi, punya keturunan, adalah hal penting bagi setiap spesies, termasuk spesies manusia. Selanjutnya, terpiculah suatu keadaan waspada yang dipenuhi ketakutan dari dalam amigdala. ACC (bagian otak yang terlibat dalam pemikiran kritis dan kekhawatiran) mulai menghadirkan pikiran negatif tentang kehilangan orang yang dicinta.

Dalam keadaan termotivasi yang sangat kuat ini untuk mempertahankan hak milik, pikiran-pikiran obsesif untuk bersatu kembali mulai menguasai pikiran. Keadaan ini bukannya memunculkan kepercayaan dan nyaman, tapi malah upaya yang menyakitkan dan tak kenal lelah untuk mencari pasangannya.

Pada putus cinta, timbul penarikan diri secara emosi, fisik, kognitif, yang berasal jauh di bawah sadar, dari area-area otak yang digerakkan konsep pahala. Semangat yang membesar mengembang pesat selama tahapan cinta romantis, akan mengalami pengempisan mendadak yang menyakitkan saat putus cinta.

Otak perempuan yang mengalami penghianatan atau putus cinta akan memberikan respon yang berbeda dengan otak laki-laki. Bila putus cinta terjadi, laki-laki yang ditinggalkan 3-4 kali lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri dibandingkan perempuan.

Sebaliknya otak perempuan akan merespon putus cinta dengan lebih mungkin tenggelam dalam depresi. Seorang perempuan yang putus cinta bisa tidak sanggup makan, tidur, bekerja dan berkonsentrasi. Ini sangat menyakitkan secara fisik dan psikis. Seorang gadis yang putus cinta bisa menggeletak dilantai, meratap tanpa bisa ditenangkan. Tidak mau makan tidak mau tidur.

Sampai kira-kira 15 tahun yang lalu, kita mengira bahwa idiom seperti ‘sakit hati’ atau ‘patah hati’ hanyalah idiom puitis. Tapi riset-riset terbaru tentang respon otak terhadap putus cinta menyatakan bahwa rasa sakit benar-benar timbul seperti yang pada rasa sakit fisik.

Otak putus cinta memperlihatkan perubahan kimiawi dari aktifitas yang tinggi akibat cinta asmara ke biokimia yang datar akibat kehilangan dan duka. Hilangnya gelombang dopamin secara mendadak akibat putus cinta akan menimbulkan depresi dan kesedihan di otak.

Sakit otak akibat putus cinta oleh tubuh dikembangkan sebagai alarm fisik untuk menyiagakan kita terhadap berbagai bahaya perpisahan sosial. Memperoleh makanan, pengasuhan, dan perlindungan demi daya hidup manusia, juga sama pentingnya.

Mengingat semua kepentingan itu, rasa sakit akibat kehilangan dan penolakan, secara evolusioner sudah tertata kuat dalam otak kita. Sehingga, sebenarnya otak juga sudah mempunyai caranya sendiri untuk menghindari rasa sakit akibat putus cinta.

Hingar bingar gelombang pasang neurotransmiter cinta yang mendadak surut, benar-benar menimbulkan sakit, otak kita harus menemukan jalan keluarnya.

“Rencana cadangan” sebenarnya juga sudah tersusun di otak untuk menghadapi rasa sakit akibat putus cinta. Antara lain dengan segera beralih ke orang lain yang bisa membuat terpukau dan mabuk kepayang lagi, akan mengurai rasa sakit akibat putus cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar