Jumat, 22 Agustus 2014

Terlahir Sebagai Cina & Yahudi

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling pandai beradaptasi. Sejarah umat manusia sudah membuktikannya. Manusia bisa hidup di panasnya gurun pasir dan dinginnya kutub. Manusia bisa hidup dalam keadaan sesulit apapun!

Manusia bahkan memiliki kemampuan untuk menipu diri sendiri. Semua itu berkaitan dengan kemampuan survival nya. Dalam tulisan ini saya ingin membahas tentang dua ras yang seringkali menjadi sasaran kebencian dan rasa cemburu. Cina dan Yahudi.

Kebetulan keduanya memiliki persamaan. Baik orang-orang Cina dan Yahudi sama-sama merupakan suku bangsa yang berdiaspora. Mereka menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan satu tujuan: mencari kehidupan yang lebih baik.

Mereka juga punya persamaan dalam bertahan hidup, yaitu sama-sama gigih dan kreatif menyiasati keadaan, bahkan banyak yang menganggapnya licik. Persamaan lainnya yang mirip adalah kemampuan mereka menerima penderitaan dan hidup dalam keprihatinan.

Karena hidup di negara asing dan sering berada dalam keadaan terancam maka mereka cenderung bersatu dengan sesamanya. Persamaan-persamaan tersebut bisa dianggap juga sebagai "kualitas" mereka. Kualitas-kualitas inilah yang akhirnya menjadi kunci sukses banyak diantara mereka.

Saya ceritakan sedikit tentang teman jaman SD dulu, kebetulan dia adalah keturunan Tionghoa. Saat itu orang tuanya tidak terlihat sebagai orang kaya. Bahkan tiap hari kesekolah dia jalan kaki, seperti sebagian anak-anak lain. Teman saya ini juga tidak pernah diberi uang jajan oleh orang tuanya. Ketika sesekali berkunjung kerumahnya, kehidupan keluarga teman saya tersebut sangat sederhana. Lauk yang mereka makan hanya ikan asin, tahu tempe dan sayur-mayur. Namun karena dia dalam masa pertumbuhan, teman saya ini mendapat keistimewaan menikmati satu butir telur setiap hari. Ayah teman saya ini rupanya sangat keras pada anaknya. Ketika suatu saat dia dapat nilai jelek diapun dimarahi habis-habisan sepanjang jalan.

Sungguh seperti keajaiban ketika usaha ayah teman saya ini mulai membesar. Yang mengherankan, meski mampu melebarkan usahanya namun gaya hidup mereka tidak banyak berubah. Tiap hari dimeja makan masih terhidang makanan yang sama, ke sekolah masih jalan kaki. Cuma kali ini usahanya jadi lebih besar. Kelak setelah lulus SMA teman saya ini melanjutkan sekolahnya ke ibukota. Setelah itu kami tak pernah ada kontak lagi.

Dari cerita diatas kita bisa melihat ada "kualitas" tertentu dari keluarga teman saya ini yang tidak kita semua miliki. Gaya hidup mereka tidak segera menyesuaikan diri dengan meningkatnya kemampuan finansial mereka. Bandingkanlah dengan kita yang justru sering sebaliknya. Gaya hidup mendahului kemampuan. Akibatnya terlilit hutang.

Sama seperti etnis Tionghoa, orang-prang Yahudi juga memiliki keuletan dan sikap hemat yang sama. Penderitaan hidup mengajarkan pada mereka bagaimana caranya bertahan dan menggapai keberhasilan. Jadi jangan heran jika banyak diantara mereka (tidak semua) sukses baik secara finansial, pendidikan maupun karier.

Sama seperti orang-orang Tionghoa, orang-orang Yahudi juga menjadi sasaran kecemburuan atas kesuksesan mereka. Bahkan kecemburuan tersebut dilegalisasi dalam kebijakan-kebijakan penguasa yang bersifat diskriminatif terhadap mereka. Namun apa hasilnya? Alih-alih menghambat mereka, namun justru mereka menjadi kreatif dan semakin kuat karena segala pembatasan tersebut.

Ambil contoh pembatasan Gubernur Jendral Nieuw Amsterdam, Peter Stuyvessant terhadap orang Yahudi untuk tidak boleh menjadi ambtenaar. Akibatnya orang-orang Yahudi justru menjadi penguasa di dunia perdagangan dan industri saat itu. Melihat hal ini Peter Stuyvessant membuat kebijakan baru yang membatasi komoditas-komoditas strategis tertentu tidak boleh disentuh orang Yahudi. Salah satunya adalah pelarangan berjualan pakaian baru. Akibatnya justru orang-orang Yahudi ini menguasai perdagangan pakaian bekas. Pelarangan bagi orang Yahudi untuk mengelola komoditas kapas justru melahirkan kreatifitas Yahudi bernama Levi Strauss. Dia buat celana dari terpal bahan layar kapal yang diberi nama Jeans. Hingga saat ini jeans bertahan sebagai bahan pakaian pilihan. Wilayah Nieuw Amsterdam ini oleh orang-orang Yahudi dinamai New Jerusalem. Kelak setelah direbut Inggris dari Belanda namanya diganti New York.

Hal serupa juga dialami oleh orang-orang Tionghoa di negeri ini. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan penguasa pada akhirnya justru memperkuat mereka. Di masa Orba orang-orang Tionghoa sangat dibatasi perannya dalam politik dan karier di pemerintahan. Apa akibat dari pembatasan-pembatasan tersebut? Mereka justru menjadi kuat di bidang lain. Antara lain bidang olah raga dan ekonomi.

Jadi sesungguhnya tepatkah kebijakan-kebijakan diskriminatif itu diterapkan? Apakah melemahkan atau justru membuat mereka fokus di bidang lain? Lebih jauh lagi, apakah kebijakan-kebijakan diskriminatif untuk melindungi pribumi itu pernah mencapai hasilnya, atau justru melemahkan pribumi? Proteksi-proteksi atas nama perlindungan terhadap pribumi itu tak pernah memperkuat sebuah bangsa, justru melemahkan pribumi itu sendiri.

Seharusnya yang dilakukan penguasa adalah memberdayakan pribumi agar memiliki kualitas-kualitas unggul yang dimiliki saudara-saudara kita dari suku Tionghoa. Seperti: kegigihan, sikap hemat, kreatifitas, tidak malu berdagang, dll. Sehingga mereka bisa bersaing secara sehat. Karena kebijakan-kebijakan yang berasal dari sikap cemburu dan iri atas keberhasilan pihak lain tak akan pernah membawa kita kemanapun.

Kita seharusnya bersikap dewasa dan positif terhadap ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Lebih baik kita mencontoh kualitas-kualitas yang mendorong keberhasilan saudara-saudara kita etnis Tionghoa dibanding terus menerus iri hati terhadap mereka. Perlu dicatat juga bahwa tidak semua etnis Tionghoa itu sukses. Percaya tidak percaya ada juga diantara mereka ini yang jadi pengemis!

Satu hal yang penting dipahami lagi, orang-orang Tionghoa jaman dulu itu sudah jauh berbeda dengan yang muda-muda sekarang ini. Teman-teman generasi muda Tionghoa saat ini tak beda jauh dengan kita saat ini. Mereka juga jadi korban gaya hidup dan hedonism. Jadi, saat ini peluang sukses bagi semua warga negara Indonesia sama besarnya. Tak perduli dari etnis apapun mereka!

Janganlah kita mengeneralisir dan bersikap rasis terhadap suatu etnis hanya karena kelakuan sebagian dari mereka. Bahkan Nabi Muhammad SAW telah memberi tauladan terbaik bagaimana kita harus bersikap perihal masalah rasis ini. Kita tidak boleh lupa bahkan salah satu istri Nabi Muhammad SAW, Shafiyah binti Huyay adalah keturunan Yahudi. Ada pula kisah dimana Rasulullah rutin menyuapi seorang pengemis tua yahudi yang selalu memfitnahnya. Ironisnya si pengemis yahudi ini tak pernah tahu bahwa yang menyuapinya itu adalah orang yang selalu dihujatnya, Nabi Muhammad SAW.

Ada kisah lain ketika sekujur mayat Yahudi diusung melewati Nabi Muhammad SAW. Sekonyong-konyong Nabi berdiri untuk menghormati. Sahabat berkata ya Rasulullah, mengapa engkau berdiri, ini kan jenazah orang Yahudi? Nabi Muhammad SAW menjawab, Yahudi juga manusia, kitapun harus menghormatinya.

Lihatlah tauladan yang diberikan! Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan kita untuk membenci suatu etnis tertentu. Beliau toleran! Tak pernah ada jaman dimana sikap rasis bisa melemahkan pihak yang dijadikan korban. Bahkan pembasmian etnis sekalipun justru akhirnya memperkuat mereka. Tak ada gunanya sama sekali!



Justru pendekatan dengan meniru kelebihan-kelebihan kualitas merekalah yang akan jauh lebih efektif melahirkan keadilan secara lebih alamiah. Jika ingin kaya belajarlah berusaha, hidup hemat dan kreatif. Tak pernah ada cerita orang jadi kaya dengan hanya iri terhadap sukses orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar