Jumat, 22 Agustus 2014

Cara Cerdas Beli Rumah Dengan Harga Murah

“Menjadi kaya dengan cara halal saja mudah kenapa harus pakai cara haram?”

Saya akan menunjukkan bagaimana seseorang bisa menciptakan kekayaan dengan cara mudah dan halal asal tahu caranya. Dengan mempelajari penjelasan ini baik-baik. Anda akan bisa memperoleh keuntungan yang tidak terhingga jumlahnya. Tapi janji ya, 5% dari keuntungan akan anda sedekahkan. Saya jamin kekayaan anda justru akan bertambah.

Penjelasan ini benar-benar merupakan materi baru yang belum ada di toko buku manapun karena murni berasal dari pengalaman pribadi. Rumah/tanah adalah investasi yang baik karena harganya cenderung naik sepanjang waktu. Biasanya orang berinvestasi rumah untuk kepentingan jangka panjang. Menunggu harga pasaran naik baru dijual. Proses itu butuh waktu yang lama, bertahun-tahun bahkan bisa puluhan tahun. Keburu tua, sakit-sakitan, tidak bisa menikmati hasilnya.

Bagimana jika ada cara untuk mendapatkan keuntungan berlipat-lipat tanpa proses menunggu lama seperti itu? Menarik bukan? Bagaimana rasanya jika seketika setelah kita beli, rumah tersebut sudah bisa kita jual dengan keuntungan 50%-100%?

Meskipun orang sering bicara tentang “harga pasaran”, sesungguhnya harga property itu tidak ada standardnya. Berbeda dengan komoditas lain seperti rokok, beras, susu, emas, dll yang sudah ada harga standarnya, harga property sangat bergantung pada sikon. Nah, untuk mendapatkan hasil yang luar biasa tentu tidak bisa didapatkan dengan cara yang biasa-biasa saja. Perlu cara yang luar biasa pula. Kita tidak akan mungkin bisa membeli rumah dengan harga semurah-murahnya dengan membelinya dari developer atau dari masyarakat umum.

Anggaplah bisnis property itu seperti permainan. Maka siapa yang paling menguasai aturan main, dialah yang akan memenangkannya. Kuncinya disini adalah bagaimana kita bisa membeli rumah dengan harga semurah mungkin? Jawabannya adalah pihak yang sedang kepepet butuh uang atau pihak yang terikat pada aturan-aturan tertentu untuk menjual secara murah.

Nah, sampai disini solusinya mudah bukan? Kita tinggal menunggu di UGD siapa tahu ada orang sekarat yang butuh dana untuk operasi. Dengan wajah innocent kita bisa tanyakan pada pihak keluarga: “pingin jual rumah atau mati pak?” Atau kita bisa ngetem di Pengadilan Agama, siapa tahu ada pasangan yang mau bercerai dan segera urus harta gono gininya. Kedua cara diatas memang betul ada yang mempraktekkan, tapi tentunya terlihat kurang manusiawi. Tidak layak dilakukan! Lantas dimana kita bisa mendptkan rumah dengan harga super murah tersebut? Jawabannya adalah di BANK!

Dari pengalaman kami ternyata selalu saja ada kasus kredit macet di bank manapun di seluruh daerah. Tidak ada bank yang tidak ada kredit macetnya. Tapi tentu saja kita tidak bisa sekonyong-konyong datang ke bank tersebut lalu menanyakan tentang kredit macetnya. Pasti akan dijawab tidak ada. Lalu bagaimana cara dapat infonya? Bisa dengan menjalin hubungan dengan marketing kredit bank-bank atau dengan bagian kolektor bank tersebut.

Pertanyaannya, mengapa kita bisa mendptkan rumah dengan harga murah dari kredit macet di bank? Apa bank sedemikian bodohnya? Tentu saja tidak. Jawabannya adalah karena aturan-aturan perbankan dan hukum memang seringkali memaksa mereka jual murah. Untuk lebih mudah mempelajarinya, sebaiknya kita langsung masuk ke sebuah kasus saja.

Pak Agus membeli rumah senilai 300 juta dengan dibiayai oleh Bank A untuk termin kredit selama 10 tahun. Setelah 5 tahun kredit berjalan tiba-tiba ekonomi Pak Agus mengalami masalah. Apa kira-kira yang akan terjadi terhadap rumah Pak Agus tersebut? Tentu banyak yang berpikir jika macet maka pihak Bank akan serta merta menyita rumah tersebut. Kenyataannya tidak seperti itu. Bank atau siapapun tidak diperbolehkan menyita property yang menjadi jaminan pinjaman. Jadi hati-hati meminjamkan uang dengan jaminan sertifikat ya.

Yang dapat dilakukan oleh pihak Bank terhadap debitur macetnya adalah meminta kerjasama mereka untuk menjual sendiri rumah tersebut secara suka rela. Biasanya Bank memberi tenggang waktu tertentu sebelum masuk proses lelang. Ini aturan yang harus ditaati oleh bank manapun. Dari hasil penjualan tersebut, sebagian akan diambil pihak bank untuk melunasi hutang-hutangnya. Sebagian sisanya adalah hak dari debitur.

Namun disinilah persoalannya. Rumah bukanlah asset yang likuid (mudah dijual), menjual rumah tidaklah semudah menjual emas. Disamping itu persoalan seringkali dipersulit dengan sikap greedy/serakah si debitur macet ini. Dalam kondisi harus cepat ambil sikap ini pihak debitur justru sering menghambat dengan menginginkan harga jual yang tinggi untuk rumahnya. Di satu sisi pihak Bank juga sering memperkeruh keadaan dengan cara meneror debitur dengan ancaman menyita atau lelang. Inilah sebabnya mengapa banyak kasus kredit macet yang “terpaksa” harus masuk proses lelang.

Proses lelang ini seharusnya dihindari karena akan merugikan semua pihak, baik debitur maupun kreditur. Mengapa demikian? Dari sisi peminjam. Jika rumahnya harus sampai masuk proses lelang, maka resikonya adalah sbb:

A) Resiko Psikologis, debitur akan merasa malu pada keluarga atau tetangganya apabila rumahnya sampai dilelang.

B) Tidak ada kebijakan pemotongan hutang dari pihak Bank. Karena debitur yang sampai masuk proses lelang dianggap tidak kooperatif oleh pihak Bank. Perlu diingat bahwa jika sampai proses lelang, hutang debitur akan membengkak karena ada bunga berbunga dan denda.

C) Jika hasil lelang rumah tersebut terjual lebih rendah dari hutangnya maka hutang debitur masih dianggap belum lunas oleh pihak Bank. Point C tersebut sangat menakutkan bagi debitur macet. Bayangkan, rumah sudah hilang tapi hutang belum lunas juga.

Dari sisi Bank pun proses lelang bukanlah opsi yang populer karena mengandung resiko-resiko sbb:

A) Makin lama sebuah kredit macet terselesaikan akan menaikkan tingkat NPL (Non-Performing Loan) Bank tersebut.

B) Dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk masuk ke proses lelang seperti; proses pengadilan, pengumuman lelang, dll. Apabila prosedur tersebut tidak dipenuhi oleh pihak Bank maka mereka justru bisa dituntut balik oleh si debitur macet. Belum lagi upeti-upeti yang harus dikeluarkan bank dalam proses pengadilan maupun proses lelang itu sendiri.

C) Jarang ada propetry yang laku terjual pada proses lelang pertama. Mengapa demikian? Karena ada ketentuan yang mengharuskan bank untuk menetapkan limit lelang sesuai harga penilaian wajar dari appraisal independen. Selain itu pembelian melalui lelang juga tidak bisa dilakukan dengan pembiayaan bank. Harus cash. Jadi jika kita ingin beli lewat lelang seharusnya membeli pada lelang ke 2 karena harganya akan terjun bebas. Tapi ingat, harus siap uang cash.

Penting pula untuk diketahui bahwa dalam urusan kredit macet, biasanya bank melakukan tindakan “Write Off.” Write Off adalah penghapusan hutang dari pembukuan. Write off sering dilakukan untuk memperbaiki/mempercantik neraca keuangan. Setelah proses write off ini maka berapapun uang yang diterima dari jaminan tersebut akan dianggap sebagai keuntungan pihak bank. Jadi jelas disini bahwa bank tidak memiliki kepentingan untuk menjual dengan harga tinggi jaminan tersebut tetapi cukup kembali hutang pokoknya saja.

Nah, karena kerepotan-kerepotan diataslah maka kita bisa meminta pada Bank untuk memberikan berbagai keringanan dan potongan. Syaratnya rumah harus terjual sebelum tenggat waktu proses lelang (tenggat waktu inipun bisa dinego jika kita serius mau beli). Jadi point-nya disini baik pihak Bank maupun debitur sama-sama takut jika masuk ke proses lelang. Disinilah kita bisa "bermain."

Sekarang kita masuk ke bagian paling krusial dari proses ini. Setelah mendapat info tentang nasabah yang kreditnya macet tersebut kita bisa hubungi yang bersangkutan. Kita tanyakan, berapa rumah tersebut akan dijual. Sampaikan saja bahwa kita sudah dapat info bahwa rumah tersebut segera akan dilelang bank, Sampaikan pula resiko-resiko yang akan dihadapi debitur bila rumah tersebut sampai masuk ke proses lelang.

Setelah ada sikap kerjasama dari debitur ajaklah debitur untuk meminta kepada pihak bank perincian kreditnya. Proses ini harus dilakukan oleh dibitur sendiri karena kita tidak bisa meminta pihak bank memberi perincian hutang orang lain. Setelah mengetahui perincian hutangnya kita bisa meminta appraisal independent (penilai property) untuk menentukan harga rumah tersebut. Jika selisih hasil penilaian pihak appraisal dan besar sisa hutang pokoknya cukup besar maka property tersebut layak ditindak lanjuti. Dari pengalaman kami ternyata selalu saja ada kasus kredit macet di bank manapun di seluruh daerah. Tidak ada bank yang tidak ada kredit macetnya.

Tips: Hasil penilaian appraisal terehadap rumah tersebut tidak boleh diketahui oleh debitur. Hanya kita saja yang boleh tahu.

Dalam kasus Pak Agus, setelah 5 tahun mencicil tentu hutang pokoknya berkurang. Disamping itu harga rumahnya pun sudah naik. Anggap saja sisa hutang pokoknya tinggal 200 juta sedangkan harga property tersebut saat ini menjadi 550 juta. Maka ada selisih yang cukup lebar disini.

Jika Pak Agus berkeras menjual rumahnya dengan harga pasar, tentu butuh proses lama untuk menjualnya. Keburu dilelang. Tapi kita juga tidak boleh semena-mena menekan debitur demi keuntungan. Tanyakan saja apa harapan pak Agus dalam proses ini. Dalam kondisi tidak ada pilihan biasanya debitur akan cukup bahagia jika dia bisa memperoleh “cash back” atas rumahnya tersebut. Anggap saja pak Agus butuh “cash back” 100 juta atas rumah tersebut maka kita bisa membeli rumah senilai 550 juta hanya dengan harga 300 juta saja. Kalau bisa Pak Agus kita ajak bernegosiasi untuk menurunkan harapannya itu. Sambil ingatkan lagi tentang resikonya jika sampai lelang.

Jadi kuncinya disini bukan tentang berapa harga rumah yang akan kita beli tapi berapa cash back yang diharapkan debitur. Jika Pak Agus terlalu serakah kita tinggalkan saja. Sampaikan pada beliau lebih baik kita beli di lelang saja. Bisa lebih murah. Sebagai orang awam biasanya Bank membodohi pak Agus dengan kewajiban terlalu tinggi yang harus dibayarkan oleh pak Agus. Bank tidak akan serta merta memotong bunga dan denda hutang pak Agus tanpa adanya negosiasi. Untuk kasus pak Agus tersebut bisa jadi kewajiban yang harus dibayarkan menjadi sebesar 350 juta (hutang pokok + bunga berbunga + denda).

Setelah ada kata sepakat barulah kita bersama pak Agus menghadapi bank untuk berjuang menghapus bunga dan denda. Kita ajarkan pada Pak Agus untuk mengatakan pada pihak bank bahwa hanya mau menjual rumahnya jika bank bersedia menghapus seluruh bunga dan denda. Dari pengalaman kami. Selalu terjadi proses negosiasi yang sengit dengan pihak bank pada tahap ini. Kenyataannya kami selalu memenangkan negosiasi, karena kami tahu betul betapa beratnya bank jika harus masuk proses lelang.

Kunci negosiasi: “Selama kita tidak takut kalah maka kita akan sering menang. Jika kita takut kalah maka kita akan selalu mengalah.” Sampaikan pula pada pihak bank resiko-resiko jika sampai masuk proses lelang. Sampaikan tidak ada orang yang mau beli pada lelang pertama. Sampaikan pula bahwa bagaimanapun kita akan tetap bisa membeli rumah tersebut tapi pada lelang kedua, dan bank tentu akan rugi besar. Biasanya pihak bank akan membantah kita. Namun percayalah sesungguhnya mereka takut juga. Ini hanya bagian dari negosiasi. Jadi kuncinya disini adalah kemampuan kita bernegosiasi dengan pihak bank dan meyakinkan pak Agus untuk mempercayai kita.

Hampir seluruh property yang kami beli kami dapatkan dengan cara ini. Ada property senilai 3,3M yang kami beli seharga 1,7M dengan cara serupa. Seminggu setelah kami dapatkan property tersebut kami jual dengan iklan seperti ini:

“Jual Rugi. Rumah kost-kost-an senilai 3,3M hanya seharga 2,5M. BU banget, terbelit hutang.” Alhasil hanya dalam 2 minggu kami berhasil menjual rumah tersebut seharga 2,5M tanpa nego. Semua senang. Semakin tinggi harga property yang kita incar, semakin besar pula selisih atau potensi untung yang kita dapatkan.

Loh, itu kan hanya bisa dilakukan orang kaya saja, bagaimana dengan mereka yang tidak punya uang cash? Siapa bilang harus pakai uang cash? Proses pembelian rumah kredit macet ini bisa dilakukan dengan KPR dari bank lain. Istilahnya “Take over credit.” Siapapun bisa melakukannya. Cukup dengan modal ilmu ini kita bisa hidup dengan cukup layak. Masih mau jadi karyawan?

Sekian penjelasan kali ini semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar