Jumat, 22 Agustus 2014

Bagaimana Sebuah Trend Investasi Diciptakan

Masih ingat kasus boomingnya ikan Lou Han? Kita pernah alami bagaimana masyarakat kita jadi tergila-gila dengan ikan nonong itu. Masih ingat kasus boomingnya tanaman Anthorium Jemani? Sekonyong-konyong hobi tanam menanam mewabah di sebagian negeri ini. Masih ingat kasus Tokek? Makhluk yang dulunya tidak pernah kita perhatikan ini tiba-tiba memiliki daya tarik yang luar biasa. Masih banyak lagi kasus-kasus seperti diatas tapi ketiga contoh-contoh tersebut cukup mempresentasikan betapa mudahnya masyarakat kita dibohongi.

Dalam tulisan ini kami mengajak para pembaca ikut berfikir kritis. Hanya dengan sikap kritislah kita bisa melihat sesuatu dibalik sesuatu. Dari ketiga contoh diatas, kita lihat ada kesamaan. Semua trend konyol tersebut dimungkinkan terjadi karena satu hal: Keserakahan Umat Manusia. Lihatlah, apakah mereka yang tiba-tiba tergila-gila pada Lou Han, Anthorium Jemani dan Tokek itu sebelumnya memang punya hobi dibidang itu?

Mereka yang tergila-gila pada Lou Han kebanyakan, sebelumnya tidak pernah punya aquarium. Mereka yang tergila-gila pada Anthorium Jemani, sebelumnya juga bukanlan pencinta tanaman. Apalagi mereka yang mendadak tergila-gila pada tokek, sebelumnya jelas mereka bukan pencinta tokek.

Lalu apa pendorong semua kegilaan itu? Jawabannya sederhana, karena melonjaknya nilai ekonomis dari ketiga komoditi diatas. Pertanyaannya, benarkah telah terjadi peningkatan nilai finansial yang alami, berdasarkan hukum permintaan dan penawaran? Jawabannya, TIDAK!

Perlu diingat bahwa ketiga komoditi diatas adalah makhluk hidup. Bisa dikembangbiakkan. Di budidayakan. Dari penjelasan tersebut, seharusnya sudah dapat dipahami bahwa trend tersebut tidak akan berlangsung lama. Saat harga melonjak, orang-orang akan berbondong-bondong membudidayakan komoditas tersebut. Ada gula ada semut. Saat supply melebihi demand maka bisa dipastikan harga pun akan secepat kilat terjun bebas.

Tapi bagaimana sesungguhnya trend “gila” tersebut bisa direkayasa? Nah, disini kami akan buka rahasianya. Dengan modal secukupnya siapapun bisa menjadi “spekulator” yang bisa mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Agar mudah memahami bagaimana “trend gila” tersebut bisa direkayasa, kami akan menyampaikannya dalam bentuk cerita. Silakan disimak baik-baik.

Alkisah pak Ali datang ke suatu wilayah di Indonesia. Anggap saja dia datang ke wilayah Jawa Tengah. Dia membawa modal secukupnya. Pak Ali yang berasal dari Jakarta ini mulai memperkenalkan diri pada masyarakat setempat sebagai seorang eksportir. Dia sampaikan kepada masyarakat bahwa dia sedang mencari “Tikus Curut” karena sangat dibutuhkan sebagai bahan dasar obat kangker. Pak Ali butuh sebanyak-banyaknya “Tikus Curut” asli Indonesia karena permintaan dari Jepang sangat tinggi. Sebagai imbalannya maka dia bersedia membayar Rp 50 ribu untuk setiap satu ekor “Tikus Curut” ukuran dewasa. Atas imbalan yang dijanjikan pak Ali, maka masyarakat pun berbondong-bondong mencari Tikus Curut. Terciptalah wabah perburuan Tikus Curut di propinsi Jawa Tengah. Makhluk yang sebelumnya begitu dibenci itu kini menjadi begitu imut-imut.

Pak Ali pun dengan konsisten memenuhi janjinya. Dia bayar setiap “Tikus Curut” dewasa yang disetorkan padanya seharga 50 ribu. Akibatnya tercipta pula “pasar” Tikus Curut dimana mulai muncul para pedagang-pedagang tikus curut dadakan. Lama-lama Tikus Curut di wilayah tersebut mulai berkurang, malah terancam punah karena diburu terus-menerus. Sebagaimana biasa, hukum supply and demand pun berlaku. Harga Tikus Curut mulai naik menjadi 100 ribu per ekor. Karena alasan kebutuhan yang luar biasa tinggi di luar negeri, Pak Ali masih bersedia membeli dengan harga 100 ribu per ekor.

Karena jumlah Tikus Curut makin berkurang, maka mulailah muncul jenis usaha baru: BUDIDAYA TIKUS CURUT. Dampak psikologis pasar juga mulai terasa, perdagangan di level masyarakat mulai menghargai Tikus Curut seharga 150 ribu. Karena kebutuhan, Pak Ali tetap mau membeli Tikus Curut dari masyarakat dengan harga 150 ribu. Mengingat jumlah Tikus Curut juga makin berkurang. Sesuai hukum pasar, makin lama harga Tikus Curut makin mahal. Bahkan mencapai angka 200 ribu per ekor. Pasar yang makin menggila tampaknya makin mendongkrak nilai ekonomis Tikus Curut. Harganya kini mencapai 400 ribu per ekor.

Akibat keuntungan yang menggiurkan, banyak orang yang lebih memilih keluar dari pekerjaannya beralih menjadi peternak atau pedagang Tikus Curut. Akibat pasokan yang makin menurun itu, Pak Ali menyampaikan bahwa dia bersedia membeli Tikus Curut seharga 1 juta per ekor dewasa. Sementara ini dia akan pergi ke Jepang dulu untuk urusan bisnis Tikus Curut-nya. Dia tinggalkan asisten “rahasianya” di Jawa Tengah. Nanti sepulangnya dari Jepang, Pak Ali akan membeli berapapun jumlah Tikus Curut dengan harga 1 jta per ekor dewasa.

Melihat permintaan yang makin melambung itu maka terciptalah "euforia" gila-gilaan di kalangan masyarakat. Banyak orang yang menjual rumahnya untuk modal bisnis Tikus Curut, ada pula yang meminjam uang dari bank. Sementara itu asisten Pak Ali secara sembunyi-sembunyi menawarkan Tikus Curut yang selama ini dibeli dan dikumpulkan oleh Pak Ali. Asisiten Pak Ali menjual tikus curut milik Pak Ali seharga 800 ribu per ekor. Maka masyarakatpun berbondong-bondong membelinya. Karena keuntungan yang “didepan mata” banyak orang kalap membeli sebanyak-banyaknya Tikus Curut dari asisten rahasia Pak Ali.

Setelah semua stok Tikus Curut terjual maka asisten Pak Ali kembali ke Jakarta, menyerahkan uang hasil penjualan kepada Pak Ali. Pak Ali pun tidak pernah datang kembali ke Jawa Tengah, dia sekarang menikmati hasil investasinya sambil tertawa Bahagia. Tikus Curut yang dibeli seharga 50rb – 400 ribu per ekor berhasil dijual laris manis dengan harga 800 ribu per ekor. Betapa mudahnya Pak Ali mendapatkan keuntungan, betapa bodohnya masyarakat yang tertipu oleh nafsu serakahnya sendiri.

Sekian dulu, semoga tidak ikut tertipu membeli Tikus Curut Pak Ali di harga premium…LOL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar