Jumat, 22 Agustus 2014

Pemikiran Para Ulama Dalam Kitab Kuning

Tentang perjalanan panjang pemikiran para ulama dalam kitab kuning.

Dalam khazanah kitab kuning biasa dikenal kitab matan (inti), syarh (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir). Sebagai contoh, matan kitab taqrib diberi syarh dalam kitab Fath al-Qarib, yang pada gilirannya diberi haysiyah dalam kitab al-Bajuri.

Tradisi ini juga mengindikasikan sejarah panjang keilmuan antara seorang ulama dengan para muridnya yang melintasi berbagai generasi. Misalnya, dalam lingkup mazhab Maliki, para murid Imam Malik mempercayai Abd al-Rahman ibn Qasim sebagai salah satu murid terbaik Imam Malik. Komentar Abd al-Rahman ibn Qasim dicatat oleh murid beliau, Sahnun, dalam 4 jilid al-Mudawwanah al-Kubra. Buku terakhir ini kemudian diberi komentar lagi oleh Ibn Rusyd al-Kabir yang mengarang Muqaddimat Ibn Rusyd. Ini bukan Ibn Rusyd al-Hafid yang mengarang Bidayatul Mujtahid. Kebetulan yang terakhir ini konon masih terhitung cucu Ibn Rusyd al-Kabir.

Ibn Rusyd al-Kabir inilah yang kemudian memilah-milah mana riwayat Imam Malik yang masyhur dan mana yang tidak. Murid Ibn Rusyd al-Hafid, yaitu Ibn Juzayy al-Kalbi menulis al-Qawanin al-Fiqhiyah dengan merujuk kepada kitab Muqaddimat Ibn Rusyd. Ada jarak sekitar 562 tahun dari wafatnya Imam Malik dan wafatnya Ibn Juzayy, Dalam rentang waktu 500 tahun itu terjadi transfer ilmu pengetahuan melalui tradisi penulisan kitab (kuning).

Banyak pengamat yang mengkritik tradisi penulisan ini sebagai produk kemunduran umat. Dimana alih-alih memunculkan karya yang orisinil, para ulama justru terjebak dengan melestarikan tradisi syarah dan hasyiyah. Kritikan ini tidak sepenuhnya benar. Dalam dunia ilmiah di universitas barat sekalipun sebuah orisinalitas tidak lahir begitu saja. Frase “standing on the shoulders of giants” bahwa apa yang kita sebut sebagai hasil penelitian orisinal itu berpijak pada kajian sebelumnya. Tanpa mengetahui opini para imam terdahulu, kita tidak tahu dimana letak orisinilitas ijtihad kita.

Tradisi syarh dan hasyiyah tidak semata-mata hanya mengulang informasi, tapi juga memberi komentar tambahan serta catatan lebih lanjut. Sebagai contoh, kitab muhazzab yang ringkas itu diberi ulasan berjilid-jilid tebal oleh Imam Nawawi. Kitab Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Jampes (Kediri), yang merupakan syarh dari kitab Minhaj al-Abidin jadi rujukan di Arab dan Afrika. Ibn Sina mengakui ia kesulitan memahami Metaphysics karya Aristoteles sebelum membaca komentar al-Farabi terhadap karya Aristoteles tersebut.

jadi, sebuah sikap ilmiah untuk memahami Quran dan hadis itu lewat komentar dan kajian para ulama yang terekam dalam kitab kuning. Qur'an dan hadis itu bukan junk food yang siap tersaji begitu saja. Dibutuhkan perangkat ilmu dan juga telaah atas kajian klasik untuk memahami Quran dan Hadis. Ulama Indonesia yang telah mencapai tingkatan itu antara lain Ustadz Quraish Shihab. Celakanya banyak lulusan pesantren kilat yang mengkritik Ustadz Quraish Shihab dengan tafsir al-Misbah-nya.

Karena pohon keilmuan keislaman itu sudah berabad-abad, banyak yang cuma tahu ranting tapi tidak paham akar. Misalnya ada yang memuji-muji tafsir fi zhilalil qur'an-nya sayyid quthb, tapi tidak pernah dengar tafsir thabari. Saya pernah mengisi pengajian dengan merujuk tafsir thabari, terus disanggah: kok tidak merujuk ke tafsir ibn katsir? Dia tidak tahu kalau al-thabari itu lahir 461 tahun sebelum Ibn katsir.

Memang dibutuhkan kesungguhan dan juga kerendahan hati untuk menyelami khazanah keilmuan keislaman yang begitu luar biasa. Sekarang kita kaget kalau ada ulama yang pendapatnya terdengar aneh, padahal di kitab kuning itu biasa.

Imam Malik bilang anjing itu suci, kalau sekarang imam malik masih hidup sudah dituduh JIL. Satu riwayat dari mazhab Maliki bilang kalau khutbah jumat itu cuma sunnah. Pendapat ini syadz (hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya) tapi tercatat di kitab kuning. Belum lagi para ulama yang membahas soal hilah (cara yang halus untuk mencapai tujuan) dalam fiqh, banyak yang aneh-aneh pendapatnya. Tapi semua pendapat yang berbeda dan terkesan aneh itu tidak dihapus dan masih bisa dibaca sampai sekarang di kitab kuning.

Kita tidak wajib mengikuti pendapat yang aneh-aneh tersebut tapi itu bagian dari khazanah keilmuan keislaman kita. Namun demikian para guru dan kiai harus rendah hati mengakui bahwa kitab kuning bukan segalanya. Pemahaman terhadap khazanah klasik harus diperkaya dengan kajian ilmu sosial. Agar terus lahir pemikiran yang bernas dan up to date sehingga tidak hanya berhenti di kitab yang sudah menguning itu.

Contoh mengenai penyebutan jumhur (mayoritas) ulama. Kitab kuning biasa menyebutkannya dan kita terima begitu saja. Tapi dengan bantuan ilmu sosial kita bisa bertanya pendapat jumhur (mayoritas) ulama itu kapan? di abad berapa? Bagaimana cara menghitungnya? Apakah pendapat yang diklaim sebagai mayoritas (jumhur) itu selalu mayoritas di setiap ruang dan waktu? Apa tidak ada kemungkinan yang dulunya diklaim sebagai pendapat jumhur maka seriing berjalannya waktu sudah tidak lagi mayoritas?

itu contoh bagaimana "membaca" kitab kuning juga harus diperkaya dengan kajian ilmu sosial. Wa allhu a'lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar