Jumat, 22 Agustus 2014

Kecurangan Bank/ Perusahaan Leasing dan Cara Menghadapi Debt Collector

Tulisan ini di tujukan untuk para nasabah leasing agar terjaga hak-hak nya dari segala kecurangan korporat.

Mungkin ada diantara kita atau teman kita yang pernah mengalami kesulitan ekonomi sehingga tidak mampu membayar cicilan motor/mobilnya. Dalam kondisi tersebut hal pertama yang terbayang di benak kita adalah, pasti motor/mobil kita akan disita. Pada kenyataannya memang banyak kasus yang berakhir seperti itu. Dalam kondisi gagal bayar biasanya debt collector akan menyita motor/mobil kita. Sebagai warga yang tidak tahu hukum, kita akan pasrah saja. Bahkan kita merasa bahwa itu memang pantas dilakukan karena kita tidak membayar cicilan. Tapi benarkah memang itu yang seharusnya terjadi? Atau justru kita sedang menzholimi diri sendiri karena membiarkannya terjadi?

Tulisan ini akan memberi bekal kepada kita untuk memahami hak-haknya sebagai konsumen agar tidak selalu ditempatkan sebagai korban. Bumi ini berputar, tidak selamanya kita selalu berada diatas. Saat kesulitan datang, jangan sampai seperti orang yang sudah jatuh tertimpa tangga.

Sebagian terbesar konsumen kendaraan bermotor membeli motor/mobilnya dengan cara kredit. Hanya sebagian kecil yang membeli dengan cara cash. Betul begitu? Pembelian dengan cara kredit ini bisa dilakukan melalui Bank atau perusahaan leasing. Tapi pada prinsipnya sama-sama leasing.

Pada garis besarnya kredit konsumtif terbagi dalam 2 kategori: 1. Kredit Tanpa Jaminan, 2. Kredit Dengan Jaminan.

Contoh Kredit Tanpa Jaminan: Kartu Kredit dan KTA. Disebut tanpa jaminan karena memang tidak dibutuhkan jaminan untuk memperoleh kredit tersebut.

Contoh Kredit Dengan Jaminan: Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Kendaraan (Leasing), Rekening Koran, dll.

Karena karakter kreditnya yang berbeda maka saya bedakan pula penjelasan cara menghadapi masalah yang ditimbulkannya. Pembelian dengan cara kredit ini memang menguntungkan banyak pihak. Konsumen diuntungkan karena bisa memiliki kendaraan dengan dana yang terbatas. Pihak Bank atau Perusahaan Leasing sangat diuntungkan karena memperoleh profit yang sangat besar dari industri ini. Pihak dealer juga diuntungkan karena dagangannya laris manis. Dan pihak leasing akan memberi bonus untuk tiap unit yang terjual. Tidak heran saat ini banyak dealer-dealer yang tidak terima pembayaran secara cash, harus dengan cara kredit. Ini biasanya terjadi pada dealer sepeda motor.

Jika saling menguntungkan begini kan seharusnya tidak ada masalah. Win-win, semua masuk surga. Tapi rupanya banyak masalah yang muncul dari usaha ini. Kebanyakan dikarenakan adanya praktek-praktek curang yang dilakukan oleh pihak Bank/Leasing. Saat aplikasi kredit kita telah disetujui oleh pihak Bank/Leasing, maka kita diwajibkan untuk membayar DP (uang muka). Aturan terbaru (2012) untuk kredit motor DP minimal sebesar 20% dan untuk kredit Mobil DP minimalnya sebesar 25%.

Selanjutnya, dilakukanlah perjanjian kredit (akad kredit) antara debitur (konsumen) dan kreditur (Bank/Perusahaan Leasing). Pada tahap inilah kecurangan Bank/Leasing dimulai. Bagi masyarakat umum yang tidak jeli sulit melihat kecurangan ini. Namun kami ingatkan, dibalik wajah-wajah ramah dan pakaian necis para pegawai tersebut sebenarnya mereka sedang menjalankan usaha yang licik dan jahat.

Dalam proses akad kredit pernahkah pihak Bank/Leasing memberikan draft perjanjiannya beberapa hari sebelumnya untuk kita pelajari? Tidak pernah! Bahkan jika kita minta pun tidak akan pernah mereka berikan. Kenapa demikian? Jawabannya sederhana. Agar kita tidak sempat memahami dengan baik apa isi dari perjanjian tersebut. Perjanjian akad kredit yang berlembar-lembar itu selalu diberi pihak Bank/Leasing mendadak, sesaat sebelum kita tanda tangan.

Dari gejala ini seharusnya kita menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dalam perjanjian tersebut. Pada kenyataannya isi dari perjanjian itu banyak yang bersifat sepihak, merugikan konsumen, bahkan melanggar hukum. Inilah alasannya mengapa Bank/Leasing tidak menerima pengacara atau polisi sebagai konsumennya. Perjanjian yang kita tanda tangani tersebut disebut oleh pihak Bank/Leasing disebut sebagai Perjanjian Fidusia. Apakah perjanjian Fidusia itu?

“Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang antara kreditur dengan debitur yang melibatkan penjaminan yang kedudukannya tetap dalam penguasaan pemilik jaminan dan dibuat Akta Notaris dan didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia.” Dengan perjanjian fidusia ini keditur (pihak pemberi kredit) memiliki hak eksekutorial langsung jika debitur melakukan pelanggaran perjanjian.

Pertanyaannya adalah, apakah perjanjian yang kita tanda tangani saat akad kredit itu termasuk perjanjian fidusia? Jawabannya, TIDAK! Pernahkah dalam proses penandatanganan akad kredit pembelian motor bahkan mobil kita dihadapkan pada Notaris? TIDAK! Hanya dengan memberi kata-kata “Dijaminkan Secara Fidusia” tidak lantas secara otomatis membuatnya menjadi sebuah perjanjian fidusia. Perjanjian yang kita tanda tangani dengan tidak dihadapan notaris itu disebut “Perjanjian Dibawah Tangan.”

Masih banyak kecurangan-kecurangan lain yang dilakukan pihak Bank/Leasing, seperti skema cicilan dan penalti pelunasan yang sangat merugikan konsumen. Sering kita temui keluhan konsumen yang sudah melewati setengah masa termin cicilannya namun mendapati hutangnya hanya berkurang sedikit. Namun kita akan fokus pada konsekuensi yang harus kita hadapi saat mengalami gagal bayar. Untuk lebih memahami, mari kita buat ilustrasinya:

Jika kita kredit motor/mobil untuk jangka waktu 3 tahun. Lantas setelah memasuki tahun ketiga tiba-tiba kita tidak lagi mampu membayar cicilan. Adilkah jika dalam kondisi tersebut mobil/motor kita disita? Dan benarkah motor/mobil kita boleh disita? Ingat, sebelumnya kita sudah membayar uang DP (20-25% dari harga) dan selama 2 tahun kita sudah membayar cicilan dengan tertib. Artinya dari sisi keadilan, hak kita terhadap motor/mobil tersebut jauh lebih besar dibanding hak pihak Bank/Leasing (DP + cicilan 2 tahun).

Terlepas dari sisi keadilan. Dari segi hukum pun ternyata sama sekali tidak berhak menyita motor/mobil kita itu. Mengapa demikian?

Pertama, Sebagaimana sudah dibahas diatas bahwa perjanjian yang kita tanda tangani tersebut sama sekali bukan perjanjian fidusia. Artinya pihak kreditur tidak memiliki hak eksekutorial atas jaminan (motor/mobil).

Kedua, Dalam STNK dan BPKB motor/mobil tersebut yang tertera adalah nama kita, bukan nama Bank/Leasing. Artinya motor/mobil tersebut secara hukum sah merupakan milik kita, bukan milik Bank/Leasing. Sedangkan hubungan antara kita dengan pihak Bank/Leasing adalah hubungan hutang piutang biasa.

Ketiga, Satu-satunya pihak yang berhak melakukan eksekusi di negara ini adalah Pengadilan melalui keputusan eksekusi pengadilan. Artinya Bank/Leasing apalagi debt collector sama sekali tidak berhak melakukan eksekusi dengan alasan apapun. Tentu saja Bank/Leasing tidak mau menempuh proses pengadilan karena selain memerlukan biaya juga butuh waktu yang tidak sebentar. Dan keputusan pengadilan pasti akan memerintahkan untuk dilakukan pelelangan terhadap motor/mobil kita tersebut. Dimana hasil lelang harus dibagi dua. Pertama untuk membayar sisa hutang kita kepada Bank/Leasing, sisanya menjadi hak kita.

Cara diatas adalah cara yang sesuai aturan hukum dan tentu saja adil bagi kedua belah pihak. Namun Bank/Leasing tidak menyukainya. Kalau bisa merampas semua mengapa harus berbagi? Itulah alasan mengapa proses penyitaan sepihak seperti itu masih saja terjadi.

Disini kita mulai memahami bahwa proses penyitaan motor/mobil kita tersebut sesungguhnya melanggar hukum. Namun seringkali sebagai orang yang tidak tahu hukum justru kita yang ditakut-takuti oleh pihak Bank/Leasing. Karena tahu tidak memiliki dasar hukum maka mereka selalu memakai tenaga pihak ketiga yaitu debt collector. Penggunaan jasa pihak ketiga (Debt Collector) ini adalah upaya pengecut pihak Bank/Leasing untuk cuci tangan manakala muncul masalah akibat proses penyitaan yang melanggar hukum tadi. Alasannya tentu saja demi efisiensi.

Penting diingat bahwa kasus ini adalah kasus hutang piutang (Perdata) bukan kasus pidana. Jadi bahkan polisi pun tidak boleh ikut campur apalagi Debt Collector. Maka jangan terkecoh oleh oknum polisi yang sering membekingi debt collector.

Point-point berikut adalah cara bagaimana kita menghadapi debt collector dan menghindari proses penyitaan ilegal atas barang kita:

Jika Debt Collector datang ke rumah atau kantor kita, sapalah dengan santun, minta identitas dan surat tugas. Minta pula nomor telpon pihak pemberi tugas. Jika mereka bersikap santun, sampaikan bahwa kita akan menghubungi yang terkait langsung dengan perkara utang piutang. Jangan berjanji apapun pada mereka. Jika mereka mulai meneror, persilahkan mereka untuk keluar. Hubungi pengurus RT, RW atau tetangga sekitar. Tidak ada gunanya meminta bantuan pada pihak polisi karena biasanya debt collector sudah menjalin kerjasama dengan oknum polisi. Yang paling ditakuti oleh debt collector adalah massa. Jadi tidak ada salahnya segera kumpulkan massa saat mereka mulai meneror. Bila perlu teriaki mereka maling atau rampok agar tercipta kerumunan masa secepat mungkin. Jika mereka berusaha menyita motor/mobil kita, tolak dan pertahankan barang tetap di tangan kita. Sampaikan dengan tegas bahwa yang berhak melakukan eksekusi adalah pengadilan. Perbuatan mereka adalah perampasan yang bisa dijerat pasal 335, 365, 368.

Ingat! Point terpentingnya adalah jangan membiarkan barang cicilan kita dikuasai debt collector. Jika sampai terjadi prosesnya akan jauh lebih rumit. Jadi ada baiknya ungsikan saja barang cicilan kita tersebut ke tempat aman. Jangn gunakan motor/mobil kita sampai kita mampu membayar kembali. Jadi tujuannya disini adalah bukan untuk tidak membayar hutang tetapi menghindari penyitaan selama kita belum mampu membayar.

Apabila sampai harus berurusan dengan polisi, jangan sekali-kali menitipkan motor/mobil kita pada polisi atau ditinggal di kantor polisi. Tolak dengan santun tawaran polisi. Sekali lagi, pertahankan barang tetap di tangan kita sampai mampu melunasi kembali. Dalam banyak kasus oknum polisi justru menyerahkan motor/mobil yang kita titipkan tersebut kepada pihak debt collector.

Sekali lagi ingat bahwa kasus ini adalah kasus perdata (hutang piutang), bukan kasus pidana. Kasus perdata diselesaikan lewat pengadilan perdata. Itu sebabnya polisi pun dilarang ikut campur dalam kasus ini, apalagi debt collector. Kasus ini baru menjadi kasus pidana manakala debt collector sudah merampas motor/mobil, meneror, mempermalukan atau menganiaya kita.

Harap diingat, penjelasan tentang kecurangan Bank/Leasing jangan diartikan sebagai penganjuran untuk ngemplang hutang. Tapi sekedar pencerahan agar masyarakat memahami hak-haknya dan tidak terus menerus menjadi korban keserakahan pihak Bank/Leasing. Prinsipnya kita tidak boleh menzholimi pihak lain namun kita juga tidak diperbolehkan untuk membiarkan pihak lain menzholimi kita. Bagaimanapun hutang tetap harus dibayar. Tidak lunas di dunia nanti kita akan ditagih juga di akhirat.

Informasi ini memang sangat ditakutkan oleh Bank/Leasing. Karena jika makin banyak masyarakat yang memahami hak-haknya, maka tertutuplah peluang Bank/Leasing untuk menumpuk rejeki secara curang. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar