Kamis, 09 Oktober 2014

Kelompok Aliran Dalam Islam (10)

Landasan Dakwah Habib

Sejak awal masa Islam, Yaman menempati posisi penting di mata Nabi Muhammad. Karena itu, ketika Imam Ahmad al-Muhajir (820-924 Masehi) justru memilih berhijrah ke "kawasan kosong" (empty quarter), yang dulunya dikenal dengan nama Wadi Hadhramaut (lembah Hadhramaut, Yaman) yang tandus dan tak strategis itu, keputusan itu diyakini dan disebut-sebut mengandung sebuah rahasia (asrar) besar. Dan ternyata, memang dari sanalah salah satu arus dakwah Islam berbasis damai, cinta kasih, dan akulturatif bergerak ke kanan hingga Asia Tenggara (khususnya Indonesia). Ini berbeda dengan arus dakwah Islam ke kiri (sampai Andalusia, Eropa) yang cenderung bercorak perang, penaklukan, politis, dan melawan jejak sejarah dan budaya Yahudi-Kristen yang telah ada sebelumnya.

Dakwah dari Hadhramaut itu dibawa oleh kalangan habaib (jamak dari kata habib), yakni keturunan Nabi Muhammad. Dari segi morfologi (sharf) saja, habib berarti "yang dicinta" (obyek-maf'ul) atau "yang mencinta" (subyek-fail). Sebab, cinta menjadi roh dakwah Islam yang dibawa para habib yang berbasis Thariqah 'Alawiyah, ajaran praktis tasawuf yang dipegang dan diajarkan secara turun-temurun oleh para habib, serta menjadi pedoman dakwah mereka.

Ajaran cinta dan damai yang menjadi roh dakwah Islam para habib itu telah diteguhkan sejak awal oleh Faqih al-Muqaddam-pendiri Thariqah 'Alawiyah-dengan simbolisasi upacara pematahan pedang di depan para pengikutnya sebagai bentuk ditinggalkannya metode kekerasan dalam dakwah Islam. Itulah yang kemudian menjadi landasan (platform) dakwah Islam kalangan habib hingga kini.

Platform itu pun didasarkan pada sikap Sayyidina Ali yang dalam situasi tersulit sekalipun, yakni menghadapi brutalitas kekerasan kaum Khawarij, tetap konsisten pada jalur damai (tahkim). Itu pula yang diperlihatkan Faqih al-Muqaddam dan generasi awal para habib di Hadhramaut yang tetap pada jalur damai, meskipun menghadapi brutalitas kekerasan 'Ibadiyah (sekte Khawarij) ataupun kaum Qaramithah yang sangat kejam dan barbar. Rumus mereka, yakni amar ma'ruf dan nahi munkar, tak akan bisa tegak dan sukses tanpa jalur damai yang berbingkai rahmat dan cinta.

Sebagaimana dikemukakan pengamat seperti Mark Woodward (Arizona State University, penulis Islam in Java) dan Engseng Ho (Duke University, penulis The Graves of Tarim), platform dakwah para habib itu juga bersifat inklusif, sebagai pengejewantahan rahmat-Nya. Ini terlihat hingga kini, di mana para habib itu biasanya menerima murid tanpa melihat latar belakang atau kelas sosialnya: dari preman hingga kalangan pinggiran. Adapun naluri "kekerasan" yang mungkin ada pada mereka justru diarahkan oleh para habib itu kepada mujadalah dalam tradisi tasawuf, yakni pelumpuhan nafsu-nafsu rendah. Adapun dalam konteks politik, sesuai dengan platform, para habib itu biasanya cenderung menjaga jarak, walau juga tetap menjaga pengaruhnya sebatas untuk kepentingan (maslahat) dakwah dan umat.

Husein Ja'far Al Hadar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar