Kamis, 24 Oktober 2013

"Resep Paperless" Dalam Kartel Obat


Kita tetap mendukung profesi Dokter yang "mulia," karena tanpa dokter tentunya kita akan kesusahan. Pengungkapan ini hanya untuk introspeksi semua.

Sekali lagi cuma kata "maaf" yang bisa di sampaikan kalau dalam pengungkapan "kartel obat" ini menyinggung perasaan dokter-dokter yang "baik." Berlapang hati lah dalam membaca tulisan kartel obat ini, karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha pun sudah memperkarakan kasus ini. It's a fact.

Kemudian karena penyakit kartel obat ini sudah sedemikian parahnya dimainkan oleh "oknum" stakeholder kesehatan maka kita harus coba akhiri. Saking canggih dan rakusnya kartel obat ini modusnya makin "canggih" mereka beranggapan ini sah dan halal. Sehingga yang protes di bilang fitnah.

Saya ungkap modus baru Kartel Obat terbaru yang banyak dilakukan dokter dan Apotek RS yang memaksa agar pasien membeli "obat" tertentu. Kita tentu masih ingat penulisan "resep" dokter seharusnya dilakukan dengan bentuk "hardware" notes dokter (secarik kertas) dengan tulisannya. Tulisan resep "jelek" dokter dimaksudkan agar kata-katanya eksklusif untuk dibaca oleh para petugas apotek dimanapun berada (universal).

Namun dalam beberapa kali kunjungan saya ke dokter (terutama yang di RS) bentuk resepnya ditulis demgan PC atau Ipad yang terkoneksi ke apotek RS. Berapa kali saya tanyakan mana resepnya dok? Dijawab oh langsung aja pak ke apoteknya. Tidak ada secarik kertas resep yang diberikan. Jika kita mau "ngotot" sedikit untuk meminta resep tertulis langsung mungkin bisa. Namun apakah prosedurnya harus "ngotot"?

Memang dokter menyebutkan kegunaan obat-obat yang dituliskan ke apoteknya, tapi tidak pernah sebut merk apalagi harga, kita dalam posisi pasrah. Setelah keluar ruangan dokter kita menuju ke apotek langsung disodori "harga" obat yang kadang-kadang bikin lemes mahalnya. Mau protes kemana? Saat kita ngedumel ke apoteker dijawabnya mudah: wah saya nggak tau pak silahkan komplain ke dokter yang bersangkutan. Pasien yang sakit tentu malas untuk lama-lama.

Saya pernah komplain kembali ke dokter yang bersangkutan saat harus membayar paket resep obat flu seharga 600 ribu dengan cara protes ke dokternya lagi. Bayangkan untuk menunggu giliran masuk ke ruangan dokter lagi saya harus "antri" ulang. Modus untuk membuat pasien malas komplain. Tapi saya tetap teguh. Setelah bertemu dengan dokter akhirnya beliau mau merubah resepnya dengan mengganti merk antibiotik hasilnya harga 600 turun jadi 175 ribu.

Disinilah modus awal pemaksaan pasien untuk terjerat mafia "kartel obat" di RS, saya membayangkan bagaimana dengan pasien-pasien yang rawat inap? Banyak pasien rawat inap yang "dimakan" oleh mafia kartel obat karena pada umumnya pasien rawat inap ini hanya tandatangan sudah dikasih obat.

Ukurannya apa pasien rawat inap banyak dimakan oleh mafia kartel obat, coba anda bandingkan estimasi biaya pengobatan dengan realisasi : JAUH. Yang paling gampang lihat estimasi biaya rawat inap kelahiran di RS yang terpampang jelas di resepsionis dengan realisasinya, rata-rata lebih mahal 30%. Pengalaman saat anak saya sakit rawat inap pun saya perhatikan pola pemberian obat. Pasien tidak memiliki "hak" untuk berani tanya merk dan harga.

Kembali ke modus baru pemberian resep dokter terkoneksi dengan apotek bagaimana kita bisa mengeliminirnya? Pasti memakan waktu dan emosi. Jika kita mau main aman dengan sedikit menahan malu berbohong ke apoteknya dengan katakan maaf duit saya tidak cukup, maka kita bisa membeli cukup 1/2 porsi + copy resep.

Karena saya cukup paham jika tiba-tiba kita terkejut dengan harga "obat" dimaksud, dengan meminta saja resepnya dari apotek maka terkesan dibuat lama. Saya yakin modus resep terbaru jika ditanya ke petugas RS dijawab dengan “paperless”, “go green” dan berbagai alasan mutakhir lainnya.

Tidak ada upaya dari pemerintah atau organisasi keprofesian atau YLKI yang melindungi pasien dari modus resep paperless ini. Semua acuh.

Padahal untuk fee jasa dokter di RS sudah sangat layak dikelas RS Hermina saja dokter spesialis 125 ribu/ visit, dokter umum (kayanya) 75 ribu. Jka untuk dokter-dokter spesialis yang laris dengan rata-rata pasien > 50 orang/ hari silahkan dikalikan pendapatan mereka? Kok teganya masih embat dari obat.

Demikian modus Resep Paperless ini. Semoga pelaku-pelakunya tambah kaya raya dengan uang berlimpah, tapi hanya boleh makan bubur nasi + garam…hehehe. Salam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar