Kamis, 24 Oktober 2013

Kartel Obat - Sarang Mafia Dokter Obat


Nah KPPU menemukan "kartel" peresepan Obat selama ini. Baik yang Generik ataupun Non Generik. Cobaan berat untuk dokter-dokter yang ributin KJS (Kartu Jajarta Sehat) nih.

Para dokter di RS DKI sekarang menjadikan Jokowi-Ahok sebagai musuh bersama karena dianggap sebagai pihak "romusha" untuk menangani pasien-pasien KJS. Mereka mengganggap Jokowi selalu memojokkan mereka kalau ada "masalah" dengan pasien KJS "cuma" dengan alasan "tidak diperhatikan" kesejahteraan. Bahkan lebih lucu lagi mereka membandingkan gaji mereka dengan "gaji" supir-supir Trans Jakarta (Busway) yang katanya tiap bulan dapat gaji 7 juta lebih.

Saya katakan untuk semua tenaga medis yang merasa "terpojok" dengan desakan aspek sosial KJS untuk lebih "cerdas" berjuang. Membandingkan sekedar "gaji" atas pekerjaan dan pengabdian sesama abdi masyarakat hanya terlihat seperti "anak kecil" yang rebutan mainan.

Secara sederhana kalau Supir Busway dijadikan "patokan" gaji, coba saja para dokter yang protes bertukar "profesi" dengan mereka, mau nggak? Saya yakin kalau para supir Busway disuruh bertukar profesi dengan dokter mereka "rela" melepaskan gaji 7 jutanya.

GAJI tidak harus berbanding lurus dengan kesejahreraan. "Gaji" Gubernur dan Wagub DKI "hanya" 3,5 - 4 juta/ bulan. Kalah kan? Kalau supir-supir busway ini dapat gaji 7 juta/ bulan karena pemprov yakin, mereka-mereka hanya "membawa" pulang uang ini tanpa ada "embel" sabetan lain.

Jadi dengan diketemukan adanya kartel obat di kalangan dokter dalam pembuatan resep, saya cuma bisa katakan : "Mari Kita Introspeksi."

Banyak sales farmasi yang ikut antri saat dokter-dokter praktek sangat menganggu, apalagi kadang-kadang mereka "didahulukan" ketemu dokter dibanding pasien. Sudah lama saya perhatikan banyaknya "sales" farmasi yang berkeliaran di tempat praktek dokter membuat saya ingin tahu, apa yang mereka bicarakan?

Dalam satu kesempatan teman saya (auditor) pernah mengaudit sebuah perusahaan farmasi dan mereka temukan petugas apotek-apotek mengumpulkan resep-resep dengan merk dan dokter tertentu. Copy-copy resep merk tertentu inilah yang akan diambil para "sales" untuk di reimbursement menjadi "komisi" yang akan ditransfer ke penulis resep.

Dengan "kesepakatan "komisi” antara 10-20% setiap butir obat yang ditebus pasien, sang dokter juga di iming-imingi bonus untuk bisa mencapai target. Jika "target" penulisan resep mencapai target maka pilihan bonusnya mulai dari pesiar cruise, jalan-jalan ke LN, gadget-gadget, hingga hard cash.

Memang kebanyakan modus-modus peresepan obat ini dilakukan di RS karena dokter dan apotek satu atap. Sehingga lebih mudah mengontrolnya/ hitung.

Rata-rata resep obat yang paling "banyak" komisinya berjenis "ANTIBIOTIK." Maka tidak heran ada jokes: Keseleo saja dokter resepin antibiotik. Bahkan saya pernah mendengar kalau "Indonesia" adalah negara "pe-konsumsi" antiobitik terbesar di seluruh dunia. Tragis.

Jadi jika sekarang KPPU "baru" temukan praktek kartel obat di Indonesia maka sangat-sangat terlambat, modus ini sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Saya mohon maaf kepada para dokter-dokter yang memang memiliki "integritas terpuji" karena modus resep ini hanya dilakukan sebagian dokter-dokter saja. Namun sekali lagi karena sebahagian itu cukup besar jika didaerah kota dan dianggap hal yang "umum" oleh masyarakat, maka modus ini seakan "lumrah." Modus resep ini subur karena Pemerintah diam, Rumah Sakit memfasilitasinya, IDI nya juga ikut main dan rakyatnya tak berdaya atau tertipu. Jadi klop kan.

Dengan "kenikmatan-kenikmatan" inilah yang menyebabkan banyak dokter "mengeluh" saat disuruh untuk benar "mengabdi" untuk melayani pasien KJS? Paham kan? Jadi saya masih ragu seandainya dokter-dokter yang mengeluh karena desakan KJS ini dinaikan gajinya setingkat supir busway, mereka akan "diam" juga.

Program peresepan obat KJS yang tanpa "komisi" karena obat-obatannya telah ditentukan pemerintah membuat dokter-dokter yang terbiasa "dapet" pusing kepala. Coba saja lihat apa ada dokter-dokter KJS ditunggui oleh para "medical representative" (bahasa kerennya sales obat) saat tugas? hehehe..

Yang pernah masuk ke RS-RS di Singapura pasti tau, tidak boleh ada sales obat yang berkeliaran bebas di tempat dokter. Karena ini pelanggaran etik.

Salam hormat untuk semua dokter-dokter yang tidak "cengeng" untuk mengabdi dengan tulus. Dan salam antibiotik untuk dokter-dokter yang cengeng menunggu komisi.

Kepada pihak-pihak "yang tersinggung" dengan tulisan ini saya mohon maaf sebesar-besarnya karena saya sampaikan apa yang pernah saya alami atau hasil temuan teman yang auditor tadi. Bukan sekadar "katanya."

"Sepahit-pahitnya obat lebih pahit lagi KEBENARAN," maka terima lah dengan pikiran tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar