Senin, 01 Desember 2014

Pengajaran dan Perdebatan Dalam Tradisi Keilmuan Islam

Berikut adalah pembahasan tentang "Debat dan Pengajaran Dalam Tradisi Keilmuan Islam." Persembahan untuk Hari Guru.

Saya tergelitik membahas debat/jadal/munadzarah dalam Islam, karena ada anggapan debat tentang agama itu dilarang Islam. Yang melarang debat agama berdalil, antara lain, hadist: Allah menyiapkan surga untuk mu'min yang menghindari debat, meski ia benar.

Dalil larangan debat agama, kalaupun ada, sangat janggal dan absur, karena sejarah Islam buktikan yang sebaliknya. Dalam sejarah keilmuan Islam, debat bukan hanya tak dilarang, tapi justru jadi sarana pengembangan ilmu teologi dan hukum Islam. Teologi Islam = Kalam, artinya dialektik. Ada pengaruh filsafat Yunani di situ, tapi juga hasil pergulatan internal Islam sendiri.

Salah satu soal dalam Islam yang memicu debat saat itu adalah soal bagaimana "mendamaikan" KemahaKuasaan dan KemahaAdilan Tuhan. Tuhan Maha Kuasa, semua peristiwa sudah tercatat dalam Lauh Mahfudz. Lantas bagaimana dengan orang kafir? Kenapa mereka mesti masuk neraka? Kalau semua sudah digariskan Tuhan, dan kalau tindakan manusia pun ciptaan Tuhan, lantas bagaimana dengan mereka yang ditakdirkan kafir?

Menanggapi soal itu, Ulama sufi awal, Hasan Bashri (wafat 110 H) merespon, Allah terlalu pengasih dan mulia untuk berbuat zalim. Menurut Hasan Bashri, Allah terlalu adil untuk tega membutakan orang buta, terus Dia bilang, "Lihatlah, atau Saya hukum kamu." Atau membikin tuli orang tuli, terus Allah sendiri bilang, "mendengarlah, atau Kuhukum kamu.”Atau membikin bisu orang bisu, terus Allah sendiri bilang, "Meihatlah, atau Kuhukum kamu." Begitu sanggahan Hasan Bashri.

Hasan Bashri bukan Mu'tazilah. Tapi pandangannya sejalan dengan doktrin Mu'tazilah bahwa manusia berkuasa penuh atas tindakannya. Bagi Ulama-ulama Mu'tazilah, adil kalau Tuhan menghukum orang kafir, karena manusia berkuasa atas tindakannya sendiri. Tapi kalau manusia berkuasa terhadap tindakannya, bagaimana dengan keMahaKuasaan Tuhan? Terdapat "ketegangan" antara Maha Kuasa dan Maha Adil.

Kaum Jabbariyah yang menekankan KeMahakuasaan Tuhan tak ingin menggambarkan Tuhan yang lemah. Tapi bisa dianggap sebagai sewenang-wenang. Sedang Kaum Mu'tazilah menekankan KeMahaAdilan Tuhan karena tak mau gambarkan Tuhan sebagai sewenang-wenang. Tapi bisa digugat sebagai lemah. Menariknya, kedua kubu tersebut sama-sama berdalil Al-Qur'an-Sunnah. Karena itulah dalam teologi, debat mendapat tempat terhormat.

Aliran teologi Islam yang berikutnya pun (Asy'ariyah, Maturidliyah) merumuskan pemikirannya via perdebatan/ jadal. Tak heran kalau pada masa Islam awal banyak ulama mengarang buku tentang debat, tentang tata cara dan kiat-kiat memenangi debat.

Bagaimana peran debat dalam tradisi ilmu fiqh? Di sini menarik untuk menengok sejarah pertumbuhan metodologi fiqh (Ushul al-Fiqh). Dalam metodologi hkm Islam (ushu fiqh), ada beberapa hal yang jadi sumber debat, misal, kabsahan qiyas (analogi) sebagai dasar hukum. Bahkan di kalangan yang setuju dgn qiyas pun muncul debat tentang bagaimana menentukan 'illah (ratio legis) dalam qiyas. Karena itu dalam sistem pengajaran hukum Islam periode klasik, pengajaran debat tentang Ushul fiqh jadi sangat penting.

George Makdisi dalam The Rise of Colleges bercerita tentang madrasah era Islam klasik, kurikulumnya, metode pengajarannya. Di buku itu Makdisi bercerita, para pelajar tentang hukum Islam era klasik dididik tidak hanya untuk menghafal, tapi juga berdebat.

Pada masa Harun Al-Rashid, misalnya, sering ada debat antar ahli fiqh di istana khalifah, masing-masing unjuk kebolehan metode-metodenya. Karena itu, dalam kurikulum fiqh era itu, tahap awal bagi pelajar adalah dengan menggembleng diri dengan cara"nempel" ke satu/ beberapa ulama. Kalau si pelajar sudah dianggap mumpuni, lalu dites secara lisan. Kalau lulus dapet pengesahan/ ijazah untuk beri fatwa (legal opinion). Pelajar yang dapet ijazah untuk memberi fatwa tersebut harus pandai berdebat tentang penguasaannya terhadap metode-metode fiqh.

Dalam Islam, fatwa adalah legal opinion yang tak mengikat. Bila yang minta fatwa tidak cocok, ia bisa pindah minta fatwa ke ulama lain. Karena statusnya sebagai legal opinion itulah maka pemberi fatwa dituntut untuk mampu menjelaskan metode yang mendasari fatwanya.

Gambaran Makdisi tentang peran sentral munadzarah/debat dalam fikih mengingatkan saya pada tradisi bahtsul masa'il di pesantren. Bahtsul masa'il adlh forum pembahaan persoalan-persoalan aktual dengan merujuk kitab-kitab kuning. Isinya debat thok, kadang dengan ngotot. Dalam bahtsul masa'il, peserta harus mampu menunjukkan teks kitab kuning sebagai landasan argumennya, dan siap membantah rujukan lawan. Kitab kuning itu tanpa harakat/syakal. Kalau orang salah baca, ketahuan tidak mengerti grammar bahasa arab. Langsung jatuh pamornya.

Masing-masing peserta bisa saja mengacu pada teks kitab kuning yang berbeda, dan putusan hukumnya bisa beda, malah bertentangan. Dan di situlah letak serunya debat di bahstul masa'il. Adu teks berjam-jam. Kadang berakhir dengan tak ada jawaban final (mauquf). Bahtusl masa'il yang dinamis ini memberi gambaran yang beda tentang metode pengajaran di pesantren. Tak melulu taat kiai, tapi juga kitis.

Bahtsul masa'il membekali para santri untuk tak bersikap hitam putih dalam putusan fiqh, tapi hrs peka terhadap kompleksitas masalahnya. Debat dan sikap kritis dalam menyikapi fiqh inilah saya kira layak dikembangkan di masyarakat di luar pesantren.

Sebagai penutup, saya sitirkan potongan syair tentang kiat mencari ilmu dalam tradisi keilmuan Islam yang masyhur di pesantren. Syiir dari kitab Ta'limul Muta'allim: Ala la tanalul 'ilma illa bi sittatin/ Sa'unbika 'an majmu'iha bi bayanin. Dzaka'in wa hirshin wa isthibain wa bulghatin, wa irsyadi ustadzin wa thui zamanin. Ingat, kamu tak akan dapat ilmu kecuali dengan 6 ini: kecerdasan, antusiasme, daya tahan, dana, bimbingan guru, dan waktu yang lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar