Minggu, 10 Maret 2013

Belajarlah dari Siapa Pun


Belajar itu wajib, tidak demikian halnya dengan mengajar. Dalam berbagai kesempatan, Muhammad SAW berpetuah tentang kewajiban belajar. Mulai dari belajarlah hingga liang lahat, belajarlah sampai ke Negeri Cina, hingga belajarlah tentang apa yang diucapkan tanpa perlu memersoalkan siapa yang mengucapkannya. Oleh karena itulah, belajar dimulai tanpa mengenal kata berhenti. Siapa pun belajar kepada siapa pun -- dan apa pun -- terutama tentang hal-hal yang memang berkaitan erat dengan hidup dan kehidupannya.

Sesungguhnya, tidak ada yang lebih tahu di antara kita. Hanya lebih dulu tahu saja, tidak lebih, tidak kurang. Belajar tidak mengenal waktu, pun tidak terbatas usia. Terkecuali Isa A.S., yang Allah menghendakinya bisa berbicara bahkan ketika masih bayi, setiap manusia memulai karirnya sebagai manusia dalam keadaan dan kenyataan yang sama-sama tidak tahu apa-apa. Terlahir dari mulut rahim ibunya dalam keadaan tidak bisa apa-apa, manusia kemudian menerima anugerah pendengaran, penglihatan, dan akal dari Allah.

Manusia sama-sama memulai perjalanan dari nol. Dari kosong. Kemudian, orangtualah yang pertama menyiapkan wadah di hati dan akal anak-anaknya untuk menerima pembelajaran setahap demi setahap. Dengan wadah itulah, kita lantas mengambil dan menerima isi dari keluarga, lingkungan, sekolah, dan kalangan pergaulan untuk mengisi yang pada mulanya kosong itu. Sebagaimana cangkir kopi terhadap teko, cangkir itu harus berada di bawah dan teko itu di atasnya agar air kopi bisa dikucurkan. Ilmu laksana air; mengalir. Dan, mengalir itu selalu dari atas ke bawah.

Demikianlah adab belajar: yang menerima ilmu selayaknya tawadhu, merendahkan hati, kepada yang memberikan ilmu. Belajar juga serupa bernafas. Udara tersedia sedemikian luas dan leluasa, namun tidak akan pernah merasuk ke dalam diri jika paru-paru tidak bekerja memompa dirinya sendiri. Udara yang telah diirup akan diolah menjadi hidup untuk kemudian diembuskan kembali sehingga alur kehidupan berjalan. Dan, udara tidak pernah memilih sesiapa yang bernafas: entah ia kafir, entah ia beriman. Yang beriman maupun yang kafir bernafas dari udara yang sama.

Siapa pun adalah murid siapa pun. Setiap orang adalah murid. Pada mulanya, setiap guru adalah murid. Namun, tidak setiap murid pada akhirnya adalah guru. Oleh karena itulah, guru adalah sebaik-baik murid karena ia menjaga dan memastikan ilmu tetap mengalir. Dan, sebaik-baik guru adalah ia yang masih tetap belajar bahkan kepada muridnya. Hubungan belajar-mengajar inilah yang mengabadikan ilmu sebagai cahaya. Menjadi bermanfaat, jika cahaya itu tidak hanya pijar di dalam dirinya sendiri namun juga menerangi sekitarnya. Menjadi bermanfaat, jika ilmu itu naik kelas menjadi amal.

Puncaknya, amal yang didasari ilmu dan ilmu yang didasari adab akan mewujud keberkahan. Menjelma amal jariyah, atau lingkaran kemanfaatan yang tiada putusnya; sebagaimana anak sholeh kepada orangtuanya dan sedekah kepada yang memang membutuhkan. Maka, sebaik-baik manusia adalah sesiapa yang memberikan manfaat kepada sesamanya. Dan, sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi sesamanya adalah ia yang tidak merasa perlu untuk merasa berjasa, ia yang berbuat baik bukan untuk membuat orang lain merasa berhutang budi, dan ia yang tidak menuntut balas budi dari apa yang telah dilakukannya.

Kebaikan memang berbuah kebaikan, namun sebagaimana pohon, belum tentu setiap kebaikan akan berbuah. Selalu terdapat faktor-faktor di luar diri kita yang menjadikan kita sanggup bertahan hidup, tumbuh, berkembang, dan membuahkan karya. Pun demikian kebaikan: tak bisa berdiri sendiri tanpa didukung oleh kebaikan-kebaikan lain dari makhluk-makhluk baik lainnya. Akar dan batang tanpa air dan tanah, tiada berdaya. Daunan tanpa sinar matahari, layu dan mati. Bunga tanpa lebah, alur ekosistem terganggu dan bahkan terhenti. Kebaikan mengabadi sebagai kebaikan jika dan hanya jika diterima dengan baik pula, bukan dengan buruk dan merusak. Kebaikan terancam berubah menjadi keburukan jika diterima dengan buruk dan untuk merusak.

Adab, ilmu, amal, berkah, adalah empat pilar tegaknya kewajiban belajar. Menurut tata urutannya, adab sebaiknya dipenuhi sebelum belajar ilmu, ilmu sebaiknya dipelajari sebelum beramal, dan amal sebaiknya membawa manfaat agar berkah, dan berkah sebaiknya dijaga agar peradaban berjalan ke arah yang lebih baik. Jika perbuatan baik melahirkan darma dan konsekuensi dari perbuatan buruk adalah karma, maka belajar adalah neraca yang adil untuk tidak semena-mena mengadili. Kita tetap bisa belajar dari kebaikan maupun keburukan untuk tumbuh arif dan bijak. Dari keburukan, kita belajar untuk menjadi baik. Dari kebaikan, kita belajar untuk menjadi lebih baik. Terimalah kebaikan dan keburukan dengan baik, jangan memperburuk keadaan.

(Candra Malik, Pengasuh Kelas Sufi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar