Minggu, 10 Maret 2013

HASRAT BERKUASA



Belakangan ini kita menyaksikan bagaimana hasrat berkuasa mendominasi sikap dan perbuatan seseorang. Hasrat itu akan semakin jelas terbaca dalam beberapa waktu kedepan sampai pileg & pilpres 2014 digelar. Kita akan menyaksikan semakin banyak tokoh politik kita yang pamer pesona dan manipulatif dalam upaya menarik perhatian rakyat guna memenuhi hasrat berkuasa itu.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tengah berkuasa saat ini yang karena dibatasi UU tak lagi berpeluang secara formal untuk meneruskan kekuasaannya? Apakah hasrat berkuasanya juga akan berakhir dengan sendirinya? Sudah tentu tidak. Beberapa waktu lalu sudah kita saksikan dan masih akan terlihat jelas dimasa-masa mendatang, bagaimana seseorang itu berupaya mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan tak hanya bisa dilakukan secara langsung, terbuka dan formal, tapi juga dari belakang layar.

Meski bersifat rendahan, arogan dan sangat tak rasional, tapi hasrat berkuasa itu tetap butuh dalih yang seolah rasional. Karenanya, penguasa hegemon itu butuh para pemanipulasi rasio yang fungsinya untuk mengelabui rasio publik. Manipulator rasio itu semacam kaum sophis yang beretorika, seolah rasiona, untuk membenarkan semua tindak koruptif dan semena-mena penguasa.

Mereka juga bertuga mengubah hasrat politik menjadi seolah rasionalitas politik. Mereka inilah yang mengubah rasio murni menjadi rasio instrumental, yakni rasio yang dimanipulasi untuk kepentingan kelompok (penguasa).

Di negeri ini, atau dimana pun juga, ada titik-titik "rasio penguasa". Titik-titik itu diisi oleh akademisi atau orang pintar yang rasionya telah 'dibeli' oleh penguasa. Mereka berbicara seolah atas dasar kepentingan rakyat, padahal mewakili rasio berkuasa para penguasa. Hasrat para manipulator rasio itu bisa uang, kekuasaan, kedudukan atau lainnya.

Semoga kita dijauhkan dari pemanipulasi rasio, apalagi untuk penguasa dhalim. Semoga rasio kita selalu murni dan bersama rakyat, Juga Tuhan.

--

Ada yang bertanya mengapa sikap saya seperti berubah tehadap tokoh yang kini menjadi pemimpin negeri ini. Bukankah dulu saya ikut memilihnya dan menolak dia dilengserkan tanpa alasan yang fundamental? Sebenarnya tidak ada yang berubah. Saya tidak sedang membahas tokoh yang dipilih rakyat 8 dan 3 tahun yang lalu. Saya sedang fokus pada tokoh yang akan mengakhiri kekuasaannya sekitar 2 tahun lagi. Belajar dari sejarah, hampir setiap pemimpin di negeri ini, setelah sekian lama berkuasa selalu terbius oleh kekuasaan dan karenanya punya kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Dimasa sebelum kemerdekaan, negeri ini dipimpin oleh raja-raja dengan kekuasaan absolut. Mereka memerintah seumur hidup atau diturunkan lewat kekerasan. Melalui pemberontakan dan pengkhianatan.

Dimasa setelah kemerdekaan, walau memlih sistem demokrasi, para pemimpin masa lalu negeri ini selalu berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Soekarno dan Suharto berupaya untuk menjadi presiden seumur hidup. Dengan cara tunai (Soekarno) atau dicicil (Suharto). Presiden berikutnya hanya memerintah sebentar saja, sehingga libido kekuasaan tak sempat merusak iman. Apalagi sistem rekruitmen pemimpin berubah. Dipilih secara langsung oleh rakyat. Masa kekuasaannyapun dibatasi UUD, hanya boleh 2 periode pemerintahan saja.

Lalu apakah libido kekuasaan itu akan dengan sendirinya meredup seiring dengan akan berakhirnya otoritas yang diberikan? Belum tentu. Masa 2x5 tahun masih cukup panjang untuk menjadi terbius oleh kekuasaan. Kekuasaan itu seperti minuman keras yang memabokan. Ibarat obat bius, kekuasaan membuat orang kecanduan.

Ingin mengetahui karakter seseorang? Beri dia kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar