Minggu, 10 Maret 2013

NASIONALISME EKONOMI


TIDAK ADA nasionalisme ekonomi yang lebih mulia daripada mendorong agar barang bagus harganya jadi lebih terjangkau. Budget belanja seseorang cenderung statis. Jadi bila ada komponen harganya turun - akan ada ruang untuk membeli barang lain.

Kalaupun orang itu tidak mau belanja lebih, uangnya bisa ditabung atau diinvestasikan - akan menjadi modal bagi orang lain.

Contoh budget setara Rp 1000, terbagi belanja atas barang A,B,C,D, dan E. Bila harga A turun, maka ada uang lebih untuk beli B,C,D, atau E. Jadi, efek dari turunnya harga A adalah permintaan lebih besar atas B,C,D, atau E - atau semuanya secara proporsional.

Permintaan lebih besar atas B,C,D, atau E - maka produsen B,C,D, dan E menikmati pasar yang lebih besar. Mungkin sampai bikin pabrik baru. Dengan adanya permintaan baru dan pabrik baru, berarti akan ada lapangan kerja baru. Dari sini akan ada pembeli baru atas produk A,B,C,D & E.

Dari prinsip economies of scale - maka permintaan yang lebih besar atas A,B,C,D, dan E - membuat harga masing-masing bisa dibuat jadi lebih murah. Dan bila A,B,C, dan E semuanya bisa jadi lebih murah, maka daya beli riil masyarakat meningkat.

Padahal dimulai dari A saja yang dibuat murah. Dan ini juga berlaku sebaliknya. Bila A harganya naik - maka permintaan atas B,C,D & E terpaksa turun. Duitnya berkurang karena buat beli A.

Memang seperti menyederhanakan: tapi memang begitulah ekonomi bekerja. Harga adalah semata relativisme terhadap barang lain yang bisa dibeli. Atas hal tersebut, maka bila harga A turun walau karena hasil impor, maka B,C,D & E yang dibuat di dalam negeri permintaannya akan naik. Dan dengan permintaan yang naik atas B,C,D dan E - maka akan ada lapangan kerja baru baru B,C,D dan E - lalu pendapatan baru dan konsumen baru.

Sama dengan itu, bila harga A naik – semata-mata karena alasan "nasionalisme" maka yang dikorbankan adalah konsumsi masyarakat atas B,C,D & E. Kalaupun orang tidak mau beli A,B,C,D dan E - duitnya bisa ditabung. Itu jadi sumber modal bagi industri yang mengekspor A,B,C,D & E.

Apakah orang akan selalu beli A,B,C, D dan E terus menerus? Tentu tidak. Berarti bila ia makin makmur - sisa duitnya akan makin banyak. Sisa duit yang makin banyak ini yang masuk ke bank menjadi simpanan dan dipinjamkan bank ke orang yang butuh kredit. Ekonomi berkembang.

Dari cerita Nasionalisme Ekonomi diatas, kita kemudian paham bahwa keputusan melakukan swasembada daging sapi dan buah-buahan dengan membatasi impor sehingga harga naik dan masyarakat harus membeli daging sapi dan buah dengan harga termahal didunia sungguh berlawanan dengan Nasionalisme Ekonomi. Memang salah satu tujuan swasembada sapi dan buah adalah agar peternak sapi dan petani buah bisa menikmati harga lebih tinggi. Tapi sengaja atau tidak, pemerintah telah mengorbankan kepentingan yang lebih banyak yaitu masyarakat konsumen. Yang dikorbankan bukan hanya merosotnya daya beli masyarakat, tapi juga dampak kekurangan pasokan protein (daging sapi) dan vitamin (buah-buahan) yang diperlukan masyarakat untuk tetap sehat, bugar dan pintar.

Tapi bukankah keberpihakan pemerintah kepada peternak sapi dan petani buah adalah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga pada akhirnya bisa menjadi peternak atau petani yang mandiri dan sejahtera?. Tentu saja kita juga menginginkan peternak-petani yang makmur. Tapi bukankah keberpihakan terhadap suatu kelompok masyarakat tidak harus mengorbankan kelompok masyarakat lain yang malah jauh lebih besar jumlahnya?.

Apakah dengan melakukan swasembada tersebut kesejahteraan peternak dan petani dengan sendirinya akan membaik? Belum tentu. Dalam sebuah penelitian, terdapat 4-5 pihak yang terlibat dalam jalur perdagangan sapi dan buah: 1-Produsen (peternak/ petani); 2-Pengumpul: 3-Distributor; 4-Penjual (di pasar); 5-konsumen (pembeli). Kelompok 1,4 umumnya miskin. Kelompok 2,3 umumnya kalangan berduit. Sementara kelompok 5 mayoritas menengah kebawah.

Ketika harga daging atau buah mahal apakah kelompok 1 (peternak-petani) memperoleh manfaatnya? Jelas tidak. Mereka harus menjual produknya kepada pedagang pengumpul karena tidak punya akses langsung kepada konsumen akhir. Mereka berada dibawah kendali pihak pengumpul yang bisa mengatur harga sesukanya. Begitu pula kalangan penjual (dipasar). Mereka hanya punya akses untuk memperoleh barang dagangan dari distributor. Mereka tidak punya akses, dana dan waktu untuk berhubungan langsung dengan produsen. Jadi harga sebenarnya ditentukan oleh pedagang pengumpul dan distributor, yang umumnya punya dana besar dan akses. Pembeli? Hanya punya daya tawar kepada pedagang dipasar yang hanya punya sedikit margin keuntungan dari harga belinya ke pihak distributor.

Mengapa petani dan penjual (atau malah pembeli) tidak bisa bertemu secara langsung dipasar? Karena lokasinya berjauhan. Sentra peternakan sapi atau buah-buahan terletak jauh dipelosok pedesaan (beda propinsi atau pulau), sementara konsumen terbesar berada di perkotaan. Sentra peternakan sebagian berada di Jawa (Tengah-Timur) dan luar Jawa. Petani buah ada di Sumatera dan Kalimantan. Sementara konsumennya berada di Jakarta.

Selain faktor-faktor diatas, harga menjadi tambah mahal karena biaya transportasi didalam negeri lebih mahal daripada transportasi antar negara. Biaya pengiriman jeruk medan atau pontianak dari sentra petani kepasar di Jakarta lebih mahal dari biaya pengiriman jeruk dari RRC atau India ke Indonesia. Maka agar harga buah impor juga mahal, pemerintah kemudian hanya membolehkan buah impor masuk ke Indonesia melalui pelabuhan tertentu saja. Untuk pulau jawa melalui pelabuhan laut Surabaya. Sehingga diperlukan tambahan biaya angkut untuk mendistribusikannya ke wilayah lain di Jawa, termasuk Jakarta. Kalau kemudian harga seluruh buah-buahan (lokal dan impor) menjadi mahal, siapa yang di rugikan? Konsumen tentunya. Siapa yang diuntungkan? Kalangan pedagang pengumpul, distributor, importir dan pengusaha angkutan. Dan mereka semua umumnya dari kalangan pengusaha yang umumnya berduit. Bayangkan. Negeri yang salah urus dan Menteri Pertanian dari PKS berada di pusat pusaran kemelut tersebut. Sementara pemilu kian dekat. Duh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar